f Hidup Mati Kami Di Tambora - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Hidup Mati Kami Di Tambora

Setelah letusan dahsyat tahun 1815, tanah Tambora dan sekitarnya menjadi Blessing In Disquisse( Rahmat Tuhan Yang Tersembunyi) bagi wilayah sekitarnya seperti Bima, Dompu, Sumbawa bahkan Bali dan Lombok. Tambora  menyisahkan tumpukan material letusan, padang savana, kebun kopi peninggalan Belanda, Hutan Kalango dan berbagai potensi eksotik lainnya untuk generasi yang kreatif,inovatif dan punya keuletan untuk mengelola alam Tambora yang memesona. Sejak tahun 1980 tanah tidak bertuan itu mulai ditangani oleh para transmigran terutama dari Bali dan Lombok untuk berbaur dengan masyarakat Bima dan Dompu yang sudah lama menetap di wilayah-wilayah pesisir selatan, barat dan utara lereng Tambora.



Mariani (45 Tahun), warga asal Lombok Tengah ini saya temui dalam perjalanan menuju pesanggarahan di tengah kebun kopi Tambora. Di rumahnya yang terletak di dalam kawasan eks perkebunan kopi Tambora ini, Mariani dan keluarganya tinggal sejak tahun 1985. Tentu merupakan rentang waktu yang cukup lama meninggalkan tanah kelahiran untuk hijrah menekuni profesi baru sebagai petani kopi Tambora. Mariani, tentu tidak sendiri, ratusan warga lombok lainnya juga tersebar di sekitar areal kebun kopi dan di desa-desa di sekitar lereng Tambora. " Tidak ada pilihan lain, Tambora adalah hidup mati kami. " Ucap Mariani sambil menumbuk kopi Arabica yang di halaman depan rumahnya yang dulu memang merupakan rumah pegawai kebun kopi Tambora.

Tambora telah memberikan lapangan usaha bagi Mariani dan warga Bali-Lombok sebagai transmigran. " Di lombok sudah sangat padat, satu-satunya jalan adalah mencari pekerjaan baru. kan setahun sekali kita pulang pak. Apalagi transportasi ke Lombok sudah lancar. Kita tinggal naik Bus dari Kadindi langsung menuju Lombok. " Urai Mariani sambil menunjuk areal kebun kopi yang terhampar di lereng barat gunung Tambora itu.

Mariani adalah sosok pekerja keras, transmigran yang sukses dan ulet dalam meniti hidup di lereng Tambora yang menjajikan harapan. Menjelang Dua Abad letusan Tambora, Mariani berharap ada upaya dari berbagai pihak untuk menata kebun kopi dan membantu membangun kedai-kedai Kopi di sekitar kebun kopi Tambora sebagai seduhan untuk para pengunjung dan penjelajah Tambora. 

Penulis : Alan Malingi 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.