f Dari Kamina Hingga Nggusu Waru - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Dari Kamina Hingga Nggusu Waru


Masjid Kamina dibangun di atas bekas masjid aslinya.Kamina adalah nama sebuah dusun di pegunungan sisi selatan tanah Bima. Dari puncak Kamina atau yang saat ini dikenal dengan Desa Kalodu membentang eksotisme teluk Waworada. Kamina atau Kalodu adalah nama sebuah desa dari kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Desa ini punya sejarah panjang terkait masuknya islam di tanah Bima. Kenapa dinamakan Kamina ? dan apa hubungannya dengan filosofi Nggusu Waru yang menjelma dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Bima hingga saat ini ? Kita mulai dari Kamina. Di desa ini terdapat sebuah masjid yang diberinama Kamina. Diberi nama Kamina, karena orang-orang di sinilah yang pertama meng-amini Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam bahasa Bima Ka berarti yang. Sedangkan Amina adalah yang mengaminkan. Jadi dinamakan Kamina karena orang-orang disinilah yang pertama menerima islam. 



Trap/tangga menuju Masjid KaminaMasjid kuno ini oleh masyarakat Mbojo (Bima) diberi nama “ Sigi Kalodu atau Sigi Kamina” (Sigi berarti Masjid). Didirkan sekitar tahun 1621 M. Oleh jena Teke La Kai ( setelah memeluk agama Islam bernama Abdul Kahir ), bersama beberapa Mubalig dari Sulawesi Selatan ( Goa, Tallo, Luwu dan Bone ) dan para pengikut Jena Teke Abdul Kahir ( Jena Teke berarti Putera Mahkota ). Sigi Kalodu merupakan masjid kuno tertua di Bima setelah Masjid kuno Kampo NaE ( Kampung NaE ) kecamatan Sape. Masjid ini juga didirikan oleh para mubalig dari Gowa, Tallo, Luwu dan Bone, beberapa tahun sebelum Masjid Kalodu di bangun. Sebelum masjid Kalodu di bangun, Dusun Kalodu merupakan tempat persembunyian Jena Teke La Kai bersama pengikutnya, yang terpaksa meninggalkan Istana karena mau dibunuh oleh pamanya yang bernama Salisi. Dengan bantuan Belanda Salisi berambisi mengambil alih kekuasaan, walau tidak di setujui oleh Lembaga Hadat Dana Mbojo ( Lembaga Pemerintahan Kerajaan ). Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Kai bersama pengikut berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Karena itu raja-raja Sulawesi Selatan di Sape, maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621 ) Jena Teke La Kai bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I juga bernama Bumi Jara Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin. Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingin oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembaliu menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.  

Menyusuri kampung Kamina


Karena bangunan kuno tersebut sudah lama tiada, di telan zaman maka sulit untuk diketahui dengan pasti bagaimana sesungguhnya ( Arsitektur ) Masjid Kalodu menurut Bo Asi ( Bo Istana ) yaitu catatan kuno peninggalan Kesultanan Bima, bentuk Masjiod Kalodu di gambarkan sebagai berikut Bangunan masjid berbentuk segi empat sama sisi ( bujur sangkar ) dan tidak memiliki migrab seperti lazimnya sebuah Masjid pada masa berikutnya. Empat sisi yang sama itu merupakan simbol empat orang putera dan keluarga Raja yang memeluk Agama Islam yaitu La kai ( Abdul Kahir ), Bumi Jara Mbojo (Awaluddin ), La Mbilla ( Jalaluddin ) dan Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese ( Sirajuddin ). Selain itu empat buah sisi bangunan merupakan simbol daerah assal para gurunya yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.   Tiang bangunan masjid ada delapan, yang berbentuk nggusu waru (segi delapan) merupakan simbol dari empat orang putera dan keluarga Istana dan empat daerah asal para ulama yang menjadi Guru mereka yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone. Tidak dijelaskan luas bangunan induk dari bangunan masjid tersebut. Mungkin bisa diketahui dari luas bekas bangunan yang sampai sekarang masih dapat di saksikan. Luas bangunan Masjid + 2 Are, belum terhitung luas tempat tinggalnya Jena Teke (Abdul Kahir) bersama pengikut dan anggota masyarakat yang datang untuk belajar agama Islam.


Komunitas JELAJAH memberikan bantuan warga Kamina
Dalam Bo Istana tidak dijelaskan jenis bahan bangunan Masjid, tetapi besar dugaan bahwa bangunan itu dibuat dari kayu, karena kayu marupakan bahan utama dari semua jenis bangunan mereka termasuk rumah tempat tinggal. Dugaan itu semakin kuat, mengingat Dusun Kalodu berada di tengah hutan belantara, yang banyak menyediakan berbagai jenis kayu untuk bahan bangunan. Atap masjid, mungkin dibuat dari “ Arti “ atau “Kandolo” (jenis ilalang) yang banyak tumbuh di daerah dataran tinggi, yang sampai sekarang menjadi bahan atap rumah masyarakat Mbojo (Bima dan Dompu)  Kemungkinan lain atap Masjid dibuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran panjang sekitar 30 cm yang oleh masyarakat disebut “Sira” (sirap) yaitu atapnya dibuat dari kayu yang dibelah dengan ketebalan 1 cm dan dipotong berukuran kurang lebih 30 cm karena bahan bangunan dibuat dari kayu maka tidaklah mengherankan apabila bangunan masjid Kuno di kalodu, tidak akan bertahan lama

Seandainya Masjid Kalodu yang berada di tengah hutan belantara itu tidak ada, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya para Juru  Dakwah dan Mubakig datang menyiarkan Agama Islam di Dusun dan Desa yang berada di Kaki gunung terpencil itu dengan kata lain sesungguhnya Masjid Kalodu memiliki keistimewaan yang jarang ditemukan di daerah lain karena di daerah lain semua masjid tertua pada umumnya berada di daerah pesisir bukan di daerah padalaman apalagi daerah perbukitan seperti Dusun Kalodu, sehingga di daerah-daerah tersebut sulit mengislamkan masyarakat pedalaman.(Diadaptasi dari Buku Sejarah Bima Dana Mbojo, H. Abdullah Tayib, BA) Masjid kamina ini saat ini sudah tidak sesuai aslinya lagi karena tiangnya sudah bertambah. Masjid kamina yang sekarang adalah sudah direnovasi dengan jumlah tiang 24. Renovasi masjid ini dilakukan oleh Bupati Bima H.Ferry Zulkarnain, ST pada tahun 2009 di atas lahan seluas 1,5 Ha. Lokasinya berada di puncak Gunung Kamina desa Kalodu kecamatan Langgudu.

Apa hubungannya dengan NGGUSU WARU ?
Pose bersama di depan Masjid Kamina


Saya memprediksi bahwa asal mula falsafah kepemimpinan Mbojo adalah dari proses pembangunan masjid Kamina ini. Nggusu Waru merupakan filosofi kepemimpinann Dou Mbojo, sebagai perangkat nilai, pikir dan tindak, maka Nggusu Waru menitipkan beberapa nilai kepemimpinan Dou Mbojo,  yaitu; 1. Dou Ma Dei Ro Paja Ilmu (Orang yang dalam dan luas ilmunya), Dou Ma Dahu Di Ndai Ruma ( Orang Yang Bertaqwa Kepada Allah), Dou Ma Taho Ruku Ra Rawi ( Orang yang baik prilaku dan budi pekertinya), Dou Ma Taho Ntanda Ba Dou Londo Ra Maina( Keturunan yang baik dan disegani/Kharismatik), Dou Ma dodo Tambari Kontu,Tengi Angi Labo Dou Ma to'i ( Orang yang selalu memperhatikan kepentingan rakyat dimanapun dia berada),Dou Ma Mbeca Wombo na( Orang Yang Kaya), Dou Ma Sabua Nggahi labo rawi( Satu kata dan perbuatan), Dou ma disa kai ma poda, dahu kai ma dapoda ( Berani karena benar) 

Nggusu Waru atau dasar segi delapan bagunan Masjid Kalodu melambangkan 4 serangkai pejuang berdirinya kesultanan Bima yaitu La Ka’I, Manuru Bata, La Mbila dan Bumi Jara Mbojo dengan empat orang mubaliq yang datang dari Gowa, Bone, Tallo dan Luwu. Jadi delapan orang membentuk satu kekuatan sejarah berdiri dan jayanya Islam di tanah Bima. Kekuatan itu dilambangkan dalam pucuk bangunan yang satu yang terbentuk dari delapan pilar utama. Nah, itulah yang kemudian menjadi filosofi kepemimpinan di tanah Bima.

Pada perkembangan berikutnya, Nggusu Waru tidak hanya menjelma dalam bentuk bangunan, tetapi terus mengalir dalam bentuk seni dan budaya Dou Mbojo serta segala sendi kehidupannya. Kita lihat bangunan Lare-lare Istana Bima, Paruga Nae di seluruh kecamatan, motif tenunan, motif keris dan berbagai produk seni budaya lainnya.
Pemandangan dari puncak Kamina

Di dusun Kamina hingga saat ini masih terwarisi tradisi NGAJI WARU. Tradisi ini biasa dilakukan sekali sebulan. Dimana delapan orang yang menggambarkan delapan pendiri masjid Kamina duduk bersila di delapan tiang masjid untuk membuka kitab kuno. Kitab suci Alquran yang mereka yakini warisan dari para mubaliq penyiar agama islam di Bima. Lalu mereka melantunkan ayat-ayat suci Alquran di masjid ini. Kitab kuno itu sudah sangat usang. Entah kapan kitab itu ditulis dan dibukukan. Walahu alam.

Antara dusun Kamina dengan lahirnya filosofi kepemimpinan NGGUSU WARU seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipishkan. Nggusu Waru memang terlahir sejak lama di Bumi Mbojo, bahkan jauh sebelum islam menyentuh tanah ini. Tapi implementasi sempurna dari nilai-nilai itu hadir bersama 4 Serangkai proklamator berdirinya kesultanan Bima dengan 4 mubaliq penyiar agama islam di tanah Bima.  

Penulis : Alan Malingi 
Sumber : 
1. H.Abdullah Tayib, BA, Sejarah Bima Dana Mbojo
2. Mukhlis, Adab Ketatanegaraan Dalam Manuskrip Bima, Kajian atas naskah Jawharat Al-Ma'rif, Koleksi Museum Samparaja Bima, Annual Conference on islamic studies, 2010, Bajarmasin. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.