f Senandung Gerimis Desember - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Senandung Gerimis Desember

Ada sebuah tradisi menanam yang unik dan  telah hidup dan berkembang di tanah Bima-Dompu sejak berabad -abad lamanya. Ya, dalam gerismis desember ini tradisi ini memberi warna menandai masa tanam di Bima dan Dompu.Bersama rinai desember, senandung Sagele dan Arugele mengalun di antara lembah, perbukitan dan sawah penduduk di Bima- Dompu. Kalau masyarakat Inge Ndai (Sambori, Kuta,Teta,Tarlawi, Kadi, Kaboro dan sekitarnya) menyebutnya dengan Arugele. Malah Arugele di wilayah ini tidak hanya identik dengan prosesi menanam, tapi juga berkaitan dengan upacara dan hajatan hidup dan kematian. Sehingga di wilayah ini dikenallah Arugele Ngguda, Arugele nika ro neku, arugele Suna Ra Ndoso, dan lain-lain. Tapi bagi masyarakat di sekitar Lelamase, Ntobo,Ndano Nae dan sebagian wilayah Bima lainnya menyebutnya dengan Sagele. Sagele dan Arugele adalah tradisi menanam mayarakat Bima yang telah turun temurun dilakukan terutama memasuki musim penghujan.



Yang membedakan Arugele di Sambori dan sekitarnya dengan Sagele adalah pada nyanyian daniringan alat musiknya. Arugele Ngguda (Arugele menanam) di Sambori dan sekitarnya hanya diiringi senandung Arugele tanpa music pengiring.Bagi masyarakat Sambori dan sekitarnya, Arugele juga menjadi tarian nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Arugele dinyanyikan bersama-sama oleh semua orang yang ada di hamparan ladang yang melakukan prosesi menanam.

Jumlah orang dalam setiap Arugele tidak terbatas. Mereka bisa mencapai ratusan orang. Ini merupakan tarian dan nyanyian masal alami tanpa scenario dan koreografi. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat kayu atau dari besi yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah. Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcing tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi bibit tadi. Alunan syair dan jatuhnya tongkat ke tanah seirama dan padu menghasilkan harmoni alam dan pemandangan yang menakjubkan. Betapa tidak, di hamparan ladang yang bersusun-susun itu ada banyak orang yang berjejer rapi sambil melantunkan senandung dan menanam.

Beberapa hari sebelum dilakukan upacara tanam biasanya pemilik lahan menghubungi sanak keluarga maupun kerabat yang terdekat maupun yang jauh untuk dilakukan “ Pina “. Pina adalah undangan untuk membantu kegiatan tanam maupun panen dengan upah yang disepakati. Upah Pina bisa berupa uang atau hasil panen. Besarnya uang pina berkisar antara Rp.30 ribu hingga Rp.50 ribu.
Sagele dan Arugele masih tetap eksis hingga saat ini terutama bagi masyarakat di lereng-lereng pegunungan di tanah Bima dan Dompu. Entah kapan tradisi ini mulai ada. Tapi yang pasit dia tetap ada bersama masyarakat pendukungnya. Arugele dengan senandung tanpa musiknya. Dan Sagele bersama music pengiringnya tetap hidup bersama dengan hamparan ladang, tegalan dan huma. Jika ini diaranser dan dijadikan tarian massal akan menjadi salah satu tarian dan senandung massal tanpa scenario dan koreo. Akan menjadi unik dan bisa menjadi salah satu destinasi wisata dalam gerimis Desember. Semoga.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.