Lopi Penge
Beberapa
sampan kecil mulai dikayuh menuju ke arah perahu itu. Orang-orang dalam perahu
itu turun ke sampan. Sejurus kemudian iring-iringan sampan kecil merapat ke
tepi. Suasana haru dan bahagia menyelinap di relung hati antara yang datang dan
menyambut. Menggambarkan keakraban dan kekeluargaan yang sejak lama terjalin
antara dua wilayah kerajaan yang dibatasi oleh samudera itu.
Sementara
di istana kerajaan Bima, seluruh persiapan penyambutan telah dilaksanakan.
Mulai dari hal-hal yang kecil sampai yang besar tak luput pula dari persiapan.
Seluruh pejabat dan abdi kerajaan sibuk mengurus acara penyambutan itu. Dan di
luar istana rakyat telah berkumpul menyambut kedatangan seorang raja dan putera
mahkotanya. Raja yang disambut tidak lain adalah raja dari negeri Gowa yang
memang telah lama tersiar kedatangannya.
Raja
Bima beserta pejabat kerajaan dan keluarganya berdiri berjejer di pelataran
istana. Tambur dan gendang mulai dibunyikan. Beberapa orang gadis mulai menari.
Karena rombongan raja Gowa dan putera mahkotanya mulai memasuki halaman istana.
Bunyi-bunyian semakin riuh ketika rombongan itu memasuki pelataran istana. Raja
Bima menyambut hangat kedatangan sahabatnya itu. Mereka berjabat tangan dan
saling berpelukan. Demikian pula anggota rombongan lain dan beberapa pejabat
istana.
Pada
malam harinya istana Bima menjadi ramai. Karena malam itu raja menggelar pesta
untuk penyambutan tamu agungnya. Makanan yang lezat dan minuman khas Bima
disuguhkan. Raja Bima dan raja Gowa didampingi putera mahkotanya duduk
bersanding di tempat yang telah disediakan. Raja Gowa memperkenalkan puteranya
kepada raja Bima. Karaeng Gowa nama putera mahkota itu. Dan tak lama kemudian permaisuri
kerajaan Bima bersama puterinya diiringi para dayang-dayang bergabung di tempat
itu.
Mata
Karaeng Gowa seakan tiada dapat berkedip. Tatapannya lurus dan tajam.
Jantungnya berdebar cepat. Karena di antara sekian banyak wanita yang duduk di
hadapannya, ada seraut wajah dan untaian senyuman yang menggugah hati dan
perasaannya. Dan ketika tatapannya terbalas dari sorot mata yang indah itu, ia
semakin salah tingkah. Sosok itu tidak lain adalah puteri raja Bima yang bernama Puteri Buana
Bima yang baru saat itu dilihatnya. Tiada seorangpun yang tahu adegan singkat
itu.
Raja
memperkenalkan permaisuri dan puterinya kepada tamu agungnya itu. Ketika saling
berjabat tangan dan saling bertatapan, terasa getaran batin dari dua insan itu.
Sebuah getaran yang melahirkan sebentuk perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Tetapi yang jelas getaran itu menghadirkan rasa ingin terus bertegur sapa,
berbagi rasa dan ingin mengenal lebih jauh.
Malam mulai beranjak larut. Pesta makan malam
telah usai. Karaeng Gowa belum juga tidur. Berkali kali ia berbaring ke kiri
dan ke kanan di atas pembaringannya karena mata tidak dapat terpejam. Pikiran
dan perasaanya masih tertuju kepada sosok yang baru beberapa saat dilihatnya.
Sosok yang berwajah bulat, putih bersih, dengan rambut panjang terurai itu
tidak lain adalah Puteri Buana Bima.
Dalam kegelisahannya itu terkadang ia
bertanya mengapa rasa itu tiba-tiba muncul?
Mengapa keinginan dan hasrat itu justru hadir di suatu tempat yang
sangat jauh dari negerinya ? Bingung adalah jawaban yang pasti atas pertanyaan
itu. Hingga malam tinggal sepenggal
tanpa sadar ia pun tertidur.
Di
kamar yang lain, pikiran dan perasaan putera mahkota itu bertautan. Kamar dan
pembaringan yang megah malam itu tidak
mampu menghadirkan rasa kantuk dan nyenyaknya tidur bagi penghuninya. Seraut
wajah pemuda tampan yang baru saja dilihatnya tak pernah hilang di hati. Meski
berkali-kali ia mencoba mengalihkan angan kepada hal lain, namun mata tak juga
dapat terpejam. Hingga ayam berkokok menandai masuknya waktu pagi, gadis itu
pun tertidur.
Hari
demi hari berlalu. Tanpa terasa kunjungan raja Gowa berakhir. Raja Bima beserta
seluruh pejabat kerajaan dan keluarganya mengantar di pelabuhan Bima. Bagi
Karaeng Gowa dan Puteri Buana Bima kunjungan itu terasa begitu singkat dan
cepat berlalu. Meski selama kunjungan itu mereka sering bertemu, namun tidak
begitu banyak waktu yang dilewatkan untuk berbincang-bincang.
Perahu
rombongan raja Gowa mulai membentangkan layar. Saat-saat perpisahan itu sungguh
sangat mengesankan. Terutama bagi dua insan yang sedang dimabuk asmara.
Lambaian tangan dari arah kapal itu dibalas pula oleh yang berada di darat.
Perlahan lahan perahu itu memecah buih keluar dari teluk Bima yang indah,
tenang dan damai dikelilingi gugusan pegunungan.
Teluk
yang mengawali kesan yang tak akan terlupakan baik bagi yang pergi maupun yang
ditinggalkan. Teluk yang menjanjikan sebuah harapan bahwa dikelak kemudian
hari, akan menjadi tempat berlabuhnya sebuah biduk yang ingin selalu merapat di
pantai harapannya. Biduk itu tidak lain adalah Karaeng Gowa yang telah memendam
rindu dan cinta kepada seorang gadis yang telah lahir dan tumbuh di sekitar
teluk itu.
Setelah
beberapa lamanya perahu itu mengarungi samudera biru, akhirnya tiba juga di
tanah Gowa. Raja dan putera mahkota kembali ke istananya dengan selamat.
Disambut oleh para pejabat kerajaan dan keluarganya. Namun ada sesuatu yang
lain yang dirasakan oleh Karaeng Gowa. Meski ia telah berada di tanah
negerinya, namun hati dan perasaannya masih tertuju kepada teluk Bima. Meski
jasadnya telah berada di tanah Gowa, namun rohnya masih berada di tanah Bima.
Karena di tanah itu masih menyimpan sejuta kenangan terindah yang pernah
terukir dan tak akan pernah terlupakan walaupun sesaat.
Setiap
hari Karaeng Gowa selalu murung dan menyendiri. Hal itu dirasakan lain oleh
ayah dan ibunya. Pada suatu malam raja dan permaisuri menghampiri putera
kesayangannya itu.
“ Sejak
kita kembali dari Bima, kau kelihatan murung. Apakah yang sedang kau pikirkan
?” Sang ayah mendahului menyapa.
“ Tidak
ada ayah. Mungkin itu perasaan ayah saja.” Ia mencoba untuk mengelak.
“
Apakah ada sesuatu yang menyinggung perasaanmu selama di sana ?” Ibunya mencoba
menebak.
“ Tidak
ada Bu.”
“ Lalu
apa yang membuatmu murung ?” Ayahnya menyambung.
“ Saya
kurang enak badan saja.” Ia terus mengelak dan menyembunyikan perasaannya.
“ Dari
sorot matamu sepertinya ada seorang gadis yang sedang kau khayalkan.”
Permaisuri mencoba untuk menuju kepada pokok pembicaraan.
“ Ah,
ibu bisa saja menebak.” Karaeng Gowa
tertunduk. Matanya tak berani bertatapan dengan ibunya.
“ Memangnya ibu dan ayahmu tidak pernah muda
? Ibu yakin kemurunganmu pasti ada
kaitannya dengan seseorang yang engkau kagumi.” Ibunya terus meyakinkan
dugaannya.
“ Kalau
saya bilang itu tidak benar, bagaimana perasaan ibu ?”
“ Itu
pasti sesuatu yang benar. Mulutmu bisa saja mengelak, tetapi mata dan hatimu
tidak. Sebab cinta telah lahir dari lubuk hatimu, dan terpancar dari sorot
matamu.”
“
Sekarang kami ingin kau berterus terang. Daripada kau terus memendamnya.” Sang
ayah mendesak.
“ Saya
malu dan takut untuk mengungkapkannya.” Karaeng Gowa tersenyum sambil menunduk.
“ Malu dan takut adalah separoh dari cinta.
Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berani mengatakan itu tanpa ada getaran
dalam batinnya yang justru mendorong untuk mengungkapkannya. Dan cinta itu
tidak membutuhkan sebuah pengungkapan. Tetapi ia akan lahir sendiri dari sikap
dan cara pandang masing-masing pihak.”
“
Berterus teranglah ! agar kami dapat menentukan sikap.” Raja terus mendesak.
“
Siapakah sosok yang sedang menari dalam mimpimu ?” Ibunya menyambung.
Akhirnya
Karaeng Gowa berterus terang untuk mengakhiri perasaan yang selama ini
terpendam.
“
Puteri Buana Bima.” Jawabnya singkat.
Mendengar
kata itu raja Gowa terkejut. Demikian pula permaisurinya. Rasa haru dan bahagia
hadir dalam benak keduanya. Karena sosok yang sedang dicintai oleh puteranya
adalah puteri dari seorang raja yang justru sahabat karibnya sendiri. Yang
mulai mengisyaratkan bahwa hubungan keakraban dan persaudaraan yang telah
terjalin akan semakin erat lagi.
Beberapa
hari setelah pengakuan putera Mahkotanya. Raja gowa mengumpulkan para pejabat
kerajaan. Ia menyampaikan keinginan meminang puteri Raja Bima untuk putera
mahkotanya. Setelah para pejabat mengeluarkan pandangan-pandangannya, akhirnya
disepakati untuk mengirim utusan ke Bima. Utusan itu terdiri dari para pejabat
yang memang ahli dalam urusan tersebut. Dan pada hari yang telah ditentukan
utusan itu berangkat menuju Bima.
Kabar
tentang kedatangan utusan raja Gowa itu tersiar sangat cepat di tanah Bima.
Kabar itu justru dihembuskan lebih dulu oleh para pelaut dan pedagang yang
sering berlayar ke Bima. Tetapi maksud kedatangan utusan itu masih
dirahasiakan. Hal itu menimbulkan teka-teki besar di benak raja dan para
pejabat istana Bima. Karena kunjungan raja Gowa baru saja dilaksanakan. Dengan
harap-harap cemas mereka menanti kedatangan utusan itu.
Kecemasan
Raja dan pejabatnya ternyata tidak dirasakan oleh puterinya. Ia justru merasa
senang dengan adanya kunjungan mendadak itu. Ia selalu berharap mudah-mudahan
utusan itu membawa kabar gembira tentang sosok putera mahkota yang selalu
dirindukannya.
Pada
suatu senja utusan itu tiba di istana Bima. Utusan itu disambut oleh para
pejabat kerajaan. Dan pada tempat yang telah ditentukan utusan itu bertemu
dengan raja Bima.
“
Kelihatannya kedatangan tuan-tuan begitu penting. Adakah sesuatu yang
dititahkan baginda raja Gowa ?” Raja
Bima menyapa lebih dulu para tamunya.
“ Ampun beribu ampun baginda ! Jika titah raja
kami tidak begitu penting, tidak akan mungkin kami datang kemari.” Salah seorang utusan menanggapi.
“ Apa yang menjadi hajat beliau ?” Raja Bima
ingin tahu.
“ Kunjungan beliau beberapa waktu lalu kemari
ternyata telah melahirkan kesan dan kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Keindahan dan kekayangan negeri baginda sangat dipuji oleh beliau. Keramahan
dan pelayanan baginda adalah sesuatu yang tak pernah hilang dihatinya.” Salah
seorang utusan mulai membuka keinginan rajanya.
“
Sesungguhnya tanah dan hamparan lembah serta pegunungan yang mengitari negeri
baginda adalah kekayaan yang menjanjikan harapan. Ada seseorang yang ingin
datang untuk mengabdikan diri di tanah ini. Ia sangat merindukan untuk hidup
bersama baginda di sini.” Utusan yang lain menyambung.
“
Siapakah gerangan yang ingin berbakti
untuk negeri ini ?” Raja Bima penasaran.
“
Semenjak perahunya membentangkan layar meninggalkan Bima, pikiran dan
perasaannya selalu tertuju ke tanah ini. Karena ada seraut wajah cantik dan
manis yang tak pernah hilang di hatinya. Setiap saat perahunya selalu ingin
menuju teluk Bima yang indah ini. Dan dari sekian banyak penumpang perahu itu,
adalah salah satu penumpang yang ingin terus kesini dan melabuhkan harapannya.
Penumpang itu tidak lain adalah putera mahkota raja kami.” Salah seorang utusan langsung menuju sasaran
pembicaraan dan tujuan kedatangannya.
Mendengar
ucapan itu, raja Bima langsung tanggap. Ia mulai memahami bahwa kedatangan
utusan itu adalah untuk melamar puterinya.
“ Rasa
bangga dan bahagia sulit untuk saya ungkapkan. Saya bersyukur ternyata
kunjungan raja Gowa beberapa waktu lalu telah melahirkan kesan dan pesan yang
sulit untuk dilupakan. Hal ini akan semakin menambah keakraban yang telah
terjalin. Tetapi jawaban atas tawaran yang telah dibawa oleh tuan-tuan belum
dapat saya sampaikan sekarang. Saya minta waktu untuk menanyakan langsung
kepada puteri saya.” Raja Bima beranjak
dari duduknya menuju kamar puterinya. Sementara utusan itu menanti dengan penuh
pengharapan.
Sementara
itu di dalam kamar yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat pertemuan itu,
Puteri Buana Bima duduk didampingi ibunya dan beberapa dayang-dayang.
Rupa-rupanya mereka telah mendengar seluruh isi pembicaraan antara ayahnya dengan
utusan itu. Tak beberapa lama kemudian ayahnya memasuki kamar.
“
Kedatangan utusan itu adalah menyampaikan keinginan putera mahkota untuk
melamarmu. Apakah kau setuju ? “ Tanpa mengambil ancang-ancang raja langsung
mengungkapkan hasil pertemuannya dengan utusan itu.
Sejenak
putrinya tidak menjawab. Ia hanya diam dan menunduk. Meski hatinya terus
memaksa mulutnya untuk berkata sejujurnya,
bahwa tawaran itu diterima dengan senang hati, namun ia masih malu untuk
mengungkapkan.
“ Yang
terbaik menurut ayah dan ibu adalah yang terbaik bagi saya.”
“ Bagi
kami pemuda itu adalah yang terbaik untukmu. Dia berasal dari keturunan yang
baik dan terpandang.” Permaisuri meyakinkan.
“ Agar
ada jawaban yang pasti untuk aku sampaikan pada utusan itu, maka sekali lagi
aku ingin mendengar ungkapan perasaanmu.”
Tiada
kata yang dapat terucap dari bibirnya. Karena kebahagiaan telah menguasai alam
pikirannya. Melainkan ia hanya diam sambil menganggukan kepala sebagai ungkapan
setuju atas tawaran itu. Lalu Sang Raja meninggalkan kamar puterinya untuk
bertemu kembali dengan utusan itu.
“
Dengan hati lapang saya akan menerima kehadiran putera mahkota.”
Setelah mendengar penyampaian raja bahwa tawaran mereka
diterima, kebahagiaan menyelinap di hati para utusan itu. Perjalanan mereka
mengarungi samudera biru yang panjang dan melelahkan ternyata tidak sia-sia.
Beberapa lama kemudian utusan itu meninggalkan teluk Bima dan membawa berita
gembira kepada raja dan putera mahkotanya.
Jalan
menuju impian mulai terbuka lebar. Laut yang membentang dengan ombak dan
badainya bukanlah penghalang untuk melabuhkan harapan. Sebab hatinya telah
lebih dulu berlabuh pada sosok yang justru berada nun jauh di seberang
Samudera.
Sejak
raja Bima menerima lamarannya, Karaeng Gowa selalu ingin berlayar ke Bima.
Pikiran dan perasaannya selalu tertuju ke teluk Bima. Hingga pada suatu hari ia
meminta ijin kepada ayahnya untuk berlayar ke Bima. Keinginan itu disambut baik
oleh ayah dan ibunya.
Saat
pertama ia datang di Bima disambut hangat oleh raja dan permaisurinya. Demikian
pula para pejabat istana dan para dayang-dayang. Dan yang lebih berbahagia dari
orang-orang itu adalah Puteri Buana Bima. Kehadiran orang yang dicintainya itu
laksana lentera dalam kegelapan malam.
Sebab kerinduan akan kehadiran pujaan hatinya telah lama terpendam. Bahkan
kerinduan itu telah menjadi kidung indah dalam tidur dan mimpinya.
Puteri
Buana Bima didampingi para dayang-dayang dan beberapa pengawal mengajak Karaeng
Gowa untuk melihat-lihat keadaan tanah Bima. Pantai lawata adalah tempat yang
selalu dikunjugi. Di pantai yang indah ini mereka bercerita dan saling bertukar
pikiran tentang keadaan kerajaan masing-masing. Tanpa terasa waktu terus
berlalu, dan putera mahkota itu kembali ke tanah Gowa.
Tak
beberapa lama berselang secara mengejutkan
Karaeng Gowa datang lagi. Selama itu hampir seluruh waktunya dicurahkan
untuk datang ke Bima. Saat pertama, kedua dan ketiga kedatangannya masih
dianggap wajar. Tetapi karena keseringan dia datang, lambat laun menimbulkan
perasaan tidak enak terutama bagi Puteri
Buana Bima. Meskipun cintanya kepada Karaeng Gowa sedang berbunga-bunga, namun
ia merasa malu kepada ayahandanya dan seluruh masyarakat.
Pada
suatu hari, ketika perahu Karaeng Gowa berlabuh, Puteri Buana Bima bersama
Inang Pengasuh dan dayang-dayang istana menemuinya di pelabuhan Bima.
“ Saya
harap kau dapat memahami keadaanku akhir-akhir ini.” Karaeng Gowa mulai membuka
pembicaraan ketika dua insan itu duduk di pinggir pantai.
“
Perasaan kita sama kakanda, tapi bukankah kita sama-sama dilahirkan dan
dibesarkan dalam kerajaan yang menjunjung tinggi adat istiadat ?”
“ Saya
tidak mengerti apa maksudmu ?” Karaeng Gowa mulai bingung.
“
Keseringan kakanda berkunjung ke Bima, sesungguhnya telah melahirkan perasaan
tidak enak dikalangan istana.”
“
Berarti orang-orang di sini sudah tidak senang dengan kehadiran saya.”
“ Bukan
begitu kakanda. Saya mohon kakanda mengerti bahwa hubungan kita belum resmi.
Untuk itu kita harus saling menjaga agar tidak lahir fitnah yang dapat merusak
hubungan kita dan hubungan dua kerajaan yang telah terjalin erat sejak dulu.”
Puteri raja mengingatkan.
“ Karena itulah saya hadir di sini. Dan
orang-orang Bima telah menjadi saudara saya.”
“
Tetapi keseringan perahu kakanda berlabuh di sini, sedikit tidak akan
melahirkan sebentuk perasaan tidak enak. Apalagi saya dan kakanda adalah
orang-orang istana yang dihormati dan disegani oleh seluruh rakyat. Kita harus
pintar-pintar membawa diri.” Puteri raja Bima kembali menasehati kesasihnya
itu.
Tak
beberapa lama kemudian Perahu Karaeng Gowa membentangkan layarnya dan
meninggalkan pelabuhan Bima.
Namun saran dan nasehat dari kekasihnya itu
seperti angin lalu saja bagi Karaeng Gowa. Karena tak beberapa lama setelah
itu, perahunya kembali berlabuh di pelabuhan Bima. Mendengar berita itu, Puteri
Buana Bima sudah pasrah. Ia memutuskan untuk tidak menemui pujaan hatinya itu.
Meski rasa rindu yang terus meletup-letup. Tapi ia memerintahkan para
dayang-dayang untuk menyampaikan amanatnya. Amanat itu tidak lain adalah untuk
mengingatkan Karaeng Gowa agar tidak terlalu sering berkunjung ke Bima. Dengan
gaya bahasa yang halus dan lembut, para dayang-dayang itu menyampaikan amanat
puteri raja. Karaeng Gowa memahami pesan itu, lalu ia membentangkan layar untuk
kembali ke negerinya.
Entah
angin dari arah mana yang selalu berhembus kepada Karaeng Gowa untuk terus
berlayar menuju Bima. Meskipun ayah dan ibunya selalu mengingatkan agar jangan
terlalu sering berkunjung ke Bima. Namun ia tidak menggubrisnya. Bermacam-macam
alasan dilontarkan kepada ayah dan ibunya untuk menguatkan pendiriannya.
Pada
suatu ketika ia mewujudkan keinginannya
itu untuk kesekian kalinya. Ketika perahunya berlabuh di pelabuhan Bima, Puteri
Buana Bima kembali memerintahkan para dayang-dayang untuk menyuruhnya kembali
ke Gowa. Ia menuruti keinginan itu, tapi ia tidak kembali ke Gowa dan hanya sesaat saja perahunya keluar dari
teluk Bima. Ia memutuskan untuk singgah di sekitar pantai Wera. Dan beberapa
saat kemudian perahunya kembali berlabuh di teluk Bima.
Mendengar
kehadiran Karaeng Gowa, puteri Buana Bima kembali memerintahkan dayang-dayang
istana dengan tujuan yang tidak pernah berubah. Yaitu bagaimana caranya agar
putera mahkota itu pulang ke Gowa. Para
dayang-dayang itu mendapat akal. Jika selama ini mereka menyampaikan amanat
Puteri Buana Bima dengan ucapan, akhirnya mereka memutuskan untuk menari di
pinggir pantai sambil melantunkan tembang. Dengan alunan nada yang merdu mereka
melantunkan tembang itu. Sebuah tembang yang secara kebetulan lahir ketika
berhadapan dengan Karaeng Gowa.
Ai Lopi
….i…….i……i……i…….i…….i penge
Ai
Lopi….i…….i……i……i…….i…….i penge
Ma loja
Nggengge……………. Moti
(Wahai
Biduk yang selalu ingin berlabuh dan selalu rindu)
( Wahai
biduk yang selalu datang menghampiri )
( Yang
berlayar merapat ke pantai )
Ai
Loja…………………… di wira
Ai
loja……………………..di wira
Balumba wunta wure
( Bentangkanlah
layarmu )
(
Bentangkanlah layarmu )
(
Selagi ombak masih tenang dan bersahabat)
Ai
Lopi….. i……..i…….i…….i…….i…….i Penge
Ma loja
male mau
Loja la
da, aina poku la do
( Wahai
biduk yang selalu ingin menghampiri)
( Yang
berlayar perlahan )
(
Berlayarlah ke utara dan jangan kembali)
Ai
Lopi…..i……..i……..i…….i…….i……..i penge
Loja
lumba moti ma na’e lembo
(Wahai
biduk yang selalu ingin menghampiri)
(Berlayarlah
mengarungi Samudera biru)
Dengan
penuh hikmat Karaeng Gowa menyaksikan tarian dan senandung yang dilantunkan
oleh para dayang-dayang itu. Sejak tadi ia memperhatikan satu persatu di antara
para wanita yang menari dan berdiri di hadapannya. Ada sebentuk rasa hampa yang
mengiringi kehadirannya saat itu. Jika sebelumnya para dayang-dayang itu menyampaikan amanat puteri
Buana Bima secara langsung, namun ada sesuatu
yang lain dirasakannya. Lagu itu sangat menyentuh hati dan perasaannya.
Maka untuk beberapa saat lamanya ia duduk termenung di atas perahunya. Menunggu
sepatah dua patah kata yang disampaikan oleh para dayang-dayang itu. Namun
setelah wanita-wanita itu menari dan bersenandung tidak satupun yang datang
menghampirinya.
Ia
mulai merasa curiga. Sebab penampilan para dayang-dayang itu lain dari
sebelumnya. Dan untuk kedua kalinya dayang-dayang itu menari dan melantunkan
senandung Lopi Penge. Setelah ia simak kata demi kata serta bait demi bait dari
senandung itu, barulah ia mengerti bahwa biduk yang dilantunkan itu adalah
dirinya. Perlahan-lahan ia membentangkan layar meninggalkan pelabuhan Bima.
Karaeng
Gowa dilanda kekecewaan yang sangat hebat. Sepanjang pelayaran pikiran dan
perasaannya tak menentu. Seribu tanya masih menggantung terhadap sikap
kekasihnya dan para dayang-dayang istana. Teluk dan pelabuhan yang selama ini
selalu menjadi impiannya telah berubah menjadi tempat yang sangat memalukan
baginya. Api cinta yang telah lama membara, perlahan-lahan mulai padam. Tinggal
menunggu tetesan-tetesan air yang akan mematikannya.
Di
istananya yang megah itu, Karaeng Gowa kembali duduk termenung. Makan tak enak
tidurpun mulai tak nyenyak. Berkali-kali ia mencoba untuk mengalihkan angan
kepada hal-hal yang lain. Namun pikirannya masih terus tertuju kepada kejadian
terakhir yang teramat memalukan itu. Hingga ia membuat keputusan untuk tidak
berlayar ke Bima dan melupakan Puteri Buana Bima.
Sementara
itu di istana Bima, Puteri Buana Bima mulai merasa gundah. Karena sudah lama
sekali Karaeng Gowa tidak datang. Rasa rindunya kian membara. Ada sebuah tanda
tanya besar yang tiba-tiba muncul dalam lamunannya. Apakah yang disampaikan
oleh para dayang-dayang ketika terkahir kali perahunya berlabuh ? Lalu ia memanggil para dayang-dayang itu.
“ Apa
yang kalian sampaikan kepada Karaeng beberapa waktu yang lalu ?”
“ Ampun
beribu ampun tuan puteri, kami tidak berkata kasar kepadanya.” Salah seorang
dayang menjelaskan.
“ Lalu
?” Puteri Buana Bima ingin tahu.
“ Kami
hanya menari dan melantunkan senandung.”
“
Senandung ? “ Puteri Buana Bima keheranan.
“ Kami
melantunkan senandung Lopi Penge tuan puteri.”
Salah seorang dayang menyambung pembicaraan yang lainnya.
“ Coba kau peragakan tarian dan senandung itu
sekarang !” Puteri Buana Bima ingin tahu
gerakan dan syair senandung itu.
Lalu
dayang-dayang itu menari sambil melantunkan senandung Lopi Penge. Kata demi kata yang dilantunkan
itu disimak dengan seksama olehnya. Kemudian dicobanya untuk memahami
keseluruhan maksud dari senandung itu. Barulah ia sadar bahwa senandung itu
merupakan sindiran yang teramat halus yang ditujukan kepada pujaan hatinya.
“
Kalian telah menyakiti hatinya. Pantasan sejak saat itu ia tidak pernah datang
lagi.” Puteri Buana Bima mulai marah.
“ Ampun
beribu ampun tuan puteri, Kami sama sekali tidak bermaksud menyakitinya.” Salah
seorang dayang menyampaikan permohonan maafnya.
“
Tapi senandung itu telah menyebabkan dia
pergi dan hingga saat ini tak ada kabar beritanya.
“ Ampun
beribu ampun tuan puteri, segala cara telah kami lakukan atas perintah tuan
puteri dan kami siap menerima hukuman atas kecerobahan kami.” Salah seorang
dayang menunduk pasrah.
“
Sudah…..sudah. Tidak ada yang salah di antara kita. Sekarang bagaimana cara
kita untuk dapat menghadirkan dia kembali ?” Puteri Buana Bima mengakhiri
persoalan itu dan menawarkan sesuatu.
“ Cinta
memang indah. Seindah pelangi di pagi hari.” Salah seorang dayang menggoda
puteri Buana Bima. Kata-kata dayang itu membuatnya tersenyum simpul.
“ Saya
punya usul tuan puteri.” Salah seorang dayang mengangkat tangannya.
“ Apa
usulanmu ?” Puteri Buana Bima ingin tahu.
“
Bagaimana kalau kita mengirim kabar untuk memberitahu Karaeng bahwa tuan puteri
sakit keras ?”
“
Usulanmu bagus. Tapi siapa yang harus diutus kesana ?”
“ Kita tidak perlu mengirim utusan, cukup kita
kirim kabar lewat para pelaut dan pedagang yang sering berlayar ke sana.”
“ Tapi
jangan sampai diketahui oleh raja dan pejabat istana.” Puteri Buana Bima
mengajukan syarat.
Puteri
Buana Bima menyetujui usulan itu. Lalu dikirimlah berita itu kepada para pelaut
yang sering ke Gowa. Tak beberapa lama kemudian para pelaut itu bertolak menuju
gowa.
Sementara
itu di dalam istana kerajaan Gowa, Raja dan permaisuri tengah dilanda
kebingungan. Mereka mulai menaruh curiga kepada sikap putera kesayangannya.
Karena sudah lama sekali Karaeng tidak meminta ijin untuk berlayar ke Bima.
Pada suatu ketika mereka masuk di kamar puteranya.
“
Bagaimana kabar Bima ?” Sang raja menyapa puteranya yang sedang berbaring lesu
di atas pembaringannya.
“ Kabar
buruk ayahanda.” Karaeng menjawab malas.
“ Buruk
? Memangnya apa yang sedang terjadi antara kalian berdua ?” Permaisuri bertanya
bingung.
“ Dia
telah mengusir saya. Lebih baik kita cari perempuan lain ayah.”
Penjelasan
puteranya itu tidak diterima mentah-mentah oleh raja dan permaisuri. Sebab
mereka berpikir bahwa tidak mungkin raja Bima mengusirnya. Pasti ada kesalahan
yang diperbuat anaknya. Mereka memutuskan untuk meneliti tentang kebenaran
laporan putera mahkotanya. Beberapa orang pejabat istana diutus ke Bima. Tapi
tidak diperintahkan untuk menghadap raja Bima. Utusan itu hanya diperintahkan
untuk meneliti di luar wilayah istana.
Tak
beberapa lama kemudian utusan itu kembali dan memberikan kabar bahwa laporan
putera mahkota itu tidak benar. Justru Raja Bima dan permaisurinya menunggu
kabar lebih lanjut dari raja Gowa untuk mengikat hubungan antara putera
puterinya. Dan kabar tentang Puteri Buana Bima yang sakit keras juga berhembus
di istana Gowa.
Pada suatu
hari Raja dan permaisuri itu menemui puteranya.
“
Setelah sekian lama kau dan Puteri Buana Bima saling mengenal, maka pada
kesempatan ini kami telah bertekat untuk meminang puteri raja Bima itu.” Sang
Raja mulai membuka musyawarah di antara mereka.
Sejenak
Karaeng diam dan menunduk. Ternyata kekesalannya masih membekas meski butiran
rindu kembali hadir setelah mendengar ucapan ayahnya.
“
Apakah kamu sudah siap untuk berumah tangga ?” Permaisuri mendesak.
“
Entahlah. Apa yang menjadi impian saya selama ini sudah semakin surut.” Karaeng
mencoba menyembunyikan perasaannya.
“ Cinta
itu seperti laut yang sering kau arungi. Ada kalanya pasang, dan ada kalanya
surut. Tetapi ia tidak pernah berubah dan berpaling. Dia tetap seperti itu selamanya. Apa yang sedang kau
alami adalah hal yang wajar anakku.”
Ucapan
ibunya membuat ia tertegun. Matanya berbinar binar. Hatinya yang selama ini
gundah kembali bergairah.
“ Aku
tidak mau bersenandung seperti ibumu.
Aku ingin kesediaanmu atas tawaran kami.”
Lalu Karaeng
menganggukan kepalanya sebagai ungkapan setuju atas tawaran ayah dan ibunya.
Pada
saat yang telah ditentukan utusan raja gowa berlayar menuju Bima. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menyampaikan amanat rajanya ingin mempertemukan putera
mahkotanya dengan Puteri Buana Bima dalam mahligai perkawinan. Tawaran itu
diterima dengan senang hati oleh raja Bima dan permaisurinya. Setelah melewati
tahapan-tahapan yang disyaratkan oleh adat, dua insan itu duduk bersanding
dalam mahligai perkawinan.
Untuk
mengenang kisah pelayaran dan kisah cinta antara Karaeng Gowa dan Puteri Buana
Bima, para dayang istana kembali melantunkan senandung Lopi Penge. Lama
kelamaan senandung itu menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat Bima.
Dan pada perkembangan selanjutnya senandung
itu diyakini sebagai obat dan penghibur anak-anak yang sedang menderita sakit
demam tinggi disertai bintik-bintik merah pada kulit atau benjolan seperti
bisul yang sering terjadi di Bima. Penyakit itu dikenal dengan nama KARENA DAN
KAWARO.
T A M A T
Syair Lopi Penge Kreasi
Dalam Lagu Lopi Penge Yang Diciptakan Dan dilantunkan
oleh Jain Malingi
Lele Lopi, ai lopi penge
Na waura lilo
bar a tonda ka leli
Na Waura Mpoi mbora
ro mbia sambura
Au wea di dou labora wua
Lopi ku ma lea balapi adeku ma lai
Ngina ra ngana na waura ncengga ra ncangga
Nee ku dir u u na waura mbora sara a
E e aule, ala wali di au.
Ala wali ala wali di au tiwara dou di ou
Lele lopi ai loi penge
Na waura lelo bara tonda kaleli
Lele lopi au lopi penge
Waura mpoi mbora ro mbia sambura
Post a Comment