Makna Gelar “ Syah “ Dan “ Zilullah Fil Alam “ Pada Sultan Bima
Secara
lokal, kedelapan sultan itu juga mendapat gelar anumerta atau gelar yang
diberikan setelah wafat seirama dengan perjalanan hidup dan kiprahnya selama
memimpin. Sultan Nuruddin bergelar Ma Wa’a Paju atau pembawa payung kerajaan (
Paju Monca = Payung Kuning).Jamaluddin bergelar Ma Wa’a Romo atau yang fasih
berbicara. Hasanuddin bergelar Ma Wa’a Bou atau pembawa pembaharuan. Alauddin
bergelar Manuru Daha atau yang mangkat di Daha Dompu. Komala Syah bergelar Bumi
Partiga ( Gelar ini sebenarnya gelar atau jabatan resmi istana yang mengajarkan
tata krama di lingkungan Istana Bima). Abdul Kadim bergelar Ma Wa’a Taho atau
pembawa kebaikan. Abdul Hamid bergelar Mantau Asi Saninu atau pemilik istana
cermin. Ismail bergelar Ma wa’a alus atau berperangai alus.
Secara
harfiah syah berarti resmi atau benar. Tetapi istilah Syah sebenarnya berasal
dari bahasa Persia yang berarti Raja. Penggunaan Syah pada raja-raja islam
marak di wilayah Asia Tengah dan Asia Barat Daya. Bahkan di Nepal, Syah adalah
marga untuk keluarga kerajaan. Gelar ini setara dengan kaisar dan maharaja.
Pada abad ke-16, di nusantara, gelar syah disematkan pada Sultan Alaidin Johan
Syah dari kerajaan Lamuri , Sultan Ismail Syah dari kerajaan Patani,
sultan-sultan Malaka seperti Sultan Muhammad Syah, Sultan Muzaffar Syah dan
Sultan Mansur Syah, Sultan Alauddin Riayat Shah II, Sultan Muzaffar dan Sultan
Abdul Jalil Syah dari kesultanan Johor. Masih banyak lagi gelar raja-raja islam
nusantara yang disematkan “ Syah “ pada namanya di wilayah kerajaan Melayu.
Sementara
gelar Zilullah Fil Alam atau bayangan tuhan di muka Bumi berasal dari Arab.
Gelar ini turun temurun disematkan para khalifah dari daulah Abbasiyah dan
Saljuk di Baghdad, Mamluk di Mesir, Uthmaniyah di Turki dan Khilji serta Moghul
di India. Di nusanrtara, zilullah fil alam disematkan pada raja Malaka dan Aceh
untuk menunjukkan eksistensi raja.
Kitab
Tajussalatin ( Jauhari al-bukhari), menulis ‘bayangan Allah’ di muka bumi
adalah suatu penjewantahan Allah melalui takdirNya. Kitab itu menulis “Umpama
seorang raja dalam negeri itu demikian juga perinya pada hadhrat Allah Ta’ala
yang Allah Taa’la itu dipilihnya dalam segala hambaNya dan menyerahkan segala
hambaNya padanya. Maka raja itu harus memelihara segala hamba supaya tiap-tiap
hari bertambah-tambah kebesarannya dalam dunia dan akhirat “
Imam al-Ghazali dalam “ Nasehat Al-Muluk “ keistimewaan
pemerintah atau raja merupakan seseorang yang diberikan kedudukan yang tinggi
dan istimewa daripada anugerah Tuhannya untuk memimpin manusia di dunia dan
dianggap sebagai zilluh fil ardh atau zilullahi fil-alam, yaitu sebagai
‘bayang-bayang Allah’ di muka bumi. Konsepsi Zilullah Fil
Alam adalah lembayung Tauhid Makrifat, yang mana bayangan Allah itu bukan
bermaksud Allah menjelma menjadi makhluk atau insan (iktiqad Hulul), tetapi
insan sebagai makhluk ciptaanNya yang paling sempurna dalam menerima pantulan
bayangan Wajah Sifat dan Asma’Nya yang Agung. Keadilan, Kemurahan, Kebesaran,
Keagungan, Kekuatan, Kekuasaan seorang raja secara hakikatnya hanyalah
semata-mata ‘pantulan’ Sifat Ketuhanan yang dipancarkan ataupun suatu ‘penceritaan’
tentang Wajah Ketuhanan yang Maha Sempurna, maka tidak sayugialah seorang raja
itu merasa sombong dan angkuh pada status dirinya kerana itu semua adalah
pinjaman daripada Allah swt.
Fadhil Nugroho Adi yang meresensi buku karya Zulkifili
berjudul Gelar Dalam Islam menulis bahwa Pada abad 15 Islam mulai berkembang di
Nusantara, para raja Islam rupanya saling berebut untuk mendapatkan gelar
seperti gelar Sultan dan Zillullah fil alam (bayang-bayang Tuhan) yang dipakai
Merah Silu, salah seorang raja Pasai. Tidak menutup
kemungkinan akan muncul rasa sakit hati ketika Raja Mataram tidak menerima
gelar selayaknya Raja Banten yang menerima legitimasi kesultanan pada 1638 dari
penguasa Mekkah. Gelar para para raja/sultan di Nusantara ada yang diberi oleh guru-guru
sufi seperti yang diberikan Syeikh Ismail kepada Raja Pasai. (Kisah Di Balik
Gelar-Gelar Dalam Islam, Kompassiana, 1 Desember 2017 ).
Bagaimana
dengan Sultan Bima ?
Pemberian gelar “ syah pada para sultan Bima mulai abad
17 hingga pertengahan abad 19 itu menunjukkan bahwa telah terjadi kontak
politik, sosial budaya dan ekonomi antara kesultanan Bima dengan kerajaan Asia
Tengah dan Barat Daya melalui Malaka, Aceh dan Melayu pada umumnya. Sejauh
ini memang belum banyak kupasan para sejarahwan dan peneliti berkaitan dengan
hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan tersebut.
Kontak antar ulama juga memungkinkan transformasi gelar “
syah dan Zilullah Fil Alam “ kepada Sultan Bima sebagaimana diuraikan di atas
bahwa pemberian gelar gelar itu merupakan penghargaan para ulama kepada sultan
Bima. Era kepemimpinan Sultan Abdul Kadim dan Abdul Hamid adalah
puncak ekssistensi aliran sufistik di Bima. Hal itu dibuktikan dengan deklarasi
yang dikeluarkan Abdul Hamid tentang ajaran dua belas ahlusnunnah wal jama’ah dimana
kitab rujukan dalam kesultanan Bima terdiri dari 12 buah yang terdiri dari 5
ilmu fiqh, 3 ilmu tauhid dan 2 ilmu tasawuf. Namun sayang sejauh ini penulis
belum mendapatkan rincian tentang kitab-kitab tersebut.
Pemberian gelar “ Syah dan Zilullah Fil Alam “ disamping
merupakan penghargaan juga tersirat cita-cita dan harapan rakyat kepada
pemimpin sebagai “ Hawo Ra ninu “ naungan dan bayangan dimana rakyat dapat
bernaung dan berlindung di bawah panji-panji kekuasaan Sang Sultan. Sebagai
bayangan tuhan di alam, diharapkan sifat-sifat rahman dan rahim ( Kasih dan
sayang ), adil, bijaksana dari Sang sultan memberikan ketentraman, kenyamanan
dan damai sejahtera tanah dan negeri. Sehingga lahirlah satu ungkapan sebagai
bentuk kepatuhan rakyat kepada pemimpin.
“
Disiri wea ta nggawona, dibatu wea ta lelena “
Artinya
:
Berlindung
di bawah naunganya, untuk diikuti kemana condongnya.
Hakikat
kepemimpinan sebenanrnya adalah kesetiaan dan kesediaan seorang pemimpin untuk
menderita demi rakyat yang dipimpinnya. Pepatah Belanda “ Leiden Ist Lijden “
Memimpin adalah Menderita. Pepatah ini sesunngguhnya sejalan dengan filosofi “
Tohompara Nahu Sura Dou Labo Dana “ ( biarlah untuk saya, yang penting untuk
rakyat dan negeri. Sebelum dilantik, raja dan sultan Bima sesungguhnya telah
diancam dengan kapak di atas kepalanya.
“
Nggou, nalaisi nggahi labo rawimu
Akeku
ponggo dima haba pi’a wea tutamu “
Artinya
:
Kamu,
jika berbeda antara ucapan dan perbuatanmu
Inilah
kapak yang akan membelah kepalamu.
Ancaman
itu sebenarnya cukup berat. Maka mewujudkan “ Nggahi Rawi Pahu “ menyatunya
kata dengan perbuatan, komitmen, integritas dan konsistensi seorang pemimpin
adalah hal yang utama agar terhindar dari ancaman itu dunia dan akhirat.
Foto
: ilustrasi Panji Islam Asia Tenggara ( Republika.co.id)
Sumber
:
1.
Bendahara Seri Maharaja, Menggali Hakikat Leluhur
2.
Bukhari Al-Jauhari, Tajussalatin
3.
Fadhil Nugroho Adi (Kisah Di Balik Gelar-Gelar Dalam Islam, Kompassiana, 1
Desember 2017 ).
4.
Henri Chambert Loir & Siti Maryam Salahuddin, BO Sangaji Kai
5.
Imam Al-Gazali, Nasehat Al- muluk
6.
Zulkifli, Gelar Dalam Islam
Post a Comment