Politik Ranjang Bima-Gowa
Pakaian Adat Bima juga mendapatkan pengaruh Gowa |
Dengan mengadopsi sistim pemerintahan di Sulawesi Selatan, Manggampo Donggo dan Bilamana menata Pemerintahan. Kepala Pemerintahan dipegang secara bersama-sama oleh Raja dan Tureli Nggampo dibantu oleh Lembaga Adat yang terdiri dari 6 Jeneli dan 12 Bumi Nae yang dipimpin Bumi Luma Rasanae dan Bumi Luma Bolo. Sistim ini terus dipertahankan hingga masa kesultanan yang hanya melengkapi dengan lembaga baru yang bernama Sara Hukum. Mungkin saja sejak abad XV hingga memasuki abad XVII hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak sekedar hubungan perdagangan, politik, ekonomi dan pemerintahan, tetapi telah terjadi pernikahan(Kawin mawin) antara raja dan pembesar Bima dengan para pembesar di negeri Sulawesi dan diikuti pula oleh masyarakat. Sayangnya BO tidak mencatat peristiwa-peristiwa pernikahan yang terjadi pada masa itu. .Bo mencatat, Raja Gowa I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565 - 1690) pernah membuat kesepakatan, jka Gowa memeluk Islam, maka Bima pun memeluk Islam. Kesepakatan inilah yang kemudian ditindaklanjuti oleh 4 Mubaliq utusan I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna (Sultan Gowa pertama) tiba di Sape pada tahun 1609 untuk bertemu La Ka’I dalam pelariannya.
Setelah La Ka’i( Abdul Kahir) merebut tahta
pada tahun 1640 M, politik ranjang pun dimulai antara kesultanan Bima dengan
Gowa. Tercatat ada 8 generasi Sultan Bima yang menikah dengan puteri dan
kerabat kesultanan Gowa dan Tallo. Belum terhitung pernikahan-pernikahan yang
terjalin antara para pembesar Gowa dan Bima maupun masyarakat. Karena di
wilayah pesisir Bima banyak dijumpai suku-suku Bugis,Bone,Makassar, Tallo,
buton yang telah menjalin hubungan pernikahan dengan orang-orang Bima. Berikut
rangkuman 7 ikatan suci yang telah terjalin mesra antara Kesultanan Bima dengan
Gowa dan 1 pernikahan sultan Bima dengan putrti Raja Tallo.
1.
Abdul
Kahir I menikah dengan adik dari permaisuri Sultan Alauddin Makassar yang
bernama “ Daeng Sikontu “. Dari pernikahan itu, memperoleh empat orang putra,
masing-masing bernama Abdul Khair Sirajuddin, Ruma Parewa, Ma Mbora di Lawa dan
Ma Mbora di Kanari serta seorang putri yang bernama Mantau Asi Mbojo. Dari
pernikahan dengan istri yang lain, memperoleh seorang putra yang bernama Abdul
Rahim.
2.
Pada tanggal 22 Rajab 1056 H atau 3 September 1646, Abdul Khair Sirajuddin(Sultan Bima II) menikah dengan “Karaeng Bonto Je’ne’ puteri Sultan Taloko Malikul Said (Sultan Makassar II). Dikaruniai tiga orang putra dan putri. Yang putra masing-masing bernama Nuruddin, Membora Awa Taloko (nama gelar yang berarti “ yang mangkat di Taloko”), dan Jeneli Sape Mambora di Moyo (yang menjadi jeneli atau camat sape yang mangkat di moyo). Tiga orang putrinya masing-masing bernama Paduka Tallo (permaisuri raja tallo), Paduka Dompu (Permaisuri raja Dompu) dan Bonto Paja.
Pada tanggal 22 Rajab 1056 H atau 3 September 1646, Abdul Khair Sirajuddin(Sultan Bima II) menikah dengan “Karaeng Bonto Je’ne’ puteri Sultan Taloko Malikul Said (Sultan Makassar II). Dikaruniai tiga orang putra dan putri. Yang putra masing-masing bernama Nuruddin, Membora Awa Taloko (nama gelar yang berarti “ yang mangkat di Taloko”), dan Jeneli Sape Mambora di Moyo (yang menjadi jeneli atau camat sape yang mangkat di moyo). Tiga orang putrinya masing-masing bernama Paduka Tallo (permaisuri raja tallo), Paduka Dompu (Permaisuri raja Dompu) dan Bonto Paja.
3.
Pada
tanggal 22 Jumadil Awal 1095 H atau tanggal 7 Mei 1684,Sultan Nuruddin (Sultan
Bima III) menikah dengan “ Daeng
Tamemang” puteri Raja Tallo. Dari pernikahannya memperoleh duan orang putera,
masing-masing bernama Jamaluddin dan Sangaji Bolo (nama gelar).
4. Menurut Lontara Gowa dan Tallo serta naskah
Bo, Sultan Jamaluddin(Sultan Bima IV ) melangsungkan pernikahan dengan Siti
Fatimah Karaeng Tana-Tana putri Karaeng Bisei Puteri dari Sultan Hasanuddin
Makassar. Jadi Siti Fatimah Karaeng Tana-Tana adalah cucu dari Sultan
Hasanuddin Makassar. Dari pernikahan itu,
memperoleh tiga orang putra, yaitu Hasanuddin (Sultan Bima V), Jeneli
Sape Mambora di Gowa (nama gelar), La Kader yang meninggal di Bentaeng dan
seorang putri yang bernama Raja Partiga Ma mbora di Reo (nama gelaran raja
Partiga atau Ruma Partiga nama jabatan, Ma Mbora berarti yang mangkat).
5.
Sultan
Hasanudin ( Sultan Bima V ) menikah dengan Karaeng Bissampole, bertepatan
dengan tanggal 3 Ramadhan 1126 H ( 13 September 1714 M). Memperoleh tiga orang
putera dan seorang putri. Yang putera masing-masing bernama Alauddin (Sultan
Bima VI), yang kedua bernama Abdullah, yang gugur di medan pertempuran ketika
memimpin laskarnya untuk membantu Raja Selaparang yang sedang berperang dengan
Raja Karangasem Bali. Putera ketiga
bernama Ibrahim dan puteri bungsu diberi gelar “ Ma Mbora di Tallo” (yang wafat
di Tallo, tidak dijelaskan nama dirinya).
6. Sultan
Alauddin ( Sultan Bima VI) menikah pada tanggal 17 Sya’ban 1140 H bersamaan
dengan tanggal 5 April 1727 M dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri
Sultan Makassar Sirajuddin. Dari pernikahan itu
dikaruniai empat orang anak, terdiri dari seorang putra bernama Abdul
Kadim (Sultan Bima VII), dan tiga putri masing-masing bernama Kumala Bumi
Partiga (Kumala nama diri, Bumi Partiga nama Jabatannya), Bumi Runggu (nama
jabatannya) dan Siti Halimah.
7.
Sultanah
“Kumala Bumi Partiga” menikah dengan L Mappababbasa alias Abdul Kudus Sultan
Makassar. Dari pernikahannya itu, melahirkan seorang putera bernama “Usman”
yang nama Makassarnya dikenal dengan “Amas Madina”. Dalam usia enam tahun
tepatnya tanggal 21 Desember 1753 diangkat menjadi Sultan Makassar oleh Dewan
Bate Salapanga (Lembaga Pemerintahan Makassar ) menggantikan kedudukan ayahnya
Sultan Abdul Kudus yang wafat pada tahun 1753.
8. Sultan
Ibrahim menikah dengan Siti Fatimah puteri Lalu Yusuf Ruma Tua Sakuru. Sesudah
permaisurunya wafat,ia menikah lagi dengan adik iparnya yang bernama Siti
Aminah. Selain itu Sultan Ibrahim mempunyai permaisuri yang berasal dari
bangsawan tinggi Makassar bernama Karaeng Bonto Ramba, putri dari Karaeng
Mandale. Sultan Ibrahim pernah menikah lagi dengan gadis lain, sesudah salah
satu istrinya wafat.
Pada era Sultan
Abdul Hamid (1773-1819), politik ranjang mulai beralih kepada pulau Sumbawa.
Abdul Hamid menikah dengan Datu Sagiri, putri Sultan Harun alrasyid Sumbawa.
Sultan Ismail menikah dengan dua gadis Bima, salah satunya dengan putri
Muhammad Anwar( Ma wa’a Kali). Sultan Abdullah menikah dengan puteri Lalu Cela
Tureli Belo. Pernikahan dengan keturunan lokal itu pun terus berlanjut hingga
Sultan Muhammad Salahuddin dan Abdul Kahir II.
Politik Ranjang Bima- Gowa yang dimainkan Belanda juga menimbulkan peperangan antara Bima dengan Gowa dalam memperebutkan Manggarai yang sudah menjadi Mahar pernikahan Sultan Alauddin dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncarigi Mahbubah pada tanggal 5 April 1727. Karena sudah menjadi Mahar, otomatis Manggarai menjadi milik Gowa, namun Alauddin tidak mengakuinya. Alauddin melakukan penyerangan ke Manggarai dan terjadilah. Akhirnya Manggarai kembali masuk dalam wilayah Bima. .(Sumber Profil Raja dan Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi )
Post a Comment