Karena Terampas
Siang nan terik. Debu dan asap kendaraan
berterbangan di terpa angin. Gerah dan panas menyengat. Angin siang di puncak
musim kemarau sama sekali tidak memberi kesejukan. Seorang lelaki tua masih
saja berdiri di depan halaman Gedung Dewan itu. Dia tetap saja larut dalam
pidato dan orasinya. Yah, orasi dengan berbagai kata dan kalimat yang
mengundang tawa para pegawai, Polisi, Pol PP dan Anggota Dewan yang masih ada
di ruang kantor itu.
Setelah beberapa saat lamanya berorasi
sendiri, lelaki tua itu memberi hormat sambil menunduk ala tentara Jepang. Serentak
para pegawai tertawa. Salah seorang Anggota Dewan memberikan nasi kotak
jatahnya kepada lelaki tua itu. Spontan lelaki itu pun memanjatkan doa dalam
bahasa Arab dan Bima yang cukup fasih. Kemudian berjalan pulang sambil
menenteng nasi kotak dan setumpuk kertas yang biasa dia kumpulkan tiap kali
berkunjung ke kantor Dewan.
Lelaki tua itu bernama Ama Hasnah. Ia adalah
salah satu dari warga di Unit Pemukiman Transmigrasi di wilayah OI Tui di
sebelah utara Bima. Sejak beberapa bulan terakhir, puluhan warga UPT
Transmigrasi Oi Tui memang kerap mendatangi Gedung Dewan menyampaikan aspirasinya. Sejak itu lah Ama
Hasnah sering berkunjung ke Gedung Dewan dan keluyuran di Kota Bima. Bagi warga
Kota , Ama Hasnah dikenal sosok lelaki tua stress, bahkan dijuluki orang ‘gila
baru’. Karena sosok itu baru bergabung dengan ‘komunitas’ gila lainnya di kota
Bima. Terkadang omongannya waras dan
terkadang ngalor ngidul. Pakaiannya compang camping dengan sepatu boot yang
selalu melekat di kakinya. Terkadang memakai sorban dan kopiah hitam, kadang
juga memakai helm di kepalanya.
Tiap hari Ama Hasnah keluar masuk kantor
pemerintahan. Mengambil kertas-kertas bekas, buku-buku dan majalah bekas dan
kadang meminta uang kepada para pegawai.
Tidak hanya itu, aksi stress Ama Hasnah kerap membuat lalu lintas terganggu,
karena di tengah jalan lelaki tua ini ingin bertindak seperti Polantas.
Padahal, seingatku ketika pertama kali
mendatangi Gedung Dewan, penampilannya tidak menamapakkan kegilaan. Tapi entah
kenapa, akhir-akhir ini Ama Hasnah menjadi stress dan dicap sebagai orang gila
baru di kota ini.Beberapa warga yang kebetulan mengenalnya merasa iba atas
perubahan prilaku Ama Hasnah yang dulunya dikenal baik dan waras.
Hari ini warga Oi Tui kembali mendatangi
Gedung Dewan. Ada 5 buah Bus dan 1 Truk berkonvoi memasuki wilayah Kota Bima. Setibanya
di Gedung Wakil Rakyat itu, mereka turun dari kendaraan dan beberapa di antara
mereka melakukan orasi. Mereka menuntut jaminan hidup yang dijanjikan
pemerintah dan mengembalikan mereka ke tempat asal di teluk Waworada di sebelah
selatan tanah Bima. Tapi ada yang lain dari aksi hari ini. Aku tidak melihat
Ama Hasnah bersama massa. Untuk meyakinkan ketidakhadirannya, Aku berkeliling
di antara massa di tengah terik mentari. Memang betul, Ama Hasnah tidak hadir.
Aksi kali ini semakin memanas. Para
pengunjuk rasa mulai mendobrak pagar halaman Gedung Dewan.
“ Kami tidak akan pulang jika tuntutan kami tidak
dipenuhi hari ini juga. “ salah seorang perwakilan pendemo mengancam.
“ Turunlah ke Oi Tui, rasakan penderitaan kami. Kemarin,
adik saya mati kelaparan. Haruskah kami dibiarkan menderita di tanah gersang
berpasir itu ? “ Salah seorang gadis
yang juga bagian dari pendemo itu berbicara lantang lewat Megaphone.
Aksi saling dorong antara pendemo dengan
aparat yang berada di dalam kantor Dewan terus berlangsung. Sementara di dalam
Gedung Dewan, perwakilan massa sedang menyampaikan aspirasi dan terjadi dialog
sengit dengan para wakil rakyat. Hingga adzan Dzuhur berkumandang, perwakilan
massa pun keluar dan menyampaikan hasil kesepakatan. Salah seorang perwakilan
massa membacakan point-point kesepakatan. Salah satunya adalah, anggota Dewan
akan berkunjung langsung ke Oi Tui. Meski masih tersisa amarah dan kekeselan,
namun kesediaan para wakil rakyat untuk ke Oi Tui bagai secercah sinar di celah
mendung.
Aku masih saja heran dengan ketidakhadiran
Ama Hasnah. Di tengah kerumunan massa Aku mendatangi salah seorang gadis yang
masih memegang megaphone. Wajahnya mirip dengan Ama Hasnah.
“ Wajahmu mirip Ama Hasnah, siapa namamu ? “
“ Annisah, kenapa tanya ayahku ? terkenal ya
? terkenal karena kegilaannya, terus menjadi bahan ketawaan kalian disini …”
berulang-ulang kata-kata itu keluar dari mulut mungil gadis itu.
“Nggak,hanya pingin tahu aja sebab
ketidakhadirannya. “ jawabku sambil menatap wajah gadis itu yg penuh peluh.
“ Lalu ? “ Gadis itu terus menodongku dengan
pertanyaan.
“ Biasanya setiap unjuk rasa dari Oi Tui,
Ama Hasnah selalu ada. Atau kamu ya yang gantikan ayahmu ? “
“ Ya, aku menggantikan Ayah. Kondisinya
semakin parah sejak adikku yang bungsu meninggal kelaparan. “ Annisah berlari meninggalkanku dan menuju ke Bus yang
mengantarkannya kembali ke Oi Tui.
“ Parah…… ? kenapa……….. ?” Teriakku.
“ Ayahku semakin gila…….!” Annisah hanya
melambaikan tangan mungilnya. Aku tertegun menahan napas. Sambil membalas
lambaian tangannya.
Penasaran. Tidak boleh buang-buang waktu
lagi. Aku harus tahu kenapa Ama Hasnah Gila. Karena sejak pertama datang di
Gedung Dewan orang itu waras dan sangat alim. Aku masih ingat untaian doa yang
dipanjatkannya ketika pertama kali warga Oi Tui menyampaikan aspirasinya. Dia
seorang yang bersahaja dalam benakku. Dan…. Annisah….ya Annisah. Gadis mungil
yang tegar, tegas dan kritis. Dari kelopak matanya terpancar keberanian.
Ditempa keadaan yang memang memaksanya untuk berani menghadapi hidup dengan
segala keterbatasan di lahan UPT Transmigrasi yang gersang.
Renai
gerimis pagi menemani Aku memasuki kawasan UPT Transmigrasi OI Tui. Tumben
turun hujan di puncak kemarau seperti ini. Namun gerimis itu tidaklah mampu
membasahi semua lahan dan keringnya lahan di sekitar OI Tui. Bau tanah
menyengat terutama di areal yang setengah basah. Sekawanan kerbau tiba-tiba
saja memotong jalan dan hampir saja kutabrak. Ku hela napas dalam-dalam. AKu lanjutkan perjalanan di atas jalan
bebatuan menuju UPT Oi Tui.
Oi Tui memang gersang. Hanya pohon bidara
dan pohon Asam serta tanaman perdu lainnya yang bisa tumbuh. Ada juga pohon
kamboja yang ditanam warga UPT yang berasal dari Bali dan Lombok. Aku akui
keuletan mereka menantang kerasnya alam di OI Tui, jika dibandingkan dengan
warga Bima yang berasal dari Teluk Waworada yang mendominasi pemukiman ini.
Oi Tui berada di sisi utara tanah Bima.
Sebelum dijadikan UPT Transmigrasi kawasan ini memang kering dan berpasir hitam
karena terletak di tepi laut Flores. Tampak gunung Api Sangyang dengan angkunya
di tengah laut flores yang eksotik. Sementara ke arah timur, tampak pulau
karang kecil yang menyerupai sebuah kapal. Pulau itu diberinama Pulau Ular.
Karena ribuan Ular Jinak hidup di sekitar pulau ini.
Di sebuah deker Aku berhenti sejenak. Aku lihat
beberapa anak yang sedang mengambil air dari sebuah sumur bor. Sambil menunggu
air penuh di ember masing-masing mereka saling kejar-kejaran dan tertawa
lepas.Sepertinya tidak ada beban. Tidak ada susah dan sedih seperti ayah ibu
mereka yang tengah dirundung duka, karena tanah yang baru mereka tempati ini
tidak dapat menjanjikan harapan. Hampir seluruh lahan di kawasan ini kering.
Hanya warga yang mampu melaut saja yang dapat makan ikan dan menjual sedikit
hasilnya untuk kebutuhan hidup.
Salah seorang di
antara mereka Aku panggil dan menanyakan rumah Ama Hasnah.
“ Ikut saya kak. “ Anak lelaki bercelana
merah hati tanpa baju dan alas kaki itu berlari menuju ke sebuah rumah.
Tiba-tiba saja aku disambut dengan hormat ala tentara
oleh seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Ama Hasnah. Sejurus kemudian
keluar dari bilik bedek rumah itu seorang gadis mungil.
“ Annisah. “ panggilku.
“ Silahkan masuk kak. Ama makan dulu lah,
nanti nasinya ubinya keburu dingin “ Annisah menyuruh ayahnya ke dapur. Namun
tidak dihiraukan Ayahnya. Dia asyik saja dengan celoteh ngalor ngidulnya.
Sebagaimana
bangunan Unit Pemukiman Transmigari lainnya, rumah Ama Hasnah terdiri dari
ruang tamu dan dua kamar tidur dan Dapur. Di ruang tamu tanpa kursi, Aku, Ama
Hasnah dan Annisah duduk di atas hamparan tikar pandan yang sudah lusuh. Di
depanku ada sebuah kasur dan seprei serta satu bantal yang ditaburi daun pandan
dan bunga kamboja.
“ ini tempat tidur siapa ? “ tanyaku sambil
memberikan sebatang rokok pada Ama Hasnah yang saat itu mulai terdiam menunduk.
“ ini adalah tempat jenazah adikku Marwan
yang meninggal beberapa hari lalu disemayamkan.”
Suasana sejenak hening. Kupersembahkan Alfatihah untuk
Marwan.
“ Dia meninggal karena busung lapar. Kami
sangat menderita disini kak. “ Annisah memelukku erat. Di kelopak mungilnya
terurai butiran bening membasahi jaketku. Kupandangi Ama Hasnah, lelaki tua itu
pun menangis. Anak tak berbaju tadi pun muncul dibalik pintu dapur. Dari wajah
lugunya tampak kesedihan.
Annisah melangkah ke arah meja plastik satu-satunya
dalam rumah itu. Ia membawa sebuah kotak putih.
“Nasi ini tidak sempat disantap Marwan. Tetanggaku bilang nasi ini diberikan
salah seorang Anggota Dewan. Ayahku ingin sekali memberi makanan enak pada
Marwan. Makannya sampai sekarang dibiarkan basi” Annisah mengusap air matanya.
Dan Aku ingat, nasi itu memang diberikan salah seorang anggota Dewan.
Celoteh Ama Hasnah kembali terdengar.
Untaian lagu-lagu Bima dinyanyikannya. Sejurus kemudian dia mengambil tumpukkan
kertas dan membacanya dengan suara keras. Tidak jelas juga kata dan kalimat
yang dibacanya. Kemudian sebentar lagi dia melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an.
Annisah tersenyum kecil melihat tingkah ayahnya. Dari apa yang dibaca Ama
Hasnah, ada seraut asa yang tak kesampaian. Ada setumpuk kesal yang tak terurai
dan tak mampu dikendalikannya.
“ Ama (Ayah) istirahat aja di dalam ya. …..” Annisah
menuntun ayahnya ke dalam kamar.
“ Biar
aja. Nggak apa-apa kok.” Aku pun ikut tersenyum.
“ Kakak
kayaknya wartawan ya ? “ Annisah menebak.
“ Bukan,
aku karyawan di kantor Dewan itu. Aku turut prihatin atas musibah dan keadaan
kalian. “
“
Sukurlah masih ada yang peduli terhadap nasib kami di sini. Kakak lihat sendiri
kan, keadaan warga disni. Sungguh jauh dari keadaan kami sebelumnya di Waworada
sana. ” Annisah menunjuk keadaan sekeliling UPT OI Tui.
“ Kenapa
sih kalian mau pindah ke sini ? “
“
Ceritanya panjang dan berliku kak. “
“ Sepanjang
apapun ceritakannlah.”
Sambil mengajak Aku berjalan menyusuri pantai Oi Tui,
Annisah pun mau membuka kisah keluarganya.
***
Ama Hasnah sekeluarga tinggal di tepi teluk
Waworada yang indah, tenang dan damai. Teluk itu berada di sisi selatan tanah
Bima dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Mereka hidup damai dan
berkecukupan dengan hamparan kebun seluas 2 hektar yang terhampar di desa Laju,
Waworada dan Doro O’O di bibir teluk Waworada. Kebun nan luas itu rimbun
ditumbuhi pohon kelapa, mangga, pisang serta buah-buahan lainnya.
Ama Hasnah dikaruniai empat orang anak. Dua
orang putera dan dua orang puteri. Yang sulung bernama Hasnah. Oleh karena
itulah lelaki tua ini akrab disapa Ama Hasnah, karena puteri pertamanya bernama
Nurhasna yang sampai saat ini belum berkabar berita setelah merantau ke
Malaysia menjadi TKI illegal. Setelah Ina Hasnah (Istri Ama Hasnah) meninggal
dunia beberapa tahun silam karena stroke, tinggallah dalam keluarga itu Ama
Hasnah, Annisah, Marwan dan Imran.
Sepuluh
tahun lalu, babak baru kehidupan Ama Hasnah dan warga di tiga desa di teluk
Waworada itu dimulai. Pemerintah saat itu berencana membuat tambak udang di
sepanjang sisi utara teluk waworada, termasuk di kebun milik Ama Hasnah. Ama Hasnah
dipaksa untuk merelakan tanah dan penghidupannya untuk sebuah Mega Proyek
tambak udang itu. Mereka ditawarkan untuk menjadi transmigran lokal ke wilayah
Oi Tui. Sementara ganti rugi atas tanah mereka juga tidak jelas.
Mega
Proyek Tambak Udang berhasil dijalankan. Persemiannya sangat ramai. Pejabat
pusat dan daerah hadir menggunting pita dan menekan sirine. Ama Hasnah dan
warga lainnya hanya menonton dari balik pagar kawat berduri di luar areal
tambak itu. Hamparan kebun yang rimbun menghijau kini berubah menjadi hamparan
tambak. Suara dan nyanyian burung- burung laut mulai tersingkir suara
mobil-mobil perusahaan yang keluar masuk
areal tambak.
Pada
suatu pagi,beberapa bus memasuki desa.
Bus itu adalah kendaraan yang akan mengantar Ama Hasnah dan warga lainnya
meninggalkan tanah leluhurnya menuju tempat baru di UPT Oi Tui. Pedih, perih
sebenarnya meninggalkan alam desa yang asri dan tleuk Waworada yang teduh.
Ketika Bus mulai melaju kencang melintasi areal tambak, perasaan Ama Hasnah
makin pedih. Dia melambaikan tangannya ke arah tambak yang dulunya adalah kebun
yang dirawat dan dijaganya.
Usaha
Mega Proyek Tambak Udang itu awalnya berhasil. Semakin banyak tenaga kerja yang
didatangkan dari pulau Jawa. Sementara warga sekitar hanya sebagai buruh, sebab
tidak mempunyai ketrampilan memadai. Kebanyakan para pekerja dan manajer
perusahan itu adalah pensiunan Tentara, putra-putri tentra dan keluarga
tentara. Lambat laun, keberadaan perusahaan tambak itu menjadi satu komunitas
perkampungan. Banyak di antara para karyawannya yang menikahi gadis-gadis lokal.
Ama
Hasnah beserta sejumlah warga di Oi Tui memulai hidup baru di atas lahan Oi Tui.
Mereka diberikan satu unit rumah sederhana dengan lahan masing-masing satu
setengah hektar. Ada semangat baru menyelinap menjadi harapan dibenak para
transmigran lokal itu. Mereka mulai menanam padi dan jenis palawija. Jaminan
hidup diberikan, bibit tanaman diberikan. Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, usaha pertanian inti rakyat yang digeluti Ama Hasnah dan kawan-kawan
menuai kegagalan sebab tanah Oi Tui ternyata kurang cocok untuk lahan
pertanian.
Pernah juga
diberikan bibit tanaman lain, namun mereka gagal. Lama, lahan-lahan itu menjadi
kosong dan kering kerontang kembali. Sebagian warga beralih profesi menjadi
nelayan, sebagian lagi menjadi peternak. Meski ternak yang mereka pelihara
adalah ternak keluarga mereka dari desa-desa lain. Di tempat yang baru ini,
meski dengan semangat baru, kehidupan Ama Hasnah dan kawan-kawan tidak pernah
berubah. Lambat laun, dan tanpa disadari kehidupan mereka hanya bergantung pada
jaminan hidup dari pemerintah.
Dari
seberang, di teluk Waworada tersiar kabar, tambak udang itu bangkrut. Satu
persatu para karyawan meninggalkan Waworada. Manajer dan bos perusahaan kabur.
Banyak karyawan yang tidak menerima gaji. Yang paling pedih menanggung derita
adalah istri-istri karyawan yang ditinggalkan begitu saja dan menjanda. Tambak
Udang, mega proyek itu tinggal kenangan. Tinggallah hamparan tanah kosong
seperti kubangan berair dan berlumpur di musim hujan dan kering kerontang di
musim kemarau.
Ama
Hasnah dan kawan-kawan mulai mendatangi kantor Pemerintah, meminta kembali
lahan mereka untuk digarap menjadi tambak rakyat. Namun permintaan itu tidak
mendapat perhatian karena ternyata lokasi tambak itu sudah menjadi agunan Bank.
Sertifikat Ama Hasnah dan kawan-kawan sudah tersimpan rapi di file-file Bank
swasta di Jakarta.
Kesulitan
eknomi semakin menghimpit. Jaminan hidup tidak diberikan lagi. Ama Hasnah
menekuni kerja serabutan menjadi buruh tani di desa tetangga dan kuli bangunan.
Tapi itu hanya pada saat-saat tertentu. Sedangkan tiap hari keluarga harus
diberi makan. Annisah, Imran dan Marwan harus bersekolah. Apalagi di musim paceklik. Sumber air langka,
bahan makanan pun langka. Ama Hasnah, Annisah, dan dua adiknya terpaksa mencari
sejenis Ubi Gadu di gunung. Jika bahan makanan tidak ada, terpaksa perut yang
menari keroncongan diganjal dengan air putih saja. Itu lah yang membuat Marwan
mulai sakit-sakitan.
***
“ Mulai
saat itulah, ayahku terus mendantangi Gedung Dewan momohon uluran tangan semua
pihak memecahkan persoalan ini. “ Annisah menutup kisahnya. Tanpa terasa
perjalanan kami meniti pantai Oi Tui telah sampai di ujung timur.
“Kak, tolonglah keluarga kami. “ kembali
Annisah menangis. Ku belai rambutnya.
“ iya. “ jawabku lirih. Tapi aku hanyalah Pion
Birokasi. “
“ Ya, saya mengerti. Mudah-mudahan suatu
saat nanti, keadaan kami berubah.
“ Yakinlah. Kehidupan ini tidak bergerak
lurus adinda. Lihatlah mentari itu mulai tampak memecah kemendungan. Itulah
semangat yang aku tangkap darimu.
“ Terima kasih atas taburan semangatnya. “
Annisah tersenyum kecil.
Kami pun
tiba kembali di rumah Ama Hasnah. Kuberikan bingkisan berupa makanan dan baju
seragam sekolah untuk Annisah dan Imran.
“ Ini ada oleh-oleh untuk kalian. Tetap
semangat dan rajin belajar ya…! “ Annisah dan Imran menangis dan merangkulku
erat-erat. Dalam batin kulabuhkan tekad untuk tetap selalu datang mengunjungi
mereka.
Aku pun meninggalkan Oi Tui. Meninggalkan kisah Ama
Hasnah, Annisah, Almarhum Marwan, Imran dan warga OI Tui lainnya yang haknya
terampas oleh pembangunan.
Selesai
Post a Comment