f Politik Ranjang Bima-Gowa - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Politik Ranjang Bima-Gowa



Pakaian Adat Bima juga mendapatkan pengaruh Gowa
Politik Ranjang tidak hanya membawa dampak di ranjang, tetapi berdampak pula pada tatanan kehidupan kenegaraan, mempengaruhi politik,pemerintahan,  ekonomi sosial  dan budaya. Politik Ranjang mempengaruhi pola hubungan Bima-Gowa dalam melawan Belanda dan Inggris. Hal itu ditunjukan ketika Gowa membantu Bima dalam memerangi Salisi yang dibantu Belanda antara tahun 1609 -1640. Bantuan dan pengorbanan juga ditunjukkan oleh Abdul Khair Sirajuddin ketika membantu perang Gowa, Somba Opu dan perang Buton. Hal sangat menonjol sebagai dampak dari Politik Ranjang tersebut adalah dalam sistim pemerintahan, arsitektur, tata busana serta kesenian tradisional yang hingga saat ini masih terus lestari dalam dua wilayah yang serumpun, seirama dan sedarah.Abad XV menjadi momentum penting dimulainya hubungan dan afiliasi Bima dengan Sulawesi, Gowa, Manurung, Bone, Luwu  dan Tallo.. Sebelum menjadi Raja menggantikan Maha Raja Indera Seri,  raja Ma Wa’a Paju Longge menuntut ilmu di Gowa. Kemudian mengirim dua adiknya, Bilmana dan Manggampo Donggo ke kerajaan Manurung di Sulawesi Selatan untuk menuntut ilmu pengetahuan, baik bidang pemerintahan, social budaya, politik dan ekonomi.

Dengan mengadopsi sistim pemerintahan di Sulawesi Selatan, Manggampo Donggo dan Bilamana menata Pemerintahan. Kepala Pemerintahan dipegang secara bersama-sama oleh Raja dan Tureli Nggampo dibantu oleh Lembaga Adat yang terdiri dari 6 Jeneli dan 12 Bumi Nae yang dipimpin Bumi Luma Rasanae dan Bumi Luma Bolo. Sistim ini terus dipertahankan hingga masa kesultanan yang hanya melengkapi dengan lembaga baru yang bernama Sara Hukum. Mungkin saja sejak abad XV hingga memasuki abad XVII hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak sekedar hubungan perdagangan, politik, ekonomi dan pemerintahan, tetapi telah terjadi pernikahan(Kawin mawin) antara raja dan pembesar Bima dengan para pembesar di negeri Sulawesi dan diikuti pula oleh masyarakat. Sayangnya BO tidak mencatat peristiwa-peristiwa pernikahan yang terjadi pada masa itu. .Bo  mencatat, Raja Gowa I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565 - 1690) pernah membuat kesepakatan, jka Gowa memeluk Islam, maka Bima pun memeluk Islam. Kesepakatan inilah yang kemudian ditindaklanjuti oleh 4 Mubaliq utusan I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna (Sultan Gowa pertama) tiba di Sape pada tahun 1609 untuk bertemu La Ka’I dalam pelariannya.
Setelah La Ka’i( Abdul Kahir) merebut tahta pada tahun 1640 M, politik ranjang pun dimulai antara kesultanan Bima dengan Gowa. Tercatat ada 8 generasi Sultan Bima yang menikah dengan puteri dan kerabat kesultanan Gowa dan Tallo. Belum terhitung pernikahan-pernikahan yang terjalin antara para pembesar Gowa dan Bima maupun masyarakat. Karena di wilayah pesisir Bima banyak dijumpai suku-suku Bugis,Bone,Makassar, Tallo, buton yang telah menjalin hubungan pernikahan dengan orang-orang Bima. Berikut rangkuman 7 ikatan suci yang telah terjalin mesra antara Kesultanan Bima dengan Gowa dan 1 pernikahan sultan Bima dengan putrti Raja Tallo.

1.    Abdul Kahir I menikah dengan adik dari permaisuri Sultan Alauddin Makassar yang bernama “ Daeng Sikontu “. Dari pernikahan itu, memperoleh empat orang putra, masing-masing bernama Abdul Khair Sirajuddin, Ruma Parewa, Ma Mbora di Lawa dan Ma Mbora di Kanari serta seorang putri yang bernama Mantau Asi Mbojo. Dari pernikahan dengan istri yang lain, memperoleh seorang putra yang bernama Abdul Rahim.
2.   
       Pada tanggal 22 Rajab 1056 H atau 3 September 1646, Abdul Khair Sirajuddin(Sultan Bima II)  menikah dengan “Karaeng Bonto Je’ne’ puteri Sultan Taloko Malikul Said (Sultan Makassar II). Dikaruniai tiga orang putra dan putri. Yang putra masing-masing bernama Nuruddin, Membora Awa Taloko (nama gelar yang berarti “ yang mangkat di Taloko”), dan Jeneli Sape Mambora di Moyo (yang menjadi jeneli atau camat sape yang mangkat di moyo). Tiga orang putrinya masing-masing bernama Paduka Tallo (permaisuri raja tallo), Paduka Dompu (Permaisuri raja Dompu) dan Bonto Paja.
3.    Pada tanggal 22 Jumadil Awal 1095 H atau tanggal 7 Mei 1684,Sultan Nuruddin (Sultan Bima III)  menikah dengan “ Daeng Tamemang” puteri Raja Tallo. Dari pernikahannya memperoleh duan orang putera, masing-masing bernama Jamaluddin dan Sangaji Bolo (nama gelar).

4.  Menurut Lontara Gowa dan Tallo serta naskah Bo, Sultan Jamaluddin(Sultan Bima IV ) melangsungkan pernikahan dengan Siti Fatimah Karaeng Tana-Tana putri Karaeng Bisei Puteri dari Sultan Hasanuddin Makassar. Jadi Siti Fatimah Karaeng Tana-Tana adalah cucu dari Sultan Hasanuddin Makassar. Dari pernikahan itu,  memperoleh tiga orang putra, yaitu Hasanuddin (Sultan Bima V), Jeneli Sape Mambora di Gowa (nama gelar), La Kader yang meninggal di Bentaeng dan seorang putri yang bernama Raja Partiga Ma mbora di Reo (nama gelaran raja Partiga atau Ruma Partiga nama jabatan, Ma Mbora berarti yang mangkat).


5.    Sultan Hasanudin ( Sultan Bima V ) menikah dengan Karaeng Bissampole, bertepatan dengan tanggal 3 Ramadhan 1126 H ( 13 September 1714 M). Memperoleh tiga orang putera dan seorang putri. Yang putera masing-masing bernama Alauddin (Sultan Bima VI), yang kedua bernama Abdullah, yang gugur di medan pertempuran ketika memimpin laskarnya untuk membantu Raja Selaparang yang sedang berperang dengan Raja Karangasem  Bali. Putera ketiga bernama Ibrahim  dan puteri bungsu  diberi gelar “ Ma Mbora di Tallo” (yang wafat di Tallo, tidak dijelaskan nama dirinya).

6.  Sultan Alauddin ( Sultan Bima VI) menikah pada tanggal 17 Sya’ban 1140 H bersamaan dengan tanggal 5 April 1727 M dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar Sirajuddin. Dari pernikahan itu  dikaruniai empat orang anak, terdiri dari seorang putra bernama Abdul Kadim (Sultan Bima VII), dan tiga putri masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga (Kumala nama diri, Bumi Partiga nama Jabatannya), Bumi Runggu (nama jabatannya) dan Siti Halimah.

7.    Sultanah “Kumala Bumi Partiga” menikah dengan L Mappababbasa alias Abdul Kudus Sultan Makassar. Dari pernikahannya itu, melahirkan seorang putera bernama “Usman” yang nama Makassarnya dikenal dengan “Amas Madina”. Dalam usia enam tahun tepatnya tanggal 21 Desember 1753 diangkat menjadi Sultan Makassar oleh Dewan Bate Salapanga (Lembaga Pemerintahan Makassar ) menggantikan kedudukan ayahnya Sultan Abdul Kudus yang wafat pada tahun 1753.

8.  Sultan Ibrahim menikah dengan Siti Fatimah puteri Lalu Yusuf Ruma Tua Sakuru. Sesudah permaisurunya wafat,ia menikah lagi dengan adik iparnya yang bernama Siti Aminah. Selain itu Sultan Ibrahim mempunyai permaisuri yang berasal dari bangsawan tinggi Makassar bernama Karaeng Bonto Ramba, putri dari Karaeng Mandale. Sultan Ibrahim pernah menikah lagi dengan gadis lain, sesudah salah satu istrinya wafat.

Pada era Sultan Abdul Hamid (1773-1819), politik ranjang mulai beralih kepada pulau Sumbawa. Abdul Hamid menikah dengan Datu Sagiri, putri Sultan Harun alrasyid Sumbawa. Sultan Ismail menikah dengan dua gadis Bima, salah satunya dengan putri Muhammad Anwar( Ma wa’a Kali). Sultan Abdullah menikah dengan puteri Lalu Cela Tureli Belo. Pernikahan dengan keturunan lokal itu pun terus berlanjut hingga Sultan Muhammad Salahuddin dan Abdul Kahir II. 
             
Politik Ranjang  Bima- Gowa yang dimainkan Belanda juga menimbulkan peperangan antara Bima dengan Gowa dalam memperebutkan Manggarai yang sudah menjadi Mahar pernikahan Sultan Alauddin dengan Karaeng Tana Sanga Mamuncarigi Mahbubah pada tanggal 5 April 1727. Karena sudah menjadi Mahar, otomatis Manggarai menjadi milik Gowa, namun Alauddin tidak mengakuinya. Alauddin melakukan penyerangan ke Manggarai dan terjadilah. Akhirnya Manggarai kembali masuk dalam wilayah Bima. .(Sumber Profil Raja dan Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi )   


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.