Serpihan Yang Terlupakan
Benteng Asa Kota (Foto Media Visioner ) |
Tulisan ini saya luncurkan melengkapi link adinda Mawardin yang dirilis Natgeo tentang sejarah kejayaan Bima sebagai negara Maritim, sekaligus menjawab pertanyaan Aji Irham Dae Weo tentang Sultan Bima ke II Abdul Khair Sirajuddin. Apa hubungan antara perjanjian Bongaya yang monumental itu dengan Bima dan Abdul Khair Sirajuddin ?Bongaya pada masa lalu merupakan nama sebuah desa di Makassar. Dinamakan Bongaya karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi bunga-bunga dan kondisi alamnya yang asri. Di Bongaya lah tempat berlangsungnya sebuah perjanjian yang moumental antara Pemerintah kolonial Belanda dengan Sultan Hasanuddin yang dijuluki “ Ayam Jantan Dari Timur. Perjanjian Bongaya tercatat dalam sejarah Indonesia maupun sejarah dunia.
Namun dalam peta sejarah nasional perjanjian Bongaya hanya menampilkan kehebatan Sultan Hasanuddin, padahal salah satu sebab lahirnya perjanjian Bongaya itu adalah " Ngeyelnya " seorang putera Nusantara Agung kelahiran Bima yang cukup berperan dan menjadi target operasi penangkapan VOC. Dia adalah Sultan Abdul Khair Sirajuddin, sultan Bima kedua yang memang turut berjuang bersama Sultan Hasanuddin yang merupakan iparnya. Kiprah Abdul Khair Sirajuddin dalam perjuangannya melumpuhkan kekuatan VOC di nusantara timur ditunjukkannya dalam perang Bone, Perang Somba Opu, perang Buton dan perang Somba Opu II.
Bagang Nelayan Sekitar Benteng Asa Kota ( Foto Natgeo) |
Sultan Abdul Khair Sirajuddin adalah putera Sultan Abdul Kahir I dengan permaisurinya Daeng Sikontu, adik permaisuri Sultan Alauddin Makassar. Lahir di lingkungan istana Makassar pada bulan ramadhan 1038 H (April 1627 M). Sesuai dengan adat istiadat Makassar, sewaktu masih kecil memperoleh “ Areng Dondo-Dondo’ (nama topeng)” I Ambella” (putra kecil). Setelah agak besar memperoleh nama “ Areng Ri Kale “ (nama diri atau nama sebenarnya) Abdul Khair Sirajuddin. Didalam silsilah raja-raja Bima yang tertera dalam BO, namanya adalah “ Abil Khair Sirajuddin” dan pada bagian lain dari sumber yang sama ditulis “ Abdul Khair Sirajuddin”.Pada tanggal 22 Rajab 1056 H atau 3 September 1646 menikah dengan “Karaeng Bonto Je’ne’ puteri Sultan Taloko Malikul Said (Sultan Makassar II).
Perjanjian Bongaya yang ditanda tangani pada tahun 1667 itu terdiri dari 30 pasal. Terdapat 5 pasal berkaitan dengan Sultan Bima. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Dari cuplikan pasal 9 jelas tertera bahwa orang –orang Makassar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor dan Timor, Selayar, sebelah utara pulau Kalimantan, Mindanao(Philipina) atau di pulau-pulau sekitarnya. Siapa yang melanggar akan ditangkap dan disita barangnya. Pasal 14 secara tegas menyatakan dan mengancam Raja dan pembesar Gowa untuk tidak mencampuri urusan negeri Bima. Pasal ini juga secara tegas melarang Gowa untuk membantu Bima dan ini merupakan salah satu trik Kompeni untuk memecah belah Bima dengan Gowa.
Kemudian pada pasal 15 memerintahkan kepada Raja Gowa untuk menyerahkan Raja Bima dan menantunya Raja Dompu, Raja Sanggar, Raja Tambora beserta pengikutnya yang telah terbukti membunuh anggota VOC. Pasal 24 VOC mengatur persekutuan dagang, perjanjian perdamaian,persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di jalur perdagangan nusantara timur termasuk Bima. Pada pasal 28 VOC mengultimatum dalam sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bonto Maranu harus ditangkap hidup atau mati.
Perjanjian itu ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin berserta karaeng-karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan. Pada malam menjelang perundingan Bongaya dilaksanakan Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin, menandatangani perjanjian Bongaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan menjadi tahanan Bui Kompeni. Dia dan Karaeng Bonto Maranu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal Kompeni.
Dalam pelariannya dari Makassar Abdul Khair Sirajuddin dan Karaeng Bonto Maranu kembali memperkuat Armada Laut Bima yang bernama Pabise. Untuk mengenang kehebatan Pabise inilah di depan Asi Mbojo terdapat sebuah tiang kapal yang saat ini sudah patah bagian atasnya. Dan Nama Karaeng Bonto Maranu inilah yang menjadi cikal bakal penamaan nama kampung Bontoranu di Bima.
Bersama Wakil Panglima Perang Makassar Karaeng Popo (Makamnya ada di bukit Dana Taraha) Abdul Khair Sirajuddin membangun sebuah benteng pertahanan. Benteng ini dibangun pada sekitar tahun 1667 di sebuah pulau kecil yang diberinama Nisa Soma. Tepat dipintu masuk teluk Bima yang diberinama ASA KOTA( Asa= Mulut, Kota = Kota). Jadi Asa Kota merupakan pintu masuk menuju Bima dengan melewati Teluk Bima yang indah, tenang dan damai. Benteng Asa Kota dibangun dari tumpukkan batu-batu besar dan kecil yang disusun rapi mengelilingi Nisa Soma seluas lebih dari 2 hektar.Namun sayang, benteng bersejarah ini tidak terawat dan sudah dikapling warga kelurahan Tanjung Kota Bima yang tinggal di Jakarta. Hal itu mengemuka setelah ditemukan Sertifitkat atas nama Drh.Isra H.M. Nur, MK dan Rahmat Maulana H.Muh.Nur, MK. Sertifikat atas nama Isra bernomor 192 tahun 2001 dengan luas lahan 1 hektar, sedangkan atas nama Rahmat Maulana bernomor 193 tahun 2001 dengan luas lahan juga 1 hektar.( Baca : Areal Benteng Asa Kota Jadi Hak Milik)
Sultan Abdul Khair Sirajuddin berhasil mengantarkan kesultanan Bima ke dalam lintasan sejarah Nusantara Timur dan sejarah Indonesia. Kesultanan Bima turut mewarnai sejarah pada zamannya, karena itu ia diakui oleh kawan maupun lawan.Disamping kehebatannya dalam berperang, Abdul Khair Sirajuddin juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Banyak sekali kreasi seni budaya tradisional yang diciptakannya seperti Tari Lenggo, Kuntao dan lain-lain, termasuk upacara Adat Hanta UA PUA yang kini tetap dilaksanakan oleh Majelis Hadat Dana Mbojo.
Sejarahwan H. Abdullah Tayib, BA dalam bukunya Sejarah Bima Dana Mbojo menulis Persekutuan kerajaan Bima dengan Gowa patut tercatat dalam sejarah. Keterlibatan Abdul Khair Sirajuddin dengan Pabise adalah sumbangan berarti bagi Sultan Hasanuddin. Semua itu terbukti dan dikukuhkan oleh dokumen sejarah dan tersimpan dalam arsip sejarah lokal dan regional. Selama ini belum ada upaya untuk mengangkat kepermukaan. Secara jujur Sultan Abdul Khair Sirajuddin harus disejajarkan dengan Sultan Hasanuddin, Aru Palaka, Karaeng Bontomaranu dan Cornelis Speelman. Namun Abdul Khair Sirajuddin terlupakan oleh sejarah Negerinya sendiri. Abdul Khair Sirajuddin wafat pada tanggal 23 Juli 1682 dimakamkan di kuburan Gilipanda. (Sumber Buku Sejarah Bima Dana Mbojo Oleh H. Abdullah Tayib,Peranan Kesultanan Bima Dalam Percaturan Sejarah Nusantara oleh M. Hilir Ismail, Sejarah Gowa dan www.alanmalingi.wordpress.com )
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment