Jejak Para Sultan Bima
311 Tahun kesultanan
Bima memainkan peranan penting dalam percaturan sejarah dan budaya Nusantara
dan bahkan dunia. Silih berganti para Sultan, Ruma bicara, dan para ulama bahu
membahu dengan rakyat membangun sendi-seni kehidupan yang kental dengan nuansa islam.
Mereka berjuang dengan cucurah darah dan derai air mata melawan para penjajah.
Patah tumbuh hilang berganti,konsistensi perjuangan tetap ditunjukkan demi
persada pertiwi dan rakyat. Kecemerlangan itu harus berakhir di masa –masa api
proklamasi terus membahana di persada pertiwi. Kesultanan Bima harus bergabung
dengan NKRI. Empat belas sultan mewakili empat belas generasi telah menorehkan
sejarah panjang dan tatanan nilai dan memberi arti bagi jalan panjang sejarah
tanah Bima. Kesultanan Bima dilahirkan oleh sejarah dan diakhiri juga oleh sejarah itu sendiri.
Sebagai kenangan
sejarah, berikut rangkuman jejak dan kiprah 16 sultan Bima. 14 sultan berkiprah
sebelum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan 2 sultan
yang terus bekiprah mengisi kemerdekaan adalah Sultan Abdul Kahir II dan
H.Ferry Zulkarnain, ST.
Sultan Abdul Kahir I ( Rumata Ma Bata
Wadu 1601-1640 M)
Masjid Kalodu yang didirikan Abdul Kahir I bersama mubaliq dari Gowa |
Lahir di Bima pada
tahun 1020 H (+tahun 1601 M) putra pertama dari Mantau Asi Sawo. Nama ibunya
tidak dijelaskan dalam silsilah raja-raja Bima yang tertulis pada naskah BO (Naskah Kuno Bima). Sultan
Abdul Kahir mempunyai dua saudara laki-laki, yaitu Mandundu Wenggu dan Mantau
Dana Rabadompu. Sebelum memeluk agama islam pada tahun 1621, bernama “ LaKa’i”, Pada tahun 1623, hijrah ke
Makassar dan tinggal di lingkungan istana makassar selama 19 tahun. Kemudian
menikah dengan adik dari permaisuri Sultan Alauddin Makassar yang bernama “
Daeng Sikontu “. Dari pernikahan itu, memperoleh empat orang putra,
masing-masing bernama Abdul Khair Sirajuddin, Ruma Parewa, Ma Mbora di Lawa dan
Ma Mbora di Kanari serta seorang putri yang bernama Mantau Asi Mbojo. Dari
pernikahan dengan istri yang lain, memperoleh seorang putra yang bernama Abdul
Rahim.
Abdul Kahir I Merintis dan mendirikan Kesultanan Bima pada 5
Juli 1640 dan wafat beberapa bulan setelahnya tepatnya pada tanggal 22 Desember
1640. Abdul
Kahir mengikrarkan sumpah di Raba Parapi Parangina Sape, yang populer dengan “
Sumpah Parapi “. Sumpah ini berisi pernyataan untuk menjunjung tinggi agama
islam, serta siap mengorbankan jiwa raga demi agama, rakyat dan negeri. Ia
bertekad untuk membentuk pemerintahan yang berdasarkan syariat islam dan adat
yang bersendi sara, sara bersendi katabullah. Setibanya di Kalodu, Abdul Kahir I mendirikan Masjid (masjid
tertua di Bima) untuk dijadikan pusat dakwah. Kegiatan Dakwah yang dilakukan
oleh Abdul Kahir I mendapat sambutan
positif dari rakyat. Mereka berbondong-bondong memeluk agama islam, serta
memberikan dukungan kepada Abdul Kahir
I.
Sultan Abdul Khair Sirajuddin
Bergelar Mantau Uma Jati ( 1640-1682)
Upacara Adat Hanta UA PUA |
Sultan Abdul Khair
Sirajuddin adalah putera Sultan Abdul Kahir I dengan permaisuri Daeng
Sikontu, adik permaisuri Sultan Alauddin Makassar. Lahir di lingkungan istana
Makassar pada bulan ramadhan 1038 H (April 1627 M). Sesuai dengan adat istiadat
Makassar, sewaktu masih kecil memperoleh “ Areng Dondo-Dondo’ (nama topeng)” I
Ambella” (putra kecil). Setelah agak besar memperoleh nama “ Areng Ri Kale “
(nama diri atau nama sebenarnya) Abdul Khair Sirajuddin. Didalam silsilah
raja-raja Bima yang tertera dalam BO (Naskah lama Bima), namanya adalah “ Abil
Khair Sirajuddin” dan pada bagian lain dari sumber yang sama ditulis “ Abdul
Khair Sirajuddin”.
Pada tanggal 22 Rajab
1056 H atau 3 September 1646 menikah dengan “Karaeng Bonto Je’ne’ puteri Sultan
Taloko Malikul Said (Sultan Makassar II). Dikaruniai tiga orang putra dan
putri. Yang putra masing-masing bernama Nuruddin, Membora Awa Taloko (nama
gelar yang berarti “ yang mangkat di Taloko”), dan Jeneli Sape Mambora di Moyo
(yang menjadi jeneli atau camat sape yang mangkat di moyo). Tiga orang putrinya
masing-masing bernama Paduka Tallo (permaisuri raja tallo), Paduka Dompu
(Permaisuri raja Dompu) dan Bonto Paja.
Abdul
Khair Sirajuddin Menolak perjanjian Bongaya,mendirikan Benteng Asa Kota pada
tahun 1667 dan menjadi target penangkapan VOC. Sebagai seorang seniman ipar
dari sultan Hasanuddin Makassar ini banyak menciptakan tarian-tarian dan
upacara adat seperti UA PUA dan atraksi kesenian tradisonal yang masih eksis
hingga saat ini.
Langkah awal yang
dilakukan ialah melakukan penyempurnaan struktur pemerintahan dengan mendirikan
lembaga baru yang disebut “ Sara Hukum” yang beranggotakan para ulama dan tokoh
agama. Dengan demikian hukum Islam mulai berperan dalam roda pemerintahan yang
sebelumnya hanya dilaksanakan oleh Lembaga Sara Tua dan Sara-sara. Seiring
dengan penyempurnaan struktur pemerintahan dilaksanakan pembenahan di bidang keamanan.
Struktur organisasi pertahanan keamanan mengikuti Makassar. Angkatan Perang
dipimpin oleh seorang perwira tinggi yang disebut “Bumi Pabise Mbojo”, dibantu
oleh “Bumi Pabise Bolo dan Kae”. Meningkatkan kemampuan personil angkatan laut,
dibawah bimbingan para perwira angkatan laut Makassar. Melengkapi Prasarana /
sarana angkatan perang yaitu dengan mendirikan benteng di pesisir Barat dan
Timur Teluk Bima. Salah satu benteng yang terkenal, ialah”Bente Asa Kota”.
Bersamaan dengan upaya penyempurnaan struktur organisasi pertahanan keamanan
dan profesionalisme anggota laskar, Sultan Abdul Khair Sirajuddin membeli
senjata modern seperti meriam dan bedil dari Portugis. Baru dua tahun hidup di tengah-tengah rakyatnya, pada tanggal 17 rajab
1091 H atau tanggal 22 Juli 1682, Sultan Abdul Khair Sirajuddin, pahlawan gagah
perkasa itu kembali ke alam baqa
menghadap Yang Maha Kuasa. Jenazahnya dikebumikan di Makam Tolobali.
Sultan Nuruddin Abubakar Alisyah
Bergelar Ma Wa’a Paju ( 1682 – 1687)
Nuruddin adalah
putera Sultan Khair Sirajuddin dengan permaisurinya Bonto Je’ne puteri Sultan
Malikul Said Makassar. Lahir pada tanggal 29 Zulhijah 1061 H bertepatan dengan
tanggal 15 Desember 1651. Nama lengkapnya adalah “Nuruddin Abubakar Ali Syah”
dan oleh orang Makassar diberi nama “Mapparabung Daeng Matali Karaeng
Panaragang”. Pada tanggal 22 Jumadil Awal 1095 H atau tanggal 7 Mei 1684,
menikah dengan “ Daeng Tamemang” puteri Raja Tallo. Dari pernikahannya
memperoleh duan orang putera, masing-masing bernama Jamaluddin dan Sangaji Bolo
(nama gelar).
Sultan
Nuruddin Menciptakan Payung Kebesaran Kesultanan Bima yang dikenal dengan Paju
Monca. Membantu Perang Trunojoyo, ditawan Belanda di Batavia Jakarta.
Mendirikan perkampungan Tambora di Jakarta Barat dan sebuah masjid
berarsitektur Bima bersama sisa pasukannya. ( Dr.Noorduyn, Makasaar And The
Islamization Of Bima). Dr. Peter Carey(1986 : 25) Nenek Pangeran Diponegoro
adalah dari generasi ketiga Sultan Bima di pulau Sumbawa yang membantu perang
Trunojoyo.
Pada masa
pemerintahannya, para ulama bukan hanya berperan di bidang ubudiah, tetapi
juga ikut bertanggungjawab dalam
perkembangan kebudayaan. Agar kebudayaan tetap berpedoman pada nilai dan norma
islam, maka diangkat seorang mufti yang memiliki kemampuan dalam merumuskan
system budaya (adat istiadat) yang Islami
melalui metode analogi atau kias. Adat lama yang bertentangan dengan
nilai dan norma islam ditinggalkan.
Masyarakat harus mematuhi adat yang baik yaitu melaksanakan yang halal dan
menjauhi yang haram. Dalam ilmu fikih
adat yang baik itu disebut “Urf Sahih”. Dengan demikianKebudayaan Mbojo baik
system sosial maupun kebudayaan fisiknya harus Islami. Dengan perkataan lain
kebudayaan Mbojo adalah kebudayaan Islam baik dari segi substansi maupun symbol
atau label. Tetapi harus diakui bahwa masih ada anggota masyarakat, terutama yang
berada di desa-desa terpencil yang masih mencampuradukkan adat yang Islami
dengan adat lama. Sultan
yang memiliki cita-cita mulia itu mangkat pada tanggal 13 Ramadhan 1099 H(
tanggal 22 Juli 1687). Dimakamkan di dekat makam ayahnya di kompleks Makam Tolo
Bali.
Sultan Jamaluddin Bergelar Ma Wa’a
Romo ( 1687 – 1696 )
Disinilah Sultan Jamaluddin menghembuskan nafas terakhirnya |
Sultan
Jamaluddin Menolak bekerja sama dengan Belanda. Akhirnya Belanda membuat
jebakan dengan menuduh membunuh bibinya Permaisuri Sultan Dompu pada saat
Sultan Jamaluddin mengunjungi Kesultanan Dompu tahun 1693. Sultan Jamaluddin
diadili dan ditawan selama dua tahun di Benteng Fort Rotterdam Makassar
kemudian ditahan di Batavia pada tahun 1695. Meninggal di Penjara Batavia
(Sekarang Museum Fatahillah ) pada tahun 1696.
Melalui perjuangan yang berat dengan mengorbankan
jiwa ranganya, Sultan Jamaluddin berhasil mewujudkan cita-citanya. Ia mampu
mempertahankan kedudukan Kesultanan Bima sebagai pusat perdagangan bebas, pusat
penyiaran islam dan sebagai pusat perjuangan melawan penjajah di wilayah Nusantara bagian Timur. Mengambil alih
Peranan Makassar dan Ternate yang sudak kian lemah.
Sultan Hasanuddin Bergelar Ma Wa’a
Bou ( 1696 – 1731 )
Sultan Hasanuddin
adalah putera Sulung dari Sultan Jamaluddin dengan permaisuri Karaeng
Tana-Tana, putri Karaeng Bisei putera sultan Hasanuddin Makassar. Karena itu
Sultan Jamaluddin memberi nama puteranya dengan Hasanuddin, mengikuti nama
kakeknya yang dikenal anti penjajah. Oleh orang Makassar diberi nama “ I
Mapattali”,. Lahir pada tanggal 22 zulkaidah 1100 H ( 7 September 1689). Dalam
usia 25 tahun melangsungkan pernikahan dengan Karaeng Bissampole, bertepatan
dengan tanggal 3 Ramadhan 1126 H ( 13 September 1714 M). Memperoleh tiga orang
putera dan seorang putri. Yang putera masing-masing bernama Alauddin (Sultan
Bima VI), yang kedua bernama Abdullah, yang gugur di medan pertempuran ketika
memimpin laskarnya untuk membantu Raja Selaparang yang sedang berperang dengan
Raja Karangasem Bali. Putera ketiga
bernama Ibrahim dan puteri bungsu diberi gelar “ Ma Mbora di Tallo” (yang wafat
di Tallo, tidak dijelaskan nama dirinya).
Selama masa
pemerintahnya yang berlangsung dari tahun 1696-1731, Sultan Hasanuddin telah
mampu mewujudkan cita-cita untuk mempertahankan kemerdekaan rakyat dan negeri
yang dicintainya. Bima tetap berperan sebagai pusat perdagangan bebas dan
penyiaran agaa islam di wilayah Nusantara Timur. Selain tetap berperan sebagai
Sultan yang menentang Belanda, Hasanuddin
juga telah berhasil mengadakan pembaharuan pada struktur dan organisasi
pemerintah. Di Bidang Agama,ia telah
berhasil menyebarluaskan syiar Islam di daerah-daerah taklukannya melalui
pendekatan seni budaya. Sehingga di daerah kekuasaannya berkembang seni budaya
yang sarat dengan nilai Islam. Setelah berjuang demi rakyat dan negerinya, maka
pada tanggal 14 Rajab 1145 H bertepatan dengan tanggal 23 Januari 1731 M,
Sultan yang membawa angin pembaharuan itu mangkat. Jenazahnya di makam Dana Taraha
sebelah timur makam Sultan Bima ke-16 H. Ferry Zulkarnain, ST.
Sultan Alauddin Muhammad Syah
Bergelar Manuru Daha( 1731 – 1742 )
Mushaf La Lino peninggalan Masa Alauddin |
Lahir pada tahun 1121
H atau tahun 1707 M, putra pertama dari Sultan Hasanuddin dengan permaisurinya
Karaeng Bissampole. Nama lengkapnya Alauddin Muhammad Syah. Pada tanggal 17
Sya’ban 1140 H bersamaan dengan tanggal 5 April 1727 M menikah dengan Karaeng
Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar Sirajuddin. Dari pernikahan
itu dikaruniai empat orang anak, terdiri
dari seorang putra bernama Abdul Kadim (Sultan Bima VII), dan tiga putri
masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga (Kumala nama diri, Bumi Partiga nama
Jabatannya), Bumi Runggu (nama jabatannya) dan Siti Halimah.
Pada tanggal 2
Zulhijah 1145 H bertepatan dengan tanggal 9 Mei 1731, di tuha ro lanti menjadi
Sultan Bima VI oleh Majelis Hadat Kesultanan. Mulai saat itu sampai mangkat pada tahun 1742, memegang tampuk
pemerintahan kesultanan. Mangkat di
Dusun Daha, Wilayah Kesultanan Dompu ketika sedang meninjau keadaan wilayah
dompu. Dimakamkan di Dusun Daha, Karena itu diberi gelar “ Manuru Daha” (Yang
mangkat di Daha).
Melanjutkan
perjuangan Ayahandanya dengan menjalin hubungan politik ,ekonomi dan
perdagangan dengan Makassar. Meninggal di Daha Dompu sehingga diberi gelar
Manuru Daha. Upaya
penyiaran agama Islam di wilayah taklukan Bima seperti di Manggarai dan Sumba
terus dilanjutkan. Kegiatan dakwah di daerah Donggo, terutama di Donggo Ipa
dilaksanakan dengan intensif. Sebagian masyarakat Donggo Ipa yang sebelumnya
enggan meninggalkan agama lama berbondong-bondong menerima agama islam. Adat
lama yang tidak sesuai dengan nilai norma Islam dilarang untuk diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat harus mengembangkan adat (system budaya) yang
Islami. Seni budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus ditinggalkan.
Dengan demikian diharapkan Adat Mbojo akan melahirkan system sosial dan
kebudayaan fisik yang islami, baik dari sisi substansi maupun label atau
simbol. Sultan
Alauddin dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada tahun 1742 M. Ia mangkat ketika
sedang menjalankan tugas melakukan peninjauan di Dusun Daha Wilayah Dompu.
Jenazahnya dimakamkan di Dusun Daha, karena itu diberi gelar “Manuru Daha”atau
yang dikebumikan di Daha.
Sultan Abdul Kadim Bergelar Ma Waa
Taho ( 1742 – 1773 )
Makam Sultan Abdul Kadim |
Putra dari Sultan Alauddin, lahir di Bima pada
tanggal 18 Muharam 1149 H (tahun 1729 M). mempunyai tiga saudara perempuan,
masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga, Bumi Runggu dan Siti Halimah.
Setelah menikah dianugerahi empat orang anak, yaitu Abdul Hamid, Daeng Mataya,
Daeng Pabeta (La Mangga) dan Ina Madu Rato Wa’i (perempuan).
Hal yang menarik juga
adalah program Jumat Khusyu yang saat ini gencar dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bima maupun kota Bima melalui Piagam Mbojo yang dicanangkan sejak
tahun 2002, sebenarnya sudah lama diterapkan di wilayah kekuasaan kesultanan
Bima. Sultan Bima VI Abdul Kadim telah membuat larangan beraktifitas pada hari
Jumat, hingga kepada kapal-kapal yang berlayar meninggalkan tanah Bima. “ bahwa
apabila ia berjalan pada malam hari hendaklah membawa api penerangan dan bila
berjalan di tengah hari jumat,waktu bersembahyang jumat, maka apabila ditangkap
atau dibunuh oleh kawal, tiadalah dapat disesalkan kepada penguasa dan negeri
Bima. Demikian pula jika ia berkelahi di dalam negeri atau pasar, jangankah
sudah dihunus senjatanya, belum dihunuspun ia akan disita senjatanya oleh hukum
dan didenda cukup berat, yaitu sepuluh tahlil muslim besar, karena ia membuat
ketakutan pada orang-orang perempuan dalam negeri atau dalam pasar “ (Siti
Maryam R.Salahuddin, Undang-undang Bandar Bima Hal : 88 )
Larangan itu terus
berlangsung hingga di periode akhir kesultanan Bima. Pada hari jumat seluruh
aktifitas dihentikan, termasuk pelayaran. Ancamannya cukup berat yaitu didenda
cukup berat dan bahkan dibunuh jika melakukan perkelahian dan berbuat onar di
pasar-pasar pada hari Jumat. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kekhusyukan
ibadah pada hari jumat. Hal itulah mungkin yang masih dipegang teguh oleh para
tukang-tukang dan kuli bangunan hingga saat ini. Mereka enggan untuk
bekerja dan menerima tawaran kerja pada
hari jumat. Alasannya adalah menghormati hari juma’t. Setelah memegang tampuk pimpinan lebih kurang 30 tahun, tepatnya 1773 M,
Sultan Abdul Kadim kembali ke alam baqa menghadap yang maha Kuasa dan
dimakamkan di pemakaman keluarga istana di halaman masjid Istana. Sesuai dengan
budi pekerti serta sikap dan perilaku semasa hidupnya yang dikenal sebagai
sosok pemimpin yang baik dan sopan, maka oleh rakyat diberi gelar “ Ruma Ma Wa’a
Taho” (Sultan yang membawa kebaikan).
Sultanah Komalasyah ( Kumala Bumi
Partiga ) ( 1747 – 1751 )
Parang Sakti La Nggunti Rante. Pasangannya diperkirakan dibawa Komalasyah dalam pembuangannya |
Nama diri atau nama
sebenarnya adalah “Kumala”, tetapi karena memegang jabatan sebagai “Bumi
Partiga “ maka populer dengan panggilan “Kumala Bumi Partiga” putri dari Sultan
Alauddin dengan permaisurinya Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi puteri dari
Sirajuddin Sultan Makassar. Salah seorang adik laki-lakinya adalah Abdul Kadim
(Sultan Bima VII). Di kalangan orang Makassar, dikenal dengan nama “Karaeng
Ballasari”.
Setelah dewasa
menikah dengan L Mappababbasa alias Abdul Kudus Sultan Makassar. Dari
pernikahannya itu, melahirkan seorang putera bernama “Usman” yang nama
Makassarnya dikenal dengan “Amas Madina”. Dalam usia enam tahun tepatnya
tanggal 21 Desember 1753 diangkat menjadi Sultan Makassar oleh Dewan Bate
Salapanga (Lembaga Pemerintahan Makassar ) menggantikan kedudukan ayahnya
Sultan Abdul Kudus yang wafat pada tahun 1753.
Dia
adalah Satu-satunya Sultanah dalam kesultanan Bima. Komalsyah adalah puteri
dari Sultan Alauddin dan kakak dari Abdul Qadim. Komalasyah menikah dengan
sultan Gowa Abdul Qudus ( I Mappababbasa
). Mengambil alih kekuasaan ketika Abdul Qadim yang dilantik Majelis Hadat
masih kecil dan diwalikan oleh perdana Menteri Abdul Nabi. Komala menganggap
Abdul Nabi cenderung bekerja sama dengan Belanda. Akhirnya Belanda berhasil
menawan Komalsyah bersama anaknya Amas Madina ( Batara Gowa ) dan dibuang ke
Batavia kemudian di buang ke Ceylon Srilangka. Meninggal di pengasingan pada
tahun 1751.
Sultan Abdul Hamid Bergelar Mantau
Asi Saninu ( 1773 -1819)
Mahkota Kerajaan Bima yang dibuat pada masaAbdul Hamid |
Sebelum memegang
Jabatan Sultan, oleh Majelis Hadat dilantik menjadi Jena Teke. Setelah ayahnya
wafat pada tahun 1187 H (lebih kurang tahun 1773 M), dinobat menjadi Sultan.
Sehubungan usianya yang masih sangat muda (lebih kurang 11 tahun), maka untuk
sementara roda pemerintahan dijalankan oleh seorang “wali” yang bernama
Muhyddin yang merangkap sebagai Ruma Bicara. Rangkap jabatan akibat usia Sultan
yang masih muda sering membawa angin
tidak segar bagi percaturan politik pemerintah di Bima pada masa selanjutnya.
Setelah menjalankan
roda pemerintahan selama lebih kurang 46 tahun, Sultan Abdul Hamid kembali
mnghadap Yang Maha Kuasa, tepatnya pada tanggal 1 Ramadhan 1234 H(lebih kurang
Juni 1819 M). Dikebumikan di kompleks keluarga di halaman Masjid Istana Bima.
Setelah mangkat diberi gelar “Mantau Asi Saninu” (yang memiliki Istana cermin).
Abdul Hamid sadar, bahwa rakyat serta negeri yang dicintainya sedang dilanda
berbagai tantangan, akibat politik de vide et empera Belanda pada masa
pemerintahan ayahnya. Untuk mengatasi semua persoalan tersebut, Abdul Hamid
harus berjuang keras. Hubungan dengan Makassar harus segera dipulihkan,
pertahanan keamanan perlu ditingkatkan, perdagangan harus segera dibenahi
seperti pada masa sebelumnya.
Diberi
gelar Mantau Asi Saninu karena tinggal di Istana yang berhiaskan cermin. Abdul
Hamid sangat lihai berdiplomasi dan berkorespondensi pada zamanya. Kumpulan
surat-suratnya ada di negeri Belanda dan sudah diterbitkan dalam dua buku masing – masing berjudul “ Iman Dan Diplomasi dan Alamat sultan “
(Henri Chambert – Loir, Massir Q Abdullah, Suryadi, Oman Faturahman dan Hj.Siti
Maryam Salahuddin) .”. Salah satu surat penting Abdul Hamid adalah lukisan
kejadian tentang Letusan Tambora kepada Gubernur Jenderal Inggris Thomas
Stampford Raffles di Surabaya pada tahun 1815. Abdul Hamid juga yang
menciptakan Mahkota Kerajaan, Bendera dan lambang kesultanan Bima dengan Burung
Garuda Berkepala Dua yang melambangkan perpaduan hukum adat dan hukum islam.Keberadaan Sultan Abdul Hamid di tengah-tengah rakyat masih diperlukan,
tetapi rupanya takdir menginginkan lain. Di saat mereka menyambut gembira
kedatangan 1 ramadhan tahun 1234 H (Juni 1819), bulan suci bagi umat Islam,
hamba Allah yang berpredikat Sultan itu kembali ke alam baqa
Sultan Ismail Yang Bergelar Ma Wa’’a
Alu ( 1819 – 1854 )
Ismail adalah putera
tunggal dari Sultan Abdul Hamid, mempunyai saudara perempuan bernama Jamila Bumi
Kaka. Lahir di Bima pada tanggal 1 Zulhijah 1211 H (lebih kurang tahun 1795 M).
Ia menikah dengan puteri Muhammad Anwar (Ma Wa’a Kali), memperoleh seorang
putera bernama Abdullah. Dengan permaisuri lain dianugerahi seorang puteri
bernama Siti Aisyah Umi Salama.
Diberi
gelar Ma Wa’a alu karena sifat dan pembawaannya sangat halus dan lembut. Masa
pemerintahan Sultan Ismail, Bima berada dalam kekuasaan Inggris.Pada saat itu
Sultan Ismail melakukan perbaikan ekonomi pasca meletusnya gunung Tambora.
Sawah-sawa baru dicetak, menetapkan Ruhu-Ruhu yang terlantar yang menjadi
tempat pengembalaan ternak, membuat tambak-tambak dan empang, termasuk yang dikenal dengan “Sarata”. Menyempurnakan
angkatan bersenjata dengan memperkuat Armada Laut yang diberi nama “ Pabise “.
Disamping bergelar Ma Wa’a Alu, Sultan Ismail juga diberi gelar Manuru Sigi
atas jasa dan pengabdiannya dalam pembangunan mushalla dan masjid di seluruh
wilayah kesultanan Bima. Pada
tahun 1854, ketika Bima sedang ditekan oleh Belanda agar menerima segala
tawaran yang dituangkan dalam setiap perjanjian, Sultan Ismail meninggalkan
rakyat dan negeri yang dicintai untuk selama-lamanya. Jenazahnya dimakamkan
keluarga di halaman Masjid Istana. Ia diberi gelar Ruma Ma Wa’a Alu (Sultan
yang memiliki budi pekerti yang halus).
Sultan Abdullah Bergelar Ma Wa’a
Adil ( 1854 – 1868)
Pada
masa ini perekonomian kesultanan Bima menggembirakan. Tapi masalah yang
dihadapi adalah usaha Belanda menguasai Kesultanan Bima dan pemaksaan untuk
menandatangani kontrak dan perjanjian yang merugikan kesultanan Bima.
Menghadapi Belanda Sultan Abdullah memodernisasi peralatan dan senjata yang
diperoleh dari Inggris dan Portugis. Sultan Abdullah juga memprkuat dakwah di
wilayah taklukan seperti Manggarai,
Sumba, Larantuka dan Sawu. Pada masa ini, secara mengejutkan Wazir Muhammad
Ya’cub membubarkan Anggkatan Laut Bima “ Pabise “. Mengakibatkan lemahnya
posisi kesultanan Bima di wilayah laut flores. Ketika sedang gigih berjuang melawan Belanda, pada tahun 1288 H (tahun
1868 M), Sultan Abdullah mangkat, Jenazahnya dimakamkan di halaman Masjid
Istana di komplek Makam Keluarga. Setelah wafat diberi gelar”Ma Wa’a Adil”
(Sultan yang arif bijaksana serta adil).
Sultan Abdul Azis Bergelar Ma Wa’a
Sampela ( 1868 – 1881 )
Abdul Azis putra
sulung Sultan Abdullah, lahir di Bima pada tahun 1860 di saat Bima sedang
mendapat tekanan dan paksaan untuk
menerima isi perjanjian yang sangat merugikan dari pihak penjajah Belanda.
Abdul Azis mempunyai seorang adik yang bernama Ibrahim. Dua saudaranya putra Sultan
Abdullah ini, kelak akan menerima amanah dari rakyat, untuk menjalankan roda
pemerintahan Kesultanan Bima. Abdul Azis selama hayatnya tidak pernah menikah,
karena itu dalam menjalankan tugasnya ia tidak pernah didampingi oleh seorang
permaisuri seperti lajimnya seorang Sultan. Berhubung tidak mempunyai putra,
maka setelah mangkat jabatan Sultan diamanahkan kepada adiknya Ibrahim.
Sebelum dilantik
menjadi Sultan Bima menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat pada tahun 1288 H
(tahun 1868 M), ia dilantik menjadi Jena Teke oleh Majelis Hadat Dana Mbojo.
Setelah memegang tampuk pemerintahan kurang lebih 13 tahun, Ia mangkat tanpa
menderita penyakit. Hal ini mengundang banyak tanda tanya di lingkungan istana.
Jenazahnya dikebumikan di halaman Masjid Istana di kompleks makam keluarga.
Sesuai dengan statusnya yang masih membujang maka oleh rakyat diberi gelar “
Ruma Ma Wa’a ampela” (Sultan yang wafat dalam keadaan bujang).
Pada
masa ini, hubungan Bima dengan Belanda seperti Api dalam sekam. Belanda terus
berusaha memaksa Sultan untuk menandatangani perjanjian dan kontrak. Hal ini
menimbulkan pro dan kontra di kalangan majelis Adat dan pejabat kerajaan. Ada
yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Sehingga lahirlah kelompok “ Ma
Kalosa Weki “ ( Kelompok yang keluar dari Istana) seperti Wazir (Perdana
Menteri Ahmad Daeng Manasa). Sikap Perdana Menteri ini disambut positif oleh para bangsawan dan tokoh
masyarakat. Kelompok inilah yang kemudian mempelopori Perang Rakyat seperti
perang Ngali (1908-1909),Perang Kala (1908) Perang Rasa Nggaro(1910), Dan
Perang Dena (1910). Sultan Abdul Azis meninggal di usia bujang secara misterius
sehingga diberi gelar Ma Wa’a Sampela.
Sultan Ibrahim Bergelar Ma Wa’a Taho
Parange ( 1881 – 1915 )
Ibrahim dilahirkan di
Bima pada 3 Syawal 1282 H (tahun 1862 M), adik dari Sultan Abdul Azis Ibnu
Sultan Abdullah. Setelah dewasa menikah dengan Siti Fatimah puteri Lalu Yusuf
Ruma Tua Sakuru. Sesudah permaisurunya wafat,ia menikah lagi dengan adik
iparnya yang bernama Siti Aminah. Selain itu Sultan Ibrahim mempunyai
permaisuri yang berasal dari bangsawan tinggi Makassar bernama Karaeng Bonto
Ramba, putri dari Karaeng Mandale. Sultan Ibrahim pernah menikah lagi dengan
gadis lain, sesudah salah satu istrinya wafat. Dari semua istrinya, Sultan
Ibrahim dianugerahi 12 orang anak. Salah seorang diantaranya adalah Muhammad
Salahuddin, yang kelak akan diberi mandat untuk menjadi Sultan Bima XIV, menggantikan
kedudukan ayahnya yang wafat pada tahun 1915 M. Sultan
Ibrahim aadalah adik Sultan Abdul Azis. Pelantikannya tidak direstui Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda di Makassar memaksa Sultan Ibrahim untuk menyerahkan
daerah-daerah taklukan. Pada tahun 1905 Belanda memaksa Sultan Ibrahim
menyerahkan Tanah Manggarai. Tahun 1906 Belanda memaksa Sultan pergi ke Batavia
untuk menandatangani “ Longe Kontrak “ ( Kontrak Politik Panjang). Tindakan
Belanda yang memaksa Sultan Ibrahim menimbulkan kemarahan rakyat. Belanda
mencampuri urusan dalam negeri Bima dengan merombak struktur Pemerintahan.
Belanda membubarkan Sara Hukum yang selama berabad-abad dibawa pimpinan seorang
Imam (Qadi) yang berfungsi sebagai pelaksana dan pengadilan Syariat Islam. Di
bidang perdagangan Belanda menerapkan sistim monopoli dan Karangga Wari (
Merampas Harta Benda Rakyat). Sultan dianggap berpihak kepada Belanda, maka
timbullah perang rakyat.
Perang
Rakyat bisa dipadamkan meski kelompok-kelompok Ma kalosa Weki masih tetap ada.
Sultan bersama Wazir Muhammad Qurais melakukan konsolidasi dengan melakukan
pendekatan kembali dengan para tokoh masyarakat dan ulama. Sultan kembali
mendirikan Sara Hukum dengan nama Majelis Syari’ah sebagai lembaga pendidikan
dan dakwah. Masjid dan Mushalla diperbanyak di seluruh desa, meningkatkan
kembali kegiatan dakwah. Dana untuk hal itu diambil dari Dana Molu (Tanah
Maulid) dan Dana Ngaji Kai ( Tanah Ngaji),Sultan juga mendirikan rumah waqaf di
Makkah dengan biaya 3.500 Ringgit untuk menampung Jammah Haji asal Bima.
Sultan
Ibrahim juga punya jasa besar dalam upaya penyelamatan binatang langka Komodo. Dalam
salinan Terjemahan/Aliaksara Naskah Sultan Bima : DR Hj. Sitti. Maryam M.
Salahuddin, SH. Membaca arsip dari Residen Timor dan Daerah
Takluknya tertanggal 30 Desember 1914 No. 4031/40, dapat diuraikan bahwa
sejak Raja dan para Sultan Bima menjalin hubungan dan memiliki kekuasaan di
Manggarai, Sultan Bima telah menerbitkan UU perlindungan terhadap hewan purba
tersebut. Dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan tentu saja tujuan serta
kegunaan serta nilai lebih pada pemeliharaan dan penjagaan kelangsungan hidup
hewan tersebut, Sultan sadar betul bahwa komodo merupakan hewan langka dan
wajib hukumnya untuk dijaga kelestarianya.Dalam naskah tersebut Sultan Ibrahim
memerintahkan kepada semua masyarakat yang berada sama dengan komunitas komodo
membiarkan hewan tersebut hidup secara bebas dan melarang memburu apalagi
merusak sarang dan semua tindakan yang akan mengancam kelangsungan habitat
komodo. Seperti yang tertulis dalam pasal 3 menyatakan:
“Menangkap atau membunuh
binatang tersebut dalam pasal 1″, yang berada di atas atau di dalam
rumah atau di atas pekarangan rumah yang bersangkutan maupun
tempat-tempat tertuntup, terhadap penghuni rumah dan pengguna tanah
dan pihak ketiga dengan persetujuannya dibebaskan.
Pengecualian yang sama berlaku untuk mengambil, merusak atau
mengganggu sarang-sarang binatang yang ada disana”
Sultan
Ibrahim wafat pada tahun 1915 dan dimakamkan di kompleks makam kesultanan Bima
di sebelah barat Masjid Sultan Muhammad Salahuddin.
Sultan Muhammad Salahuddin Bergelar
Ma Kakidi Agama ( 1915- 1951)
Muhammad Salahuddin
adalah tokoh yang memegang peran utama dalam perkembagan sejarah Bima pada awal
abad XX . Salahuddin adalah salah seorang putra Sultan Ibrahim (Sultan XIII)
dengan permaisurinya Siti Fatimah Binti Lalu Yusuf Ruma Sakuru. Lahir di Bima
Pada tanggal 15 Zulhijah 1306 H (14 Juli 1889), memiliki 11 orang saudara. Tiga
saudara seayah seibu masing-masing bernama Abdullah (Ruma Haji), Abdul Qadim
(Ruma Siso) dan Nazaruddin (Ruma Uwi), Saudara seayah terdiri dari Siti Hafsah,
Abdul Azis, Sirajuddin (Ruma Lo), ibunda ketiganya bernama Siti Aminah.
Kemudian Siti Aminah (Ruma Gowa) ibundanya Karaeng Bonto Ramba putri Karaeng
Mandalle, Siti Aisyah (ibundannya bernama Baena), Lala Ncandi (ibunya bernama
Aisyah), Ahmad (ibundanya bernama Sakinah) dan La Muhammad (ibunya bernama
Hamidah).
Muhammad Salahuddin
menikah dengan Siti Maryam Binti Muhammad Qurais, kemudian menikah lagi dengan
Siti Aisyah, putri Sultan Muhammad Sirajuddin (Sultan Dompu). Dengan
permaisurinya Siti Maryam Binti Muhammad Qurais, Salahuddin memperoleh lima
orang putri yaitu Siti Fatimah, Siti Aisyah,Siti Hadijah, Siti Kalisom dan Siti
Saleha. Dari pernikahannya dengan Siti Aisyah putri Sultan Dompu, memperoleh
seorang putra bernama Abdul Kahir (Sultan
Abdul Kahir II), Siti Maryam (Ruma Mari), Siti Halimah (Ruma Emi) dan Siti
Jahara (Ruma Joha).
Sultan
Muhammad Salahuddin dinobatkan menjadi Sultan Bima ke-14 pada tahun 1915. Muhammad
salahuddin adalah sultan yang berpemikiran maju. Salahuddin memimpin Kesultanan
Bima pada saat Indonesia sedang berjuang melawan penjajah dan masa pergerakan
kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Hal itulah yang mempengaruhi sudut
pandang Salahuddin dalam garis perjuangan menghadapi Belanda. Bagi salahuddin
menghadapi penjajah tidak hanya cukup dengan kekuatan senjata. Pendidikan dan
organisasi pergerakan adalah media yang ampuh menghadapi Belanda. Meski perang
berkecamuk dimana-mana, Salahuddin tetap konsisten membangun pendidikan
modern HIS di Raba tahun 1921,
menfasilitasi berdirinya organisasi pergerakan dan politik di Bima.
Sekolah-sekolah agama didirikan berbarengan dengan sekolah-sekolah umum pada
tahun 1934 bernama Darul Ulum Bima. Guru-guru didatangkan dari Jawa dan
Sumatera. Bea siswa diberikan kepada putra puteri terbaik daerah dan mendirikan asrama-asrama
Bima di kota-kota besar di seluruh Indonesia.
Sultan
yang dijuluki “ Ma Kakidi Agama “ ( Yang menegakkan Agama) itu juga menulis
Buku “ Nurul Mubin” yang dicetak penerbit Syamsiah solo dan dicetak kedua
kalinya terbit pada tahun 1942. Salahuddin sangat dekat dengan Bung Karno. Hal
ini dibuktikan dengan 2 kali kunjungan Bung Karno di Bima yaitu pada saat
pulang dari pembuangan di Ende dan pada tahun 1950.
Jiwa Nasionalis Salahuddin dibuktikan dengan dikeluarkannya
Maklumat 22 Nopember 1945 yang salah satu isinya adalah “ Pemerintah Kerajaan
Bima adalah Bagian dari Negara Kesatuan Rapublik Indonesia “. Maklumat ini
adalah sinyal bahwa Kesultanan Bima harus tunduk pada NKRI. Pada Pidato
penerimaan kunjungan Bung Karno di Istana Bima, Salahuddin mengemukakan ““ Paduka yang mulia, rindu yang meluas
ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada saat ketika mana terbayanglah di muka
kami rakyat disini wajah bapak-bapak pemimpin kita Bung Karno dan Bung Hatta
yang sedang memproklamirkan kemerdekaan indonesia, lalu pada saat itu juga
tertanamlah dalam jiwa rakyat disini arti proklamasi yang harus dijunjung
tinggi, harus dipertahankan dan harus dimiliki itu, sehingga pada tanggal 22
Nopember 1945, kami di kesultanan Bima ini mengeluarkan peryataan bahwa daerah
kesultanan Bima menjadi daerah istimewa yang langsung berdiri di belakang
Republik indoenesia.”(Dikutip dari Buku Profil Raja dan Sultan Bima, M.Hilir
Ismail dan Alan Malingi, hal 56 )
Sultan
Salahuddin Wafat di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1951. Jenajahnya dibungkus
Kain Merah Putih dan disemayamkan di Gedung Proklamasi atas perintah Bung
Karno. Atas permintaan keluarga jenajahnya di makamkan di Pemakaman Karet
Jakarta.
Sultan Abdul Kahir II Bergelar Ma
Busi Ro Mawo (1945-2001)
Abdul
Kahir II adalah putera dari Sultan Muhammad Salahuddin. Selama hidupnya belum
dilantik menjadi Sultan dan menyandang Gelar sebagai Jena Teke (Putera Mahkota
) sejak dilantik pada tanggal 13
November 1945 sewaktu Sultan Salahuddin masih hidup. Jabatan sultan
diberikan oleh Majelis Adat Dana Mbojo setelah wafat pada 5 Mei 2001.
Masa
Abdul Kahir adalah masa transisi dimana Kesultanan Bima berubah menjadi bagian
dari NKRI sejak maklumat 22 Nopember 1945 dan wafatnya Sultan Muhammad
Salahuddin pada tahun 1951. Bima menjadi daerah Swapraja, Swatantra kemudian
menjadi Daerah Dati II Kabupaten Bima sesuai amanat Undang-Undang Nomor 69
Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Propinsi Bali, NTB
dan NTT.
Semasa hidupnya Abdul Kahir pernah menjadi Komandan Peta,
komandan TKR dan BKR. Sejak tahun 1953 sampai dengan tahun
1987, sultan Abdul Kahir II berperan sebagai pengyelenggara negara, baik di
lembaga eksekutif maupun legislatif. Di lembaga eksekutif menduduki berbagai jabatan, seperti patih, Bupati kepala
daerah Tingkat II Bima, kemudian memegang jabatan kepala Biro pemerintahan Umum
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan
mengabdi di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta.
Selain itu, Abdul Kahir juga
pernah menjadi anggota DPRD Bima, kemudian menjadi anggota DPRD Provinsi
Nusa Tenggara Barat dan yang terakhir dipercayakan oleh rakyat Nusa Tenggara
Barat untuk menjadi wakil mereka di DPR RI.
Sultan H.Ferry Zulkarnain, ST ( 4 Juli
– 23 Desember 2013 )
Prosesi penobatan Sultan Bima ke-16 Ferry Zulkarnaian |
Ferry Zulkarnain
lahir di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1964. Putera pertama dari Sultan Abdul
Kahir II dan permaisuri Hj. Retno Murti Zubaidah. Ferry mengenyam pendidikan
mulai dari SD hingga perguruan tinggi di luar Bima. Sosok yang murah senyum ini
menempuh pendidikan sekolah dasar di Mataram, sedangkan untuk jenjang
pendidikan SMP hingga perguruan Tinggi di Jakarta. Pada usia 31 tahun, Ferry
mempersuntik Indah Dhamayanti Puteri dan dikaruniai 2 orang putera yaitu
Muhammad Putera Ferryandi dan Muhammad Putera Pratama yang lahir setahun
sebelum Ferry menghadap Sang Khalik.
Disamping berprofesi
sebagai kontraktor, Ferry juga masuk di pentas politik lewat partai Golongan
Karya. Pada pemilu tahun 1997, Ferry menjadi anggota DPRD Kabupaten Bima hingga
tahun 1999. Karena era reformasi, dilaksanakan lagi pemilihan umum pada tahun
1999. Ferry kembali menjadi legislator dan menjadi wakil ketua DPRD Kabupaten
Bima hingga tahun 2003. Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, Ferry dan
para wakil rakyat dari daerah pemilihan Rasanae hijrah mengisi keanggotaan DPRD
Kota Bima dan menjadi Ketua DPRD kota Bima.
Pada saat menjadi
ketua DPRD Kota Bima, Ferry mencalonkan diri menjadi Bupati Bima berpasangan
dengan Drs.H.Usman AK. Ferry pun menjadi Bupati Bima masa bhakti 2005-2010.
Pada periode kedua, 2010-2015, sang ajal menjemput dan Ferry wafat pada tanggal
23 Desember 2013. Ferry Zulkarnain dinobatkan sebagai Jena Teke Kesultanan Bima
pada tahun 2002 dan di tuha ra lanti
(penobatan) menjadi sultan Bima ke-16
pada tanggal 4 Juli 2013. Masa kepemimpinan Ferry sama dengan masa
kepemimpinan Abdul Kahir. Keduanya memegang rekor masa jabatan sultan
terpendek. Abdul Kahir I dilantik 5 Juli 1640 M dan wafat pada tanggal 22
Desember 1640 M. Ferry Zulkarnain dilantik pada 4 Juli 2013 dan wafat pada
tanggal 23 Desember 2013.
Penulis : Alan
Malingi
Sumber :
Sejarah Bima Dana
Mbojo, Abdullah Tayib, BA
Peran Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail
Kebangkitan Islam Di
Dana Mbojo, N. Hilir Ismail
Profil Raja Dan
Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi
Chambert Loir Henry,
Syair Kerajaan Bima, Lembaga Pendidikan Prancis Untuk Timur Jauh (EFEO),
Jakarta 1982.
Chambert Loir Henry,
Sitti Maryam R. Muhammad Salahuddin,” Bo Sangaji Kai”, Yayasan Obor, Jakarta,
1999.
Abdul Gani Abdullah,
Badan Hukum Syara Kesultanan Bima, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Ahmad Amin, Sejarah
Bima “Sejarah Pemerintahan Serba – Serbi Kebudayaan Bima”’ (Stensil) 1971.
Muslimin Hamzah,
Ensiklopedia Bima, 2004
www.alanmalingi.wordpress.com
Post a Comment