Serabutan
Kata “
Serabutan” identik dengan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap,
misalnya para kuli dan buruh yang
berubah-ubah pekerjaannya setiap hari. Hari ini menjadi kuli bangunan, besok
kondektur angkot, lusa duduk nongkrong pinggir jalan dan demikian seterusnya
yang dijalani dari hari kehari. Di era reformasi ini, serabutan sudah bukan
saja menjadi gelar mereka yang saya sebutkan di atas. Tapi sudah meluas dan
melebar kemana-mana bahkan sampai ke level yang elit.
Ada aktivis
serabutan dan bahkan politisi serabutan. Seiring bergulirnya reformasi pada
tahun 1998, bermunculan aktivis-aktivis bagai jamur di musim hujan. Hal ini
dimungkinkan juga dengan pemilu kada langsung, disinilah tempat bernaunngya
para aktivis serabutan tuk menjadi “ Tim
Yang Sukses “. Karena meskipun calon yang didukungnya kalah, namun mereka sudah
banyak menikmati hasil dari proyek Pemilu Kada di daerah masing-masing. Kelompok
ini adalah obyek bagi para elite untuk bermain dan melakukan “ pressure”
terhadap lawan politiknya. Apalagi jika sang aktivis lihai berorasi. Maka dia
akan terus menjadi “bintang” dalam setiap aksi demonstrasi. Saya punya teman
seorang aktivis. Dia sangat lihai berorasi
dan melakukan pendekatan dengan pejabat. Dia juga aktif di berbagai
forum. Meski orasinya juga kadang ngawur, tapi dia tetap dimanfaatkan oleh
kelompok kepentingan.
Ada juga
politisi serabutan. Mereka adalah para mantan anggota DPRD yang masih berusia muda dan tidak
memiliki pekerjaan tetap lagi. Semua seba tanggung, mau jadi kuli gengsi dong,
mau jadi pedagang tidak ada bakat dagang. Satunya-satunya jalan adalah kembali
menjadi politisi di luar gedung DPRD. Di era reformasi ini memang telah
bermunculan semua yang serabutan.
Post a Comment