f Lompat Pagar - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Lompat Pagar



Dua kata ini identik dengan pencuri atau orang yang lagi dikejar orang. Pencuri biasanya masuk rumah sasarannya dengan melompat pagar dan demikian juga jika dia keluar rumah setelah mengambil barang curiannya. Tapi ada lho, orang yang lompat pagar dengan persetujuan orang yang punya rumah dan di rumahnya sendiri juga dia sudah tidak nyaman lagi. Mungkin tidaklah berlebihan jika saya mengibaratkan sikap para politisi kita di era reformasi ini dengan “Lompat Pagar”. Karena kegiatan lompat Pagar kerap terjadi di berbaga partai politik tanah air. Ada yang lompat sendirian, dan ada pula secara berjamaah.

Entah syindrome apa yang menjangkiti elite kita saat ini. Dulu bermesraan dengan Partai A, ditengah jalan tiba-tiba putus. Bahkan ada yang masih menjabat sebagai Wakil Rakyat, rela mengundurkan diri kemudian lompat ke pagar Partai lain. Memang sih, pindah partai, mengundurkan diri atau apapun namanya adalah hak asasi pribadi, tetapi bagaiamanakah tanggung jawab moral terhadap konstituennya yang memilihnya untuk menjadi wakil dan menyuarakan aspirasinya ?.Hal ini menunjukkan bahwa Partai Politik di era reformasi ini hanyalah kendaraan untuk meraih kekuasaan dan materi. Orang memilih partai saat ini bukan karena asas, platrom, ideologi, maupun program partainya, tetapi lebih pada sikap Hedonis untuk meraih prestise yang prestisius di masyarakat. Maiinstreamnya Cuma satu, masuk ke partai dan jadi pengurus, kemudian jadi Caleg, ada uang dan fasilitas, beli suara dan menjadi Anggota Dewan Yang Terhormat. Hal ini terjadi di seluruh wilayah negeri ini.
Dulu kita pernah gagal dengan sistim multi partai pada era 50 an. Kabinet jatuh bangun, bahkan ada cabinet yang umurnya hanya satu bulan, yaitu cabinet Wilopo. Situasai sangat tidak menentu. Masyarakat terus digiring ke arah politik, sehingga persoalan dan pembangunan ekonomi dikesampingkan.  Tapi kenapa sekarang kita kembali menerapkan sistim seperti itu dengan dalih demokrasi, keterbukaan dan hak asasi politik masyarakat. Selama sistim multi partai, tidak pernah ada koalisi yang permanen. Hari ini menjadi teman, besok menjadi lawan.Memang, Idealisme dan kesetiaan terhadap partai pada masa lalu betul-betul tertanam dalam jiwa para kadernya. Hal yang sangat jauh berbeda dengan situasi saat ini, partai tidak lain hanyalah kendaraan dan alat untuk mencapai kekuasaan.Sekarang, dengan verifikasi Parpol oleh KPUD dan hanya sekitar 10 sampai 11 partai yang berhak ikut Pemilu 2014, banyak politisi partai-partai yang tidak lolos ferivikasi yang mulai lompat pagar secara diam-diam ke partai-partai yang lolos ferivikasi. Disatu sisi hal ini memberikan suntikan energy bagi partai yang ikut pemilu, tapi juga sedikit tidak membawa akses lain terhadap kegundahan kader-kader yang sudah lama berkecimpung di partai tersebut.  
Saat ini dan seterusnya, saya punya keyakinan, kita akan kembali jatuh di lubang yang sama, jika sistim multi partai terus diterapkan. Bangsa ini akan kembali jauh terpuruk dan reformasi pun akan gagal. Kalau dulu, pada masa orde baru, militer menguasai segala lini kehidupan masyarakat, maka sekarang, partai politik yang menggantikannya. Dulu, para Menteri diangkat dari orang-orang professional di bidangnya, tapi sekarang  para Menteri diangkat dari orang-orang Partai.Secara otomatis, jika menteri dari kader partai akan banyak mengucurkan bantuan untuk kepentingan partainya. Demikian juga pada level kepala daerah, jika kepala daerahnya dari Partai A, maka beragam kemudahanlah yang didapat oleh kader-kader Partai A. Dan yang paling menonjol adalah penggiringan aparat birokrasi berpolitik praktis dengan mendukung partai kepala daerahnya. Dukungan itu tidak tanggung-tanggung, mulai dari cat kantor, sekolah-sekolah dan instansi yang sewarna dengan bendera partai kepala daerahnya, hingga intimidasi kepada staf  yang membangkang. Jelang Pemilukada, mutasi dan promosi jabatan marak dilakukan sebagai persiapan untuk mendulang suara. Tak peduli, apakah seseorang yang dipromosi itu menguasa dan memahami tugas yang diemban atau tidak. Semua itu adalah hak prerogative sang Kepala Daerah.
Jika hal ini akan terus terjadi, dan tidak ada perubahan signifikan yang terjadi di era reformasi ini, bahkan melampui era orde baru yang dulu dinilai otoriter selama 32 tahun, maka reformasi  ini pun akan gagal jika lebih dari 30 tahun kondisi bangsa ini tidak pernah berubah. Perlu ada reformasi jilid II dan tampilnya pemimpin yang bijak dan tegas. Karena pemimpin yang pintar belum tentu bijak dan tegas. Saat ini kita punya banyak pemimpin pintar dan jenius, tapi tidak bijak dan tegas. Semoga….!

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.