“ Nuru” Pesantren Tradisional Bima
Nuru atau Ngg’e Nuru sebagai tradisi
turun temurun masyarakat Bima-Dompu mengandung pengertian sebagai bentuk
pengabdian. Nuru merupakan satu kata
yang memiliki dua pengertian. Pengertian Pertama adalah calon suami tinggal
bersama di rumah calon mertua. Setelah pria sudah diterima lamarannya dan bila kedua belah pihak menghendaki, sang pria
diperkenankan tinggal bersama calon mertua di rumah calon mertua. Selama ngge’e
nuru, sang pria harus memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang
baik kepada calon mertuanya. Bila selama ngge’e nuru ini sang pria
memperlihatkan sikap, tingkah laku dan tutur kata yang tidak sopan, malas dan
sebagainya, atau tak pernah melakukan shalat, lamaran bisa dibatalkan secara
sepihak oleh keluarga perempuan. Ini berarti ikatan sodi angi diantara dua remaja tadi putus.
Pengertian Ngge’e Nuru yang kedua adalah
Nge’e Nuru dalam kaitannya dengan mengabdi dan belajar Alquran dan ilmu agama
di rumah guru. Inilah yang menjadi pesantren tradisional Bima. Sepanjang
sejarah, Bima tidak memiliki pesantren seperti di Jawa dan Sumatera. Ngge’e
Nuru merupakan tradisi mem-pesantren kan anak-anak pada masa silam yang
melahirkan banyak orang-orang pintar, ulama dan cerdik pandai di tanah Bima.
Teman saya Honest D malay dan Muhammad Adlin Sila banyak berdiskusi tentang hal
ini untuk melengkapi disertasi doktornya di Australia.
Pesantren di atas rumah panggung dan
lampu tradisional( Ilo Peta) itu cukup efektif dalam proses estafet pembumian
Alquran dan pembentukan akhlak manusia Bima kala itu. Karena di dalam pesantren
Ngge’e Nuru ini anak-anak tidak hanya belajar mengaji, shalat dan ilmu-ilmu
agama. Saya juga adalah alumni nge’e nuru yang meskipun berpindah-pindah guru.
Masih teringat kenangan indah ketika tidur bsersama di rumah panggung Abu Guru,
bangun subuh menimba air dan mengisi padasan. Kemudian shalat subuh berjamaah,
dan mengaji. Sian hari kita menyapu halaman rumah Abu Guru dan terkadang
sewaktu libur panjang sekolah kami membantu Abu Guru di sawah ladangnya.
Pada Masa lalu, Nge e Nuru adalah
sumber kekuatan syiar Islam di tanah Bima. Hampir setiap rumah terdengar
lantunan ayat-ayat suci Alquran menggema dan bersahutan memberi warna kehidupan
yang damai dan islami di Bumi Maja Labo Dahu. Magrib adalah kekuatan. Keutuhan
keluarga ada pada waktu magrib. Semua anggota rumah berkumpul. Ayah mengecek
satu persatu kehadiran anak-anaknya kembali ke rumah setelah beraktifitas. Lalu
makan bersama meskipun dengan ikan yang dipotong empat dan nasi yang
banyak. Lalu menuju rumah guru untuk
mengaji. Indah dan terurai manis dalam balutan tradisi Alquran yang membumi.
Semua berlomba untuk bisa membaca Alquran. Sungguh sebuah keaiban apabila belum
khatam Alquran, apalagi buta huruf Alquran.
Untuk melepas penat, usai mengaji,
apalagi di malam purnama kita biasanya menggelar berbagai permainan tradisional
seperti Jakapa, Ncimi Kolo, dan berbagai permainan tradisional lainnya.
Kadang-kadang Abu Guru juga mendongeng mengantarkan kami ke alam mimpi.Untuk
datang Nge’e Nuru ke rumah Abu Guru harus diantar oleh orang tua dengan
seperangkat Nasi Lemang(Oha Mina), pisang dan untaian Doa dari Abu Guru. Itulah
tradisi indah dalam Nge’e Nuru yang tak pernah terlupakan. Sebuah pesantren
tradisional yang telah banyak melahirkan para tuan guru, Qori dan Qori’ah
nasional dan internasional seperti Abdul Gani Bima, Abdurahman Idris,
H.Abubakar Husen, H.Said Amyn, H.Ramli Ahmad,dan sederet ulama tersohor
lainnya. Apresiasi pun muncul dari tokoh sekelas Bung Karno, Hatta dan Hamka. “
Jika ingin belajar Islam, datanglah ke Bima “ Tutur Hamka pada sebuah
kesempatan.
Kini, dimanakah Nge’e Nuru ini ?
Masihkah adakah kelap kelipnya yang menjadi lentera dalam kegamaman kita saat
ini dalam menggelorakan Magrib Mengaji dan Pembumian Alquran di tanah Bima
?.Sudah saatnya kita menengok masa silam itu untuk menata langkah kedepan
membangun Manusia Bima yang Qurani. Dulu, political Will dan political power
dari sultan ke sultan cukup kuat bagi syiar dan pembinaan ummat. Para Da’i,
ulama-ulama, guru ngaji, imam masjid dan marbot diberikan tanah jaminan kelas
satu dengan intensitas tiga kali panen. Itulah yang menjadi motivasi bagi
mereka untuk terus membina,mendidik dan membesarkan para muridnya. Mereka tidak
berpikir lain, selain mengajarkan Alquran dan Islam kepada para muridnya.
Bagaimana dengan
sekarang ? tentu strategi ini harus dilanjutkan dan disertai pengawasan melekat
terhadap keberadaan TPQ, Guru Ngaji dan Para Da’i di desa-desa. Pertahanan
moral masyarakat kita mulai jepol dengan maraknya narkoba, miras, kupon putih
dan Berhala kecil ( Rokok) yang menjadi candu kehidupan desa kini. Pengangguran
yang marak di tiap desa memberikan sumbangan besar terhadap berbagai masalah
social yang terjadi. Satu kata kunci untuk semua ini, kembalikan MBOJO MANTOI
dengan sepktrum Islam yang rahmatan lil alamin.
Post a Comment