Lompat Pagar
Dua kata
ini identik dengan pencuri atau orang yang lagi dikejar orang. Pencuri biasanya
masuk rumah sasarannya dengan melompat pagar dan demikian juga jika dia keluar
rumah setelah mengambil barang curiannya. Tapi ada lho, orang yang lompat pagar
dengan persetujuan orang yang punya rumah dan di rumahnya sendiri juga dia
sudah tidak nyaman lagi. Mungkin tidaklah berlebihan jika saya mengibaratkan
sikap para politisi kita di era reformasi ini dengan “Lompat Pagar”. Karena
kegiatan lompat Pagar kerap terjadi di berbaga partai politik tanah air. Ada
yang lompat sendirian, dan ada pula secara berjamaah.
Entah
syindrome apa yang menjangkiti elite kita saat ini. Dulu bermesraan dengan
Partai A, ditengah jalan tiba-tiba putus. Bahkan ada yang masih menjabat
sebagai Wakil Rakyat, rela mengundurkan diri kemudian lompat ke pagar Partai
lain. Memang sih, pindah partai, mengundurkan diri atau apapun namanya adalah
hak asasi pribadi, tetapi bagaiamanakah tanggung jawab moral terhadap
konstituennya yang memilihnya untuk menjadi wakil dan menyuarakan aspirasinya ?.Hal
ini menunjukkan bahwa Partai Politik di era reformasi ini hanyalah kendaraan
untuk meraih kekuasaan dan materi. Orang memilih partai saat ini bukan karena
asas, platrom, ideologi, maupun program partainya, tetapi lebih pada sikap
Hedonis untuk meraih prestise yang prestisius di masyarakat. Maiinstreamnya
Cuma satu, masuk ke partai dan jadi pengurus, kemudian jadi Caleg, ada uang dan
fasilitas, beli suara dan menjadi Anggota Dewan Yang Terhormat. Hal ini terjadi
di seluruh wilayah negeri ini.
Dulu kita
pernah gagal dengan sistim multi partai pada era 50 an. Kabinet jatuh bangun,
bahkan ada cabinet yang umurnya hanya satu bulan, yaitu cabinet Wilopo.
Situasai sangat tidak menentu. Masyarakat terus digiring ke arah politik,
sehingga persoalan dan pembangunan ekonomi dikesampingkan. Tapi kenapa sekarang kita kembali menerapkan
sistim seperti itu dengan dalih demokrasi, keterbukaan dan hak asasi politik
masyarakat. Selama sistim multi partai, tidak pernah ada koalisi yang permanen.
Hari ini menjadi teman, besok menjadi lawan.Memang, Idealisme dan kesetiaan
terhadap partai pada masa lalu betul-betul tertanam dalam jiwa para kadernya. Hal
yang sangat jauh berbeda dengan situasi saat ini, partai tidak lain hanyalah
kendaraan dan alat untuk mencapai kekuasaan.Sekarang, dengan verifikasi Parpol
oleh KPUD dan hanya sekitar 10 sampai 11 partai yang berhak ikut Pemilu 2014,
banyak politisi partai-partai yang tidak lolos ferivikasi yang mulai lompat
pagar secara diam-diam ke partai-partai yang lolos ferivikasi. Disatu sisi hal
ini memberikan suntikan energy bagi partai yang ikut pemilu, tapi juga sedikit
tidak membawa akses lain terhadap kegundahan kader-kader yang sudah lama
berkecimpung di partai tersebut.
Saat ini
dan seterusnya, saya punya keyakinan, kita akan kembali jatuh di lubang yang
sama, jika sistim multi partai terus diterapkan. Bangsa ini akan kembali jauh
terpuruk dan reformasi pun akan gagal. Kalau dulu, pada masa orde baru, militer
menguasai segala lini kehidupan masyarakat, maka sekarang, partai politik yang
menggantikannya. Dulu, para Menteri diangkat dari orang-orang professional di
bidangnya, tapi sekarang para Menteri
diangkat dari orang-orang Partai.Secara otomatis, jika menteri dari kader
partai akan banyak mengucurkan bantuan untuk kepentingan partainya. Demikian
juga pada level kepala daerah, jika kepala daerahnya dari Partai A, maka
beragam kemudahanlah yang didapat oleh kader-kader Partai A. Dan yang paling
menonjol adalah penggiringan aparat birokrasi berpolitik praktis dengan
mendukung partai kepala daerahnya. Dukungan itu tidak tanggung-tanggung, mulai
dari cat kantor, sekolah-sekolah dan instansi yang sewarna dengan bendera
partai kepala daerahnya, hingga intimidasi kepada staf yang membangkang. Jelang Pemilukada, mutasi
dan promosi jabatan marak dilakukan sebagai persiapan untuk mendulang suara.
Tak peduli, apakah seseorang yang dipromosi itu menguasa dan memahami tugas
yang diemban atau tidak. Semua itu adalah hak prerogative sang Kepala Daerah.
Jika hal
ini akan terus terjadi, dan tidak ada perubahan signifikan yang terjadi di era
reformasi ini, bahkan melampui era orde baru yang dulu dinilai otoriter selama
32 tahun, maka reformasi ini pun akan
gagal jika lebih dari 30 tahun kondisi bangsa ini tidak pernah berubah. Perlu
ada reformasi jilid II dan tampilnya pemimpin yang bijak dan tegas. Karena
pemimpin yang pintar belum tentu bijak dan tegas. Saat ini kita punya banyak
pemimpin pintar dan jenius, tapi tidak bijak dan tegas. Semoga….!
Post a Comment