Semalam Di Serasuba
Mentari mulai
memasuki peraduannya. Sebentar lagi cahaya purnama akan bertualang. Angin
sepoi-sepoi menyapa setiap insan yang lalu lalang di sudut-sudut kota. Berbagai
aktifitas mulai dilakukan. Mulai dari pedagang kaki lima, muda mudi yang
pacaran, suami istri yang berbelanja, lonte-lonte yang mencari pelanggan,
bahkan anak-anak yang masih saja asyik bermain bola di tengah kawanan sapi yang
selalu mangkal di tanah lapang itu.
Di bawah pohon-pohon palem, di pinggir-pinggir trotoar dan
di patung kuda sebelah selatan orang – orang mulai duduk santai. Ada yang
berduaan, berkelompok dan menyendiri. Ada pula yang bermain gitar sambil
bernyanyi keras-keras. Di sudut sebelah barat tampak beberapa buah sepeda motor
pretelan. Dalam keremangan cahaya dan sayup-sayup adzan berkumandang, anak-anak
muda mulai membuka botol bir dan anggur.
Di deretan bangku panjang sebelah
barat dan utara, beberapa orang mulai berkumpul. Masing-masing membawa secarik
kertas dan pena. Salah seorang dengan langkah terburu-buru datang menghampiri.
Di tangannya menenteng beberapa buku yang mirip dengan komik dan berisi
gambar-gambar ramalan mimpi. Mereka asyik berbincang dan berdiskusi sambil
menikmati suguhan kopi, teh dan mie rebus. Mereka larut dalam angka-angka setan
yang sengaja dikeramatkan dan dijitukan.
Orang-orang menyebut tanah lapang itu adalah lapangan
merdeka Bima. Pernah juga Aku dengar dengan nama SERASUBA. Sera dalam bahasa
Bima berarti tanah lapang. Sedangkan Suba adalah perintah.Serasuba dulunya adalah
tanah lapang tempat keluarnya segala titah. Kini Serasuba dijadikan seperti
layaknya alun-alun kota. Karena di sebelah timurnya terdapat bangunan bekas
Istana Bima. Kondisi bangunan ini sungguh menyedihkan. Taman-taman di
sekeliling halamannya yang tidak tertata rapi. Dibiarkan berantakan tak
terawat. Pelataran sebelah utara dan barat yang lengang tanpa aktivitas.
Sepetak lapangan tenis di sebelah utara sungguh tidak kontras dengan makna
sebuah bangunan bersejarah. Sebagian besar ruangannya dibiarkan kosong. Sudah
banyak barang-barang bersejarah yang menjadi kebangaan masyarakat Bima yang
hilang entah kemana.
Di sudut trotoar
sebelah timur, seorang lelaki tua duduk termenung. kopiah hitam, baju kaos
lusuh, sarung tenun khas Bima, dan sandal jepit dari karet ban mobil adalah busana yang selalu
melekat pada sosok lelaki tua itu. Rambut dan jenggot yang sudah memutih,
beberapa batang rokok daun lontar merupakan pemandangan yang tidak dapat
dipisahkan dalam pribadinya.
Sejak sore tadi Aku amati dia duduk
termenung memandang Istana Bima. Dari sorot matanya terpancar kesedihan yang
mendalam. Apa yang terjadi denganmu lelaki tua ? kau patah hati ? cari lonte ?
pasang kupon putih dan nomormu tidak keluar ? cuci mata ? Pertanyaanku muncul
bertubi-tubi.
“ Ompu1 dari mana ? “ Kucoba menghampirinya untuk menjawab rasa
penasaranku.”
“ Rumahku tidak terlalu jauh dari sini.” Dia menjawab
enteng.
“ Setiap malam saya selalu mengamati Ompu di sini.”
“ Oh ya. Ada sesuatu yang
mencurigakan ? “
“ Tidak juga.“
“ Lantas ? ”
“ Hanya sekedar ingin tahu mengapa Ompu sering mangkal
disini.”
“ Dalam usiaku yang beranjak senja
ini, karena mungkin mentari esok tak lagi menyapaku. Tiba-tiba saja ketenangan
batinku justru ada di tempat ini.”
“ Di tempat ini ?”
“ Ya .. disini.”.
“ Dalam suasana hiruk pikuk seperti ini ?
Lelaki tua itu hanya mengangguk enteng. Aku hanya diam
dalam kebingunganku. Sebab maksud yang tersembunyi belum juga dapat kutemukan.
Lelaki tua ini pintar menawarkan sebuah teka teki.
“ Kau keliru anak muda. “ tiba-tiba saja suaranya memecah
hiruk pikuk malam itu.“ Kau telah berburuk sangka terhadap orang lain. Itu
tidak baik. Itulah sumber malapetaka Bangsa yang sedang kita hadapi. Saling
curiga, saling sikat dan sikut, saling gasak, gesek, dan gosok antara sesama.
Sedangkan hati nurani pada kebersamaan, persaudaraan, dan indahnya perdamaian
bagai karang terkikis ombak.”
“ Lantas apa daya pikat Ompu pada tempat ini ?”
“ Aku sedang menjalani puber kedua.
“ Puber kedua ?”
“ Kenapa ….. ? Heran
…… ? Bingung …….. ?
“ Kenapa harus disini ? kenapa tidak diganggu saja mereka
yang mondar mandir itu ?”
“ Kau terkecoh dengan istilahku. Anggapanmu salah.”
“ Lalu apa yang
Ompu maksudkan ? “
“ Masa puberku
bukanlah pada daun muda, body gitar, paha mulus, betis indah, baju ketat,
celana ketat, pusar yang dipertontonkan, pantat besar dan segala tetek
bengeknya.”
“ Lantas ? “ tanyaku bingung.
“ Di tempat ini
puber pertamaku hadir. Cinta pertama dan terakhirku terjalin disini, menjadi
saksi bisu kenangan terindah yang pernah terukir di masa lalu. Tiada seorang
pun yang tahu, termasuk kau dan generasimu.
“ Seindah apa
kenangan yang pernah terukir disini ?
“ Sulit untuk
kuungkapkan. Tetapi untuk menjawab rasa penasaranmu, tak apalah aku lukiskan
seindah pelangi di pagi hari. Penuh warna dan
warni.”
Rasa penasaranku
semakin memuncak, kutawarkan padanya untuk bercerita.
***
Rumah panggung
sembilan tiang, atapnya terbuat dari daun alang-alang yang dirajut tebal.
Hampir sebagian besar tiang dan dindingnya terbuat dari kayu Jati. Rumah itu
tampak sederhana tetapi bersahaja. Sebagaimana penghuninya yang tetap selalu
menjaga kesederhanaannya. Tidak ada barang yang istimewa dalam rumah itu.
Berbagai jenis alat musik tradisional seperti gendang, gong, serunai,
tawa-tawa, biola dan gambo memenuhi serambi depan rumah itu. Di ruang depan
terdapat sepuluh sampai lima belas buah kitab suci Al-Qur’an.
Di rumah inilah Ama
Beda2 kecil dilahirkan dan dibesarkan. Ayahnya seorang Dari Genda3,
sedangkan ibunya seorang penari lenggo. Mereka hidup damai tak terusik dalam
dekapan adat budaya kesultanan Bima yang kokoh dan kuat. Mereka selalu dalam
keadaan cukup. Sebab dengan tanah jaminan yang diberikan Sultan, serta
penghargaan lain yang diberikannya untuk seniman tradisional sangat
berarti.
Mulai pagi hingga
petang, Ama Beda menemani ayah bundanya ke Istana Bima. Disinilah mereka
mengabdikan diri sepanjang hidup. Alunan suara gendang dan serunai selalu
menghiasi dan menjadi identitas tersendiri di lingkungan itu. Tidak hanya itu,
berbagai kegiatanpun digelar. Karena istana itu berfungsi sebagai pusat
pemerintahan, pendidikan agama, dan pegembangan seni budaya.
Bila malam tiba,
Ama Beda dan teman-teman seusianya belajar mengaji. Hampir setiap rumah selalu
terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an membahana sampai ke ruang langit.
Menginjak usia remaja, Ama Beda mulai mengikuti jejak sang ayah. Ia sudah mahir
menabuh gendang dan lincah bermain Buja Kadanda4, Mpa’a
Pedang5 dan Kuntao6. Hampir setiap ada hajatan-hajatan
besar Istana maupun pesta perkawinan dan sunatan, ia selalu tampil. Kelincahan
dan kemahirannya memukau setiap orang. Tak heran jika ia menjadi primadona para
kawula muda.
Upacara adat
spektakuler UA PUA7 telah mengukir kenangan terindah dalam hidup Ama
Beda. Lenggak lenggok salah seorang penari Lenggo8 yang mengiringi
rombongan upacara dari kampung Melayu, ternyata menggugah segenap pikiran dan
perasaannya. Ada
sebentuk perasaan aneh yang selama ini belum pernah ia rasakan. Perasaan ingin
bertegur sapa, ingin berbagi rasa, dan ingin mengenal lebih jauh. Inikah cinta
? Ia sendiri tidak mengerti. Tetapi naluri dan perasaanya tidak dapat ia
bohongi dan tidak seorang pun tahu ketika rasa itu harus hadir dalam dirinya.
Ketika rombongan
itu memasuki Lare-lare (pintu gerbang) istana, tatapan Ama Beda terbalas di
celah-celah hentakan kaki kuda pengawal di barisan terdepan. Seuntai senyum
yang menghiasi bibir manis penari itu membangkitkan semangatnya untuk menabuh gendang.
Tak perduli panas menyengat dan keringat bercucuran. Sebab senyuman itu
menyejukkan hati dan perasaannya, bagai seteguk air di tengah padang tandus.
Penari itu adalah
Ina Beda yang ternyata memendam perasaan yang sama. Rindu dendam, terpana dan
terpukau pada kemahiran dan kelincahan Ama Beda. Akan tetapi kemana ia harus
melabuhkan harapan ? Kemana pula ia harus berjumpa dengan Ama Beda? Sebab adat
yang kokoh dan kuat yang didasari ajaran Islam yang kental tidak membolehkan
wanita keluar rumah sendirian tanpa muhrim. Yang hanya dapat ia lakukan
hanyalah memberikan isyarat-isyarat cinta melalui senyum dan tatapan mata.
Petualangan cinta
Ama Beda dan Ina Beda diwujudkan dalam sebuah ikatan perkawinan yang syarat
dengan proses dan nuansa adat dan budaya yang kental. Ketika cinta mereka
bersemi dalam bahtera rumah tangga. Ketika naluri dan jiwanya menyatu dalam
Istana kesultanan Bima, tersiarlah khabar bahwa Sultan Muhammad Salahuddin
jatuh sakit.
Cahaya purnama
menaungi ketenangan malam itu. Ama Beda dan Ina Beda beserta seluruh rakyat
mengantar kepergian sang sultan di pelabuhan Bima untuk berobat ke Jakarta. Kepergiannya
melahirkan duka yang mendalam bagi semua yang ditinggalkan. Tak lama berselang,
Sultan menghadap sang pencipta. Angin sepoi-sepoi berusaha menggerakkan bendera
merah putih dan pepohonan yang mulai menunduk kaku. Heningkan cipta kepada
jasad nun jauh disana. Seluruh rakyat berkumpul di SERASUBA menanti kedatangan
jasad sang Sultan. Isak dan tangis menghiasi seisi lapangan itu. Ama Beda dan
Ina beda tertunduk haru. Sebab mereka telah mendapat berita bahwa sultannya
saat ini tengah disemayamkan di gedung Proklamasi dan akan dimakamkan di
Jakarta.
Bagai lentera
kehabisan minyak. Redup dan terus redup mempersiapkan diri untuk padam.
Begitulah keadaan Ama Beda, Ina Beda, rakyat Dana Mbojo beserta adat dan
budayanya. Sebab arah angin mulai berubah. Jena Teke muda tidak dapat berbuat
banyak. Apa yang telah dibanggakan selama ini pudar seiring terbenamnya
mentari. Dan malam telah menambah hening dan sunyi senyapnya Istana Kesultanan.
Sudah tidak ada lagi alunan gendang dan serunai yang dibanggakan itu. Sudah
tidak ada lagi pejabat majelis adat yang duduk bersila di tempat itu.
Satu persatu
keluarga Istana meninggalkan tempat itu. Bubar dan hengkang entah kemana. Areal
Istana yang sangat luas itu mulai dikapling dan dijual oleh penguasa untuk
kepentingan pribadi dan golongan. Hanya dengan satu alasan “ feodalisme “ yang sangat asing di telinga
Ama Beda dan Ina Beda. Sebab mereka tidak pernah tahu istilah seperti itu.
Mereka hanya tahu bahwa falsafah hidup MAJA LABO DAHU8 yang
justru dilahirkan dari Istana itu telah menggugah semangat persatuan, kegotong
royongan, kejujuran dan keikhlasan dalam membangun tanah negerinya.
***
Cerita
lelaki tua itu terhenti. Ia tertegun menahan napas. Matanya berkaca menatap Lare-lare
(Pintu gerbang) Istana Bima. Tiada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya
ketika Aku membujuknya untuk terus
bercerita. Sebab air matanya telah mengalir membasahi pipi keriputnya. Aku
hanya diam menatap kepiluan di wajahnya.
“ Tadi pagi ada acara UA PUA,
Ompu nonton ?”
“ Tetapi belum dapat menggugah
perasaanku.”
“ Kenapa ?”
“Seperti orang
mengantar jenazah. Kini tengah terbaring kaku di dalam bangunan itu. Cahaya
kemegahan dan keagungannya sudah sirna. Begitulah adat dan budaya kita anak
muda.” Ama Beda menunjuk ke arah Istana Bima.
“ Tetapi sedikit
tidak perayaan tadi mungkin saja akan menggugah hati dan pikiran kita untuk
bangkit.”
“ Bangkit ? “ Lelaki tua itu tersenyum sinis.
“ Yah…. Kita harus
bangkit. Tidak ada kata terlambat untuk memulai.”
“ Mudah-mudahan.
Semangatmu dapat menjawab rasa pesimisku selama ini. Sebab seni budaya
tradisional kita hanya dihargai dengan sekotak jajan, sebungkus nasi dan
segelas Aqua. Tetapi kau harus memulai darimana ?”
“ Meski dengan
merangkak, saya dan generasi saya akan
memulai. “
“ Aku bangga. Meski
hanyalah sebuah tekad yang belum terwujud dan mungkin saja kendor di tengah
jalan. Sebab pembicaraan kita malam ini hanyalah sebuah pepesan kosong.”
Sejenak kami
terdiam dan larut dalam alam pikiran masing-masing. Udara semakin dingin
menusuk. Sementara suasana sekitar semakin ramai dan gila. Sebuah Sepeda motor
mulai muncul. Perlahan tapi pasti meluncur ke depan lare-lare Asi Mbojo. Di sana seorang gadis yang
berpenampilan menor berdiri . Tak lama kemudian ia naik di atas sadel. Lalu
tancap gas entah kemana.
Lelaki tua itu hanya menggeleng dan diam seribu kata. Sebab
pemandangan seperti itu sudah lumrah dan menyatu dengan tanah lapang itu.
“ Di malam yang tinggal sepenggal ini, Aku ingin menitipkan
tangis dan harapan.” Tiba-tiba saja
suaranya menjadi payau.
“ Apa harapan Ompu ?”
“ Berjuanglah untuk melestarikan adat dan budaya kita.
Jangan biarkan mata rantai sejarah dan budayamu terputus, agar kau dan
generasimu tidak menjadi generasi yang hilang dan congkak.”
T a m a t
Untuk
generasi yang hilang dan congkak, mari kita termukan kembali jati diri kita.
Ompu1 = Kakek
Ama
Beda2 =
Nama orang ( Bapaknya Si Beda)
Dari
Genda3 = pengurus alat2 musik
tradisional pada masa kesultanan Bima
Buja
Kadanda4 = seni bela diri tradisional
Bima diiringi alat music dengan menggunakan tombak.
Mpa’a
Pedang5 = seni bela diri tradisional
Bima diiringi alat music dengan menggunakan pedang
Kuntao6 = seni bela diri tradisional
Bima diiringi alat music dengan tangan kosong.
UA PUA7 =
upacata adat tradisional Bima seperti pengantaran sirih puan di Minangkabau
MAJA LABO DAHU8 = falsafah hidup masyarakat Bima yg
berarti Malu dan Takut untuk melakukan sesuatu yang melanggar norma adat dan
agama.
Post a Comment