f Karena Terampas - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Karena Terampas



Siang nan terik. Debu dan asap kendaraan berterbangan di terpa angin. Gerah dan panas menyengat. Angin siang di puncak musim kemarau sama sekali tidak memberi kesejukan. Seorang lelaki tua masih saja berdiri di depan halaman Gedung Dewan itu. Dia tetap saja larut dalam pidato dan orasinya. Yah, orasi dengan berbagai kata dan kalimat yang mengundang tawa para pegawai, Polisi, Pol PP dan Anggota Dewan yang masih ada di ruang kantor itu.    

Setelah beberapa saat lamanya berorasi sendiri, lelaki tua itu memberi hormat sambil menunduk ala tentara Jepang. Serentak para pegawai tertawa. Salah seorang Anggota Dewan memberikan nasi kotak jatahnya kepada lelaki tua itu. Spontan lelaki itu pun memanjatkan doa dalam bahasa Arab dan Bima yang cukup fasih. Kemudian berjalan pulang sambil menenteng nasi kotak dan setumpuk kertas yang biasa dia kumpulkan tiap kali berkunjung ke kantor Dewan.
Lelaki tua itu bernama Ama Hasnah. Ia adalah salah satu dari warga di Unit Pemukiman Transmigrasi di wilayah OI Tui di sebelah utara Bima. Sejak beberapa bulan terakhir, puluhan warga UPT Transmigrasi Oi Tui memang kerap mendatangi Gedung Dewan  menyampaikan aspirasinya. Sejak itu lah Ama Hasnah sering berkunjung ke Gedung Dewan dan keluyuran di Kota Bima. Bagi warga Kota , Ama Hasnah dikenal sosok lelaki tua stress, bahkan dijuluki orang ‘gila baru’. Karena sosok itu baru bergabung dengan ‘komunitas’ gila lainnya di kota Bima.  Terkadang omongannya waras dan terkadang ngalor ngidul. Pakaiannya compang camping dengan sepatu boot yang selalu melekat di kakinya. Terkadang memakai sorban dan kopiah hitam, kadang juga memakai helm di kepalanya.
Tiap hari Ama Hasnah keluar masuk kantor pemerintahan. Mengambil kertas-kertas bekas, buku-buku dan majalah bekas dan kadang  meminta uang kepada para pegawai. Tidak hanya itu, aksi stress Ama Hasnah kerap membuat lalu lintas terganggu, karena di tengah jalan lelaki tua ini ingin bertindak seperti Polantas.
Padahal, seingatku ketika pertama kali mendatangi Gedung Dewan, penampilannya tidak menamapakkan kegilaan. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini Ama Hasnah menjadi stress dan dicap sebagai orang gila baru di kota ini.Beberapa warga yang kebetulan mengenalnya merasa iba atas perubahan prilaku Ama Hasnah yang dulunya dikenal baik dan waras.   
Hari ini warga Oi Tui kembali mendatangi Gedung Dewan. Ada 5 buah Bus dan 1 Truk berkonvoi memasuki wilayah Kota Bima. Setibanya di Gedung Wakil Rakyat itu, mereka turun dari kendaraan dan beberapa di antara mereka melakukan orasi. Mereka menuntut jaminan hidup yang dijanjikan pemerintah dan mengembalikan mereka ke tempat asal di teluk Waworada di sebelah selatan tanah Bima. Tapi ada yang lain dari aksi hari ini. Aku tidak melihat Ama Hasnah bersama massa. Untuk meyakinkan ketidakhadirannya, Aku berkeliling di antara massa di tengah terik mentari. Memang betul, Ama Hasnah tidak hadir.
Aksi kali ini semakin memanas. Para pengunjuk rasa mulai mendobrak pagar halaman Gedung Dewan.
“ Kami tidak akan pulang jika tuntutan kami tidak dipenuhi hari ini juga. “ salah seorang perwakilan pendemo mengancam.
“ Turunlah ke Oi Tui, rasakan penderitaan kami. Kemarin, adik saya mati kelaparan. Haruskah kami dibiarkan menderita di tanah gersang berpasir itu ?  “ Salah seorang gadis yang juga bagian dari pendemo itu berbicara lantang lewat Megaphone.
Aksi saling dorong antara pendemo dengan aparat yang berada di dalam kantor Dewan terus berlangsung. Sementara di dalam Gedung Dewan, perwakilan massa sedang menyampaikan aspirasi dan terjadi dialog sengit dengan para wakil rakyat. Hingga adzan Dzuhur berkumandang, perwakilan massa pun keluar dan menyampaikan hasil kesepakatan. Salah seorang perwakilan massa membacakan point-point kesepakatan. Salah satunya adalah, anggota Dewan akan berkunjung langsung ke Oi Tui. Meski masih tersisa amarah dan kekeselan, namun kesediaan para wakil rakyat untuk ke Oi Tui bagai secercah sinar di celah mendung.
Aku masih saja heran dengan ketidakhadiran Ama Hasnah. Di tengah kerumunan massa Aku mendatangi salah seorang gadis yang masih memegang megaphone. Wajahnya mirip dengan Ama Hasnah.
“ Wajahmu mirip Ama Hasnah, siapa namamu ? “
“ Annisah, kenapa tanya ayahku ? terkenal ya ? terkenal karena kegilaannya, terus menjadi bahan ketawaan kalian disini …” berulang-ulang kata-kata itu keluar dari mulut mungil gadis itu.
“Nggak,hanya pingin tahu aja sebab ketidakhadirannya. “ jawabku sambil menatap wajah gadis itu yg penuh peluh.
“ Lalu ? “ Gadis itu terus menodongku dengan pertanyaan.
“ Biasanya setiap unjuk rasa dari Oi Tui, Ama Hasnah selalu ada. Atau kamu ya yang gantikan ayahmu ? “
“ Ya, aku menggantikan Ayah. Kondisinya semakin parah sejak adikku yang bungsu meninggal kelaparan. “ Annisah  berlari meninggalkanku dan menuju ke Bus yang mengantarkannya kembali ke Oi Tui.
“ Parah…… ? kenapa……….. ?” Teriakku.
“ Ayahku semakin gila…….!” Annisah hanya melambaikan tangan mungilnya. Aku tertegun menahan napas. Sambil membalas lambaian tangannya.
Penasaran. Tidak boleh buang-buang waktu lagi. Aku harus tahu kenapa Ama Hasnah Gila. Karena sejak pertama datang di Gedung Dewan orang itu waras dan sangat alim. Aku masih ingat untaian doa yang dipanjatkannya ketika pertama kali warga Oi Tui menyampaikan aspirasinya. Dia seorang yang bersahaja dalam benakku. Dan…. Annisah….ya Annisah. Gadis mungil yang tegar, tegas dan kritis. Dari kelopak matanya terpancar keberanian. Ditempa keadaan yang memang memaksanya untuk berani menghadapi hidup dengan segala keterbatasan di lahan UPT Transmigrasi yang gersang.  
          Renai gerimis pagi menemani Aku memasuki kawasan UPT Transmigrasi OI Tui. Tumben turun hujan di puncak kemarau seperti ini. Namun gerimis itu tidaklah mampu membasahi semua lahan dan keringnya lahan di sekitar OI Tui. Bau tanah menyengat terutama di areal yang setengah basah. Sekawanan kerbau tiba-tiba saja memotong jalan dan hampir saja kutabrak. Ku hela napas dalam-dalam.  AKu lanjutkan perjalanan di atas jalan bebatuan menuju UPT Oi Tui.
Oi Tui memang gersang. Hanya pohon bidara dan pohon Asam serta tanaman perdu lainnya yang bisa tumbuh. Ada juga pohon kamboja yang ditanam warga UPT yang berasal dari Bali dan Lombok. Aku akui keuletan mereka menantang kerasnya alam di OI Tui, jika dibandingkan dengan warga Bima yang berasal dari Teluk Waworada yang mendominasi pemukiman ini.
Oi Tui berada di sisi utara tanah Bima. Sebelum dijadikan UPT Transmigrasi kawasan ini memang kering dan berpasir hitam karena terletak di tepi laut Flores. Tampak gunung Api Sangyang dengan angkunya di tengah laut flores yang eksotik. Sementara ke arah timur, tampak pulau karang kecil yang menyerupai sebuah kapal. Pulau itu diberinama Pulau Ular. Karena ribuan Ular Jinak hidup di sekitar pulau ini.
Di sebuah deker Aku berhenti sejenak. Aku lihat beberapa anak yang sedang mengambil air dari sebuah sumur bor. Sambil menunggu air penuh di ember masing-masing mereka saling kejar-kejaran dan tertawa lepas.Sepertinya tidak ada beban. Tidak ada susah dan sedih seperti ayah ibu mereka yang tengah dirundung duka, karena tanah yang baru mereka tempati ini tidak dapat menjanjikan harapan. Hampir seluruh lahan di kawasan ini kering. Hanya warga yang mampu melaut saja yang dapat makan ikan dan menjual sedikit hasilnya untuk kebutuhan hidup.
  Salah seorang di antara mereka Aku panggil dan menanyakan rumah Ama Hasnah.
“ Ikut saya kak. “ Anak lelaki bercelana merah hati tanpa baju dan alas kaki itu berlari menuju ke sebuah rumah.
Tiba-tiba saja aku disambut dengan hormat ala tentara oleh seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Ama Hasnah. Sejurus kemudian keluar dari bilik bedek rumah itu seorang gadis mungil.
“ Annisah. “ panggilku.
“ Silahkan masuk kak. Ama makan dulu lah, nanti nasinya ubinya keburu dingin “ Annisah menyuruh ayahnya ke dapur. Namun tidak dihiraukan Ayahnya. Dia asyik saja dengan celoteh ngalor ngidulnya.
          Sebagaimana bangunan Unit Pemukiman Transmigari lainnya, rumah Ama Hasnah terdiri dari ruang tamu dan dua kamar tidur dan Dapur. Di ruang tamu tanpa kursi, Aku, Ama Hasnah dan Annisah duduk di atas hamparan tikar pandan yang sudah lusuh. Di depanku ada sebuah kasur dan seprei serta satu bantal yang ditaburi daun pandan dan bunga kamboja.
“ ini tempat tidur siapa ? “ tanyaku sambil memberikan sebatang rokok pada Ama Hasnah yang saat itu mulai terdiam menunduk.
“ ini adalah tempat jenazah adikku Marwan yang meninggal beberapa hari lalu disemayamkan.”
Suasana sejenak hening. Kupersembahkan Alfatihah untuk Marwan.
“ Dia meninggal karena busung lapar. Kami sangat menderita disini kak. “ Annisah memelukku erat. Di kelopak mungilnya terurai butiran bening membasahi jaketku. Kupandangi Ama Hasnah, lelaki tua itu pun menangis. Anak tak berbaju tadi pun muncul dibalik pintu dapur. Dari wajah lugunya tampak kesedihan.
Annisah melangkah ke arah meja plastik satu-satunya dalam rumah itu. Ia membawa sebuah kotak putih.
“Nasi ini tidak sempat disantap  Marwan. Tetanggaku bilang nasi ini diberikan salah seorang Anggota Dewan. Ayahku ingin sekali memberi makanan enak pada Marwan. Makannya sampai sekarang dibiarkan basi” Annisah mengusap air matanya. Dan Aku ingat, nasi itu memang diberikan salah seorang anggota Dewan.     
Celoteh Ama Hasnah kembali terdengar. Untaian lagu-lagu Bima dinyanyikannya. Sejurus kemudian dia mengambil tumpukkan kertas dan membacanya dengan suara keras. Tidak jelas juga kata dan kalimat yang dibacanya. Kemudian sebentar lagi dia melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an. Annisah tersenyum kecil melihat tingkah ayahnya. Dari apa yang dibaca Ama Hasnah, ada seraut asa yang tak kesampaian. Ada setumpuk kesal yang tak terurai dan tak mampu dikendalikannya.
          “ Ama (Ayah)  istirahat aja di dalam ya. …..” Annisah menuntun ayahnya ke dalam kamar.
          “ Biar aja. Nggak apa-apa kok.” Aku pun ikut tersenyum.
          “ Kakak kayaknya wartawan ya ? “ Annisah menebak.
          “ Bukan, aku karyawan di kantor Dewan itu. Aku turut prihatin atas musibah dan keadaan kalian. “
          “ Sukurlah masih ada yang peduli terhadap nasib kami di sini. Kakak lihat sendiri kan, keadaan warga disni. Sungguh jauh dari keadaan kami sebelumnya di Waworada sana. ” Annisah menunjuk keadaan sekeliling UPT OI Tui.     
          “ Kenapa sih kalian mau pindah ke sini ? “
          “ Ceritanya panjang dan berliku kak. “
          “ Sepanjang apapun ceritakannlah.”
Sambil mengajak Aku berjalan menyusuri pantai Oi Tui, Annisah pun mau membuka kisah keluarganya.
                                                          ***
Ama Hasnah sekeluarga tinggal di tepi teluk Waworada yang indah, tenang dan damai. Teluk itu berada di sisi selatan tanah Bima dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Mereka hidup damai dan berkecukupan dengan hamparan kebun seluas 2 hektar yang terhampar di desa Laju, Waworada dan Doro O’O di bibir teluk Waworada. Kebun nan luas itu rimbun ditumbuhi pohon kelapa, mangga, pisang serta buah-buahan lainnya.
Ama Hasnah dikaruniai empat orang anak. Dua orang putera dan dua orang puteri. Yang sulung bernama Hasnah. Oleh karena itulah lelaki tua ini akrab disapa Ama Hasnah, karena puteri pertamanya bernama Nurhasna yang sampai saat ini belum berkabar berita setelah merantau ke Malaysia menjadi TKI illegal. Setelah Ina Hasnah (Istri Ama Hasnah) meninggal dunia beberapa tahun silam karena  stroke, tinggallah dalam keluarga itu Ama Hasnah, Annisah, Marwan dan Imran.
          Sepuluh tahun lalu, babak baru kehidupan Ama Hasnah dan warga di tiga desa di teluk Waworada itu dimulai. Pemerintah saat itu berencana membuat tambak udang di sepanjang sisi utara teluk waworada, termasuk di kebun milik Ama Hasnah. Ama Hasnah dipaksa untuk merelakan tanah dan penghidupannya untuk sebuah Mega Proyek tambak udang itu. Mereka ditawarkan untuk menjadi transmigran lokal ke wilayah Oi Tui. Sementara ganti rugi atas tanah mereka juga tidak jelas.
          Mega Proyek Tambak Udang berhasil dijalankan. Persemiannya sangat ramai. Pejabat pusat dan daerah hadir menggunting pita dan menekan sirine. Ama Hasnah dan warga lainnya hanya menonton dari balik pagar kawat berduri di luar areal tambak itu. Hamparan kebun yang rimbun menghijau kini berubah menjadi hamparan tambak. Suara dan nyanyian burung- burung laut mulai tersingkir suara mobil-mobil  perusahaan yang keluar masuk areal tambak.
          Pada suatu pagi,beberapa  bus memasuki desa. Bus itu adalah kendaraan yang akan mengantar Ama Hasnah dan warga lainnya meninggalkan tanah leluhurnya menuju tempat baru di UPT Oi Tui. Pedih, perih sebenarnya meninggalkan alam desa yang asri dan tleuk Waworada yang teduh. Ketika Bus mulai melaju kencang melintasi areal tambak, perasaan Ama Hasnah makin pedih. Dia melambaikan tangannya ke arah tambak yang dulunya adalah kebun yang dirawat dan dijaganya. 
          Usaha Mega Proyek Tambak Udang itu awalnya berhasil. Semakin banyak tenaga kerja yang didatangkan dari pulau Jawa. Sementara warga sekitar hanya sebagai buruh, sebab tidak mempunyai ketrampilan memadai. Kebanyakan para pekerja dan manajer perusahan itu adalah pensiunan Tentara, putra-putri tentra dan keluarga tentara. Lambat laun, keberadaan perusahaan tambak itu menjadi satu komunitas perkampungan. Banyak di antara para karyawannya yang menikahi gadis-gadis lokal.
          Ama Hasnah beserta sejumlah warga di Oi Tui memulai hidup baru di atas lahan Oi Tui. Mereka diberikan satu unit rumah sederhana dengan lahan masing-masing satu setengah hektar. Ada semangat baru menyelinap menjadi harapan dibenak para transmigran lokal itu. Mereka mulai menanam padi dan jenis palawija. Jaminan hidup diberikan, bibit tanaman diberikan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, usaha pertanian inti rakyat yang digeluti Ama Hasnah dan kawan-kawan menuai kegagalan sebab tanah Oi Tui ternyata kurang cocok untuk lahan pertanian.
          Pernah juga diberikan bibit tanaman lain, namun mereka gagal. Lama, lahan-lahan itu menjadi kosong dan kering kerontang kembali. Sebagian warga beralih profesi menjadi nelayan, sebagian lagi menjadi peternak. Meski ternak yang mereka pelihara adalah ternak keluarga mereka dari desa-desa lain. Di tempat yang baru ini, meski dengan semangat baru, kehidupan Ama Hasnah dan kawan-kawan tidak pernah berubah. Lambat laun, dan tanpa disadari kehidupan mereka hanya bergantung pada jaminan hidup dari pemerintah.
          Dari seberang, di teluk Waworada tersiar kabar, tambak udang itu bangkrut. Satu persatu para karyawan meninggalkan Waworada. Manajer dan bos perusahaan kabur. Banyak karyawan yang tidak menerima gaji. Yang paling pedih menanggung derita adalah istri-istri karyawan yang ditinggalkan begitu saja dan menjanda. Tambak Udang, mega proyek itu tinggal kenangan. Tinggallah hamparan tanah kosong seperti kubangan berair dan berlumpur di musim hujan dan kering kerontang di musim kemarau. 
          Ama Hasnah dan kawan-kawan mulai mendatangi kantor Pemerintah, meminta kembali lahan mereka untuk digarap menjadi tambak rakyat. Namun permintaan itu tidak mendapat perhatian karena ternyata lokasi tambak itu sudah menjadi agunan Bank. Sertifikat Ama Hasnah dan kawan-kawan sudah tersimpan rapi di file-file Bank swasta di Jakarta.
          Kesulitan eknomi semakin menghimpit. Jaminan hidup tidak diberikan lagi. Ama Hasnah menekuni kerja serabutan menjadi buruh tani di desa tetangga dan kuli bangunan. Tapi itu hanya pada saat-saat tertentu. Sedangkan tiap hari keluarga harus diberi makan. Annisah, Imran dan Marwan harus bersekolah.  Apalagi di musim paceklik. Sumber air langka, bahan makanan pun langka. Ama Hasnah, Annisah, dan dua adiknya terpaksa mencari sejenis Ubi Gadu di gunung. Jika bahan makanan tidak ada, terpaksa perut yang menari keroncongan diganjal dengan air putih saja. Itu lah yang membuat Marwan mulai  sakit-sakitan.
                                                      ***
          “ Mulai saat itulah, ayahku terus mendantangi Gedung Dewan momohon uluran tangan semua pihak memecahkan persoalan ini. “ Annisah menutup kisahnya. Tanpa terasa perjalanan kami meniti pantai Oi Tui telah sampai di ujung timur.
“Kak, tolonglah keluarga kami. “ kembali Annisah menangis. Ku belai rambutnya.
“ iya. “ jawabku lirih. Tapi aku hanyalah Pion Birokasi. “
“ Ya, saya mengerti. Mudah-mudahan suatu saat nanti, keadaan kami berubah.
“ Yakinlah. Kehidupan ini tidak bergerak lurus adinda. Lihatlah mentari itu mulai tampak memecah kemendungan. Itulah semangat yang aku tangkap darimu.
“ Terima kasih atas taburan semangatnya. “ Annisah tersenyum kecil.
          Kami pun tiba kembali di rumah Ama Hasnah. Kuberikan bingkisan berupa makanan dan baju seragam sekolah untuk Annisah dan Imran.
“ Ini ada oleh-oleh untuk kalian. Tetap semangat dan rajin belajar ya…! “ Annisah dan Imran menangis dan merangkulku erat-erat. Dalam batin kulabuhkan tekad untuk tetap selalu datang mengunjungi mereka.     
Aku pun meninggalkan Oi Tui. Meninggalkan kisah Ama Hasnah, Annisah, Almarhum Marwan, Imran dan warga OI Tui lainnya yang haknya terampas oleh pembangunan.

                                                     Selesai   

1 komentar

Unknown mengatakan...

super Menarik Bang Alan Malingi...

Diberdayakan oleh Blogger.