f Makna Gelar “ Syah “ Dan “ Zilullah Fil Alam “ Pada Sultan Bima - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Makna Gelar “ Syah “ Dan “ Zilullah Fil Alam “ Pada Sultan Bima

 


Ada 8 Sultan Bima yang disematkan gelar “ syah “ pada akhir namanya. Kedelapan Sultan itu mulai dari sultan ketiga hingga sultan ke sepuluh. Mereka adalah Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah( 1682- 1687), Sultan Jamaluddin Inayat Syah(1687-1696), Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah( 1696-1731), Sultan Alauddin Muhammad syah( 1731-1748), Sultanah Komala Syah( 1748-1751), Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah(1751-1773), Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah( 1773-1817) dan Sultan Ismail Muhammad Syah( 1817-1854). Dua di antara para sultan itu juga disematkan gelar Zilullah Fil alam yaitu Sultan Abdul Kadim dan Sultan Abdul Hamid. Ke delapan sultan itu memerintah pada abad ke-17 hingga akhir abad ke-19.

 

Secara lokal, kedelapan sultan itu juga mendapat gelar anumerta atau gelar yang diberikan setelah wafat seirama dengan perjalanan hidup dan kiprahnya selama memimpin. Sultan Nuruddin bergelar Ma Wa’a Paju atau pembawa payung kerajaan ( Paju Monca = Payung Kuning).Jamaluddin bergelar Ma Wa’a Romo atau yang fasih berbicara. Hasanuddin bergelar Ma Wa’a Bou atau pembawa pembaharuan. Alauddin bergelar Manuru Daha atau yang mangkat di Daha Dompu. Komala Syah bergelar Bumi Partiga ( Gelar ini sebenarnya gelar atau jabatan resmi istana yang mengajarkan tata krama di lingkungan Istana Bima). Abdul Kadim bergelar Ma Wa’a Taho atau pembawa kebaikan. Abdul Hamid bergelar Mantau Asi Saninu atau pemilik istana cermin. Ismail bergelar Ma wa’a alus atau berperangai alus.

 

Secara harfiah syah berarti resmi atau benar. Tetapi istilah Syah sebenarnya berasal dari bahasa Persia yang berarti Raja. Penggunaan Syah pada raja-raja islam marak di wilayah Asia Tengah dan Asia Barat Daya. Bahkan di Nepal, Syah adalah marga untuk keluarga kerajaan. Gelar ini setara dengan kaisar dan maharaja. Pada abad ke-16, di nusantara, gelar syah disematkan pada Sultan Alaidin Johan Syah dari kerajaan Lamuri , Sultan Ismail Syah dari kerajaan Patani, sultan-sultan Malaka seperti Sultan Muhammad Syah, Sultan Muzaffar Syah dan Sultan Mansur Syah, Sultan Alauddin Riayat Shah II, Sultan Muzaffar dan Sultan Abdul Jalil Syah dari kesultanan Johor. Masih banyak lagi gelar raja-raja islam nusantara yang disematkan “ Syah “ pada namanya di wilayah kerajaan Melayu.

 

Sementara gelar Zilullah Fil Alam atau bayangan tuhan di muka Bumi berasal dari Arab. Gelar ini turun temurun disematkan para khalifah dari daulah Abbasiyah dan Saljuk di Baghdad, Mamluk di Mesir, Uthmaniyah di Turki dan Khilji serta Moghul di India. Di nusanrtara, zilullah fil alam disematkan pada raja Malaka dan Aceh untuk menunjukkan eksistensi raja.

 

Kitab Tajussalatin ( Jauhari al-bukhari), menulis ‘bayangan Allah’ di muka bumi adalah suatu penjewantahan Allah melalui takdirNya. Kitab itu menulis “Umpama seorang raja dalam negeri itu demikian juga perinya pada hadhrat Allah Ta’ala yang Allah Taa’la itu dipilihnya dalam segala hambaNya dan menyerahkan segala hambaNya padanya. Maka raja itu harus memelihara segala hamba supaya tiap-tiap hari bertambah-tambah kebesarannya dalam dunia dan akhirat “

 

Imam al-Ghazali dalam “ Nasehat Al-Muluk “ keistimewaan pemerintah atau raja merupakan seseorang yang diberikan kedudukan yang tinggi dan istimewa daripada anugerah Tuhannya untuk memimpin manusia di dunia dan dianggap sebagai zilluh fil ardh atau zilullahi fil-alam, yaitu sebagai ‘bayang-bayang Allah’ di muka bumi. Konsepsi Zilullah Fil Alam adalah lembayung Tauhid Makrifat, yang mana bayangan Allah itu bukan bermaksud Allah menjelma menjadi makhluk atau insan (iktiqad Hulul), tetapi insan sebagai makhluk ciptaanNya yang paling sempurna dalam menerima pantulan bayangan Wajah Sifat dan Asma’Nya yang Agung. Keadilan, Kemurahan, Kebesaran, Keagungan, Kekuatan, Kekuasaan seorang raja secara hakikatnya hanyalah semata-mata ‘pantulan’ Sifat Ketuhanan yang dipancarkan ataupun suatu ‘penceritaan’ tentang Wajah Ketuhanan yang Maha Sempurna, maka tidak sayugialah seorang raja itu merasa sombong dan angkuh pada status dirinya kerana itu semua adalah pinjaman daripada Allah swt.

 

Fadhil Nugroho Adi yang meresensi buku karya Zulkifili berjudul Gelar Dalam Islam menulis bahwa Pada abad 15 Islam mulai berkembang di Nusantara, para raja Islam rupanya saling berebut untuk mendapatkan gelar seperti gelar Sultan dan Zillullah fil alam (bayang-bayang Tuhan) yang dipakai Merah Silu, salah seorang raja Pasai. Tidak menutup kemungkinan akan muncul rasa sakit hati ketika Raja Mataram tidak menerima gelar selayaknya Raja Banten yang menerima legitimasi kesultanan pada 1638 dari penguasa Mekkah. Gelar para para raja/sultan di Nusantara ada yang diberi oleh guru-guru sufi seperti yang diberikan Syeikh Ismail kepada Raja Pasai. (Kisah Di Balik Gelar-Gelar Dalam Islam, Kompassiana, 1 Desember 2017 ).

 

Bagaimana dengan Sultan Bima ?

 

Pemberian gelar “ syah pada para sultan Bima mulai abad 17 hingga pertengahan abad 19 itu menunjukkan bahwa telah terjadi kontak politik, sosial budaya dan ekonomi antara kesultanan Bima dengan kerajaan Asia Tengah dan Barat Daya melalui Malaka, Aceh dan Melayu pada umumnya. Sejauh ini memang belum banyak kupasan para sejarahwan dan peneliti berkaitan dengan hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

 

Kontak antar ulama juga memungkinkan transformasi gelar “ syah dan Zilullah Fil Alam “ kepada Sultan Bima sebagaimana diuraikan di atas bahwa pemberian gelar gelar itu merupakan penghargaan para ulama kepada sultan Bima. Era kepemimpinan Sultan Abdul Kadim dan Abdul Hamid adalah puncak ekssistensi aliran sufistik di Bima. Hal itu dibuktikan dengan deklarasi yang dikeluarkan Abdul Hamid tentang ajaran dua belas ahlusnunnah wal jama’ah dimana kitab rujukan dalam kesultanan Bima terdiri dari 12 buah yang terdiri dari 5 ilmu fiqh, 3 ilmu tauhid dan 2 ilmu tasawuf. Namun sayang sejauh ini penulis belum mendapatkan rincian tentang kitab-kitab tersebut.

 

Pemberian gelar “ Syah dan Zilullah Fil Alam “ disamping merupakan penghargaan juga tersirat cita-cita dan harapan rakyat kepada pemimpin sebagai “ Hawo Ra ninu “ naungan dan bayangan dimana rakyat dapat bernaung dan berlindung di bawah panji-panji kekuasaan Sang Sultan. Sebagai bayangan tuhan di alam, diharapkan sifat-sifat rahman dan rahim ( Kasih dan sayang ), adil, bijaksana dari Sang sultan memberikan ketentraman, kenyamanan dan damai sejahtera tanah dan negeri. Sehingga lahirlah satu ungkapan sebagai bentuk kepatuhan rakyat kepada pemimpin.

 

“ Disiri wea ta nggawona, dibatu wea ta lelena “

Artinya :

Berlindung di bawah naunganya, untuk diikuti kemana condongnya.

 

Hakikat kepemimpinan sebenanrnya adalah kesetiaan dan kesediaan seorang pemimpin untuk menderita demi rakyat yang dipimpinnya. Pepatah Belanda “ Leiden Ist Lijden “ Memimpin adalah Menderita. Pepatah ini sesunngguhnya sejalan dengan filosofi “ Tohompara Nahu Sura Dou Labo Dana “ ( biarlah untuk saya, yang penting untuk rakyat dan negeri. Sebelum dilantik, raja dan sultan Bima sesungguhnya telah diancam dengan kapak di atas kepalanya.

“ Nggou, nalaisi nggahi labo rawimu

Akeku ponggo dima haba pi’a wea tutamu “

Artinya :

Kamu, jika berbeda antara ucapan dan perbuatanmu

Inilah kapak yang akan membelah kepalamu.

 

Ancaman itu sebenarnya cukup berat. Maka mewujudkan “ Nggahi Rawi Pahu “ menyatunya kata dengan perbuatan, komitmen, integritas dan konsistensi seorang pemimpin adalah hal yang utama agar terhindar dari ancaman itu dunia dan akhirat.

 

Foto : ilustrasi Panji Islam Asia Tenggara ( Republika.co.id)

 

Sumber :

 

1. Bendahara Seri Maharaja, Menggali Hakikat Leluhur

2. Bukhari Al-Jauhari, Tajussalatin

3. Fadhil Nugroho Adi (Kisah Di Balik Gelar-Gelar Dalam Islam, Kompassiana, 1 Desember 2017 ).

4. Henri Chambert Loir & Siti Maryam Salahuddin, BO Sangaji Kai

5. Imam Al-Gazali, Nasehat Al- muluk

6. Zulkifli, Gelar Dalam Islam

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.