Denyut Kehidupan Di Pulau Bungin
Jejeran Rumah Panggung Suku Bungin |
Pagi yang cerah
di awal Januari 2015, saya dan
rombongan Komunitas Jelajah dan Kampung Media Kota Bima menyempatkan diri berkunjung ke sebuah pulau yang terkenal
dengan julukan “ Pulau Terpadat Di Dunia”. Ya, Bungin nama pulau itu. Berada di
kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa NTB. Jarak tempuh sekitar 3 kilometer arah utara dari jalan Negara di lintas Alas
Sumbawa. Dulu, sebelum ada jalan warga Bungin menggunakan perahu sebagai satu-satunya akses menuju pulau yang
sebagian besar di huni suku Bajo ini. Tapi sekarang ada akses jalan sepanjang 3
kilometer dengan kondisi rusak parah. Rombongan kami yang bersepada motor harus
ekstra hati-hati menjelajahi ruas jalan menuju Bungin ini melintasi areal
persawahan di tepi laut dan beberapa empang milik warga.
Tersita waktu
sektiar 30 menit baru mencapai Bungin. Kelelahan dan kesulitan di jalan
terobati ketika menginjakkan kaki di pulau seluas 8,5 hektar ini. Memang benar,
pulau ini cukup padat dan tampak kumuh. Hampir setiap rumah tidak punya
halaman. Rumah panggung mendominasi pulau ini, meski ada juga rumah-rumah batu
permanen maupun seni permanen. Sesuai data penduduk tahun 2012, warga Bungin
3119 Jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 912. Jumlah penduduk perempuan
lebih banyak dari penduduk laki-laki yaitu 1584 Perempuan dan 1535 Laki-laki.
Disamping Suku Bajo, Bungin juga dihuni oleh suku Mbojo, Samawa, Jawa, dan
Selayar. Sarana pendidikan di Bungin bias dibilang cukuplah dengan keberadaan 1
unit TK dan PAUD, 2 Unit Sekolah Dasar dan 1 unit SD SMP satu Atap yang
terletak di puncak bukit sebelum memasuki desa bungin di sebelah selatan pulau.
Kades Bungin Sofyan Di depan perpustakaan Desa yang memiliki koleksi buku yang banyak, |
Kades Bungin
Sofyan menuturkan bahwa Bungin mulai didiami pada tahun 1818. Orang pertama
yang mendiami pulau ini adalah Abdullah Mayung, pria kharismatik asal pulau
Bajo. “ Dulu pulau ini hanya seluas 4 x 10 meter dan oleh Pak Abdullah Mayung
mendirikan sebuah Mushalla, namun lama kelmaan menjadi luas karena tradisi
masyarakat Bungin yang terus menimbun laut dengan batu-batu dan tanah untuk
tempat tinggal. Setiap perjaka yang mau menikah, harus mengumpulkan batu untuk
menimbun pulau. “ Kisah Pria keturunan selayar ini sambil menunjukkan kepada
kami Ahmad Rifai yang merupakan generasi ke tujuh dari Abdullah Mayung.
Ibu Bunga, salah
seorang Kaur Desa Bungin menceritakan, dulu nama Bungin asal kata bubungin atau
tumpukkan pasi putih, namun karena lama kelamaan menjadi Bungin Saja.
Orang-orang pulau Bungin pada awalnya menetap di pulau panjang, pulau Bungin
Kelat dan pulau-pulau terluar lainnya di Alas. Namun karena banyaknya perompak
(Bajak Laut) sehingga pak Abdullah Mayung dan keturunannya pindah ke Bungin.
Disamping itu, di pulau-pulau tersebut airnya payau.” Ada 3 dusun di pulau ini
yaitu Dusun Sekatek, Tanjung dan Bungin. Di sana ada banyak kuburan suku Bajo “
Papar Bunga. Ibu-ibu rumah tangga Bungin juga kreatif membuat Dodol dari
Aren. Karena sebagian besar berprofesi
sebagai pelaut . Mereka berlayar hingga ke Ternate dan Tidore. Di sana mereka
membawa hasil alam dari Maluku berupa Gula aren yang kemudian mereka olah
menjadi Dodol Aren.
Ritual Laut
Bocah Pulau Bungin |
Tiba
Ancak dilakukan apabila ada warga yang sakit dan tidak kunjung sembuh, maka
digelarlah Tiba Ancak. Sedangkan Tiba Pisah dilakukan ketika ada hajatan
kematian, khitanan, pernikahan dan bahkan memulai berlayar ke negeri yang jauh.
Selamatan seperti ini mengandung maksud agar segala kegiatan dirahmati dan
selama perjalanan hidup tidak dimurkai. Sebagai pengiring ritual, warga Bungin
juga memiliki kekhasan atraksi seni budaya tradisional yang diwarisi dari pulau
Sulawesi seperti Kuntao, Joged dan gendang tradisional di bawah Sanggar Seni
budaya mutiara Bungin. Orang-orang Bungin sebagian besar berprofesi sebagai
pelaut . Mereka berlayar hingga ke Ternate dan Tidore. Di sana mereka membawa
hasil alam dari Maluku berupa Gula aren yang kemudian mereka olah menjadi Dodol
Aren.
Kambing Pemakan Kertas
Mungkin
karena ketiadaan rumput dan dedaunan di pulau ini, kambing-kambing di pulau
bungin sudah terbiasa menyantap apa saja yang ada di hadapannya. Makanan
manusia adalah santapan kambing-kambing Bungin seperti nasi, ikan, tahu,tempe,
daging dan makanan ringan. Tidak hanya itu, kertas dan plastikpun dimakan. Aneh
bukan, Ya, memang aneh, untuk sebuah survive tentu apa saja akan dihadapi
mahluk hidup, termasuk kambing-kambing di Bungin.
Panglima Perang Bungin
Perkampungan Suku Bungin |
Matahari
kian terik. Kami berjalan-jalan keliling di Bungin. Kami berpose bersama di
sebuah dermaga terapung di ujung selatan pulau bersama anak-anak Bungin yang
dilahirkan dan dibersarkan dari kehidupan laut. Sungguh mengasyikkan, sebuah
petualangan yang penuh kenangan. Ya kenangan bersama kekayaan sejarah dan
budaya pulau Lombok dan Sumbawa dalam balutan alamnya yang indah. Tapi Kami
harus pulang, entah kapan kami akan kembali. Kesan yang mendalam pun hadir. “ Bungin,,,,
kami pasti kembali.”
Post a Comment