f Sejarah Gerabah Bima-Dompu - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Sejarah Gerabah Bima-Dompu

Barang-barang tembikar yang lebih dikenal dengan nama “ Gerabah” menjadi salah satu bentuk buah karya dan sekaligus tradisi nenek moyang turun-temurun yang pernah ada dan sampai sekarang masih dipertahankan sebagai suatu keahlian penduduk setempat yang telah diakui dunia. Dulu gerabah biasa digunakan untuk menyimpan beras, garam dan bumbu-bumbuan disamping digunakan untuk tujuan memasak. Pembuatan gerabah merupakan pekerjaan ibu dan anak perempuan , sebaliknya menjual dan membawa ke pasar adalah tugas ayah dan anak lelaki. Namun seiring kemajuan zaman yang begitu cepat dimana sebagain besar ayah dan anak laki-laki ambil bagian dalam pembuatan gerabah bekerja bersama-sama untuk memperoleh hasil yang maksimal dan kualitas yang bagus.


Kerajinan Gerabah sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat Bima- Dompu. Kelompok masyarakat yang dikenal sebagai pengrajin Gerabah ialah masyarakat di Kelurahan Rabangodu utara maupun selatan kota Bima. Karena komunitas masyarakat tersebut berprofesi sebagai pengrajin Gerabah yang dalam bahasa Bima disebut “ Ngodu” maka pemukiman mereka disebut dengan Rabangodu. Sejak zaman dulu orang-orang di kampung ini menggeluti usaha kerajinan gerabah secara tradisional. Mereka mereka menjual hasil kerajinan  ke sejumlah wilayah baik di Bima bahkan sampai Sumbawa.
Pada masa itu  dikenal pula dengan musim Lao Pako Tana atau pergi bertani dan menetap di wilayah seperti Tambora dan Sumbawa. Orang-orang Rabangodu biasanya pergi ke wilayah ini membawa gerabah untuk ditukar dengan padi dan palawija. Karena sering menetap dalam waktu lama, mereka pun membuat gerabah seperti periuk, padasan, pundi-pundi air, wajan dan berbagai keperluan rumah tangga. Kehadiran orang-orang Rabangodu di sejumlah wilayah seperti di Tambora, Sanggar, dan Sumbawa ternyata membawa dampak positif bagi perkembangan seni Gerabah pada masa itu. Maka bermunculanlah pusat-pusat kerajinan gerabah seperti di Wadu Wani kecamatan woha, Dompu, Sumbawa dan juga desa-desa lain di sekitar Rabangodu.
Namun saat ini kerajinan Gerabah diambang kepunahan. Aktifitas pengrajin juga lumpuh dan tidak berkembang lagi. Padahal kerajinan Gerabah atau keramik di daerah lain seperti  Lombok justru semakin maju  berkembang dan menjadi komoditi eksport yang diminati di negara seperti Australia, Jepang dan Amerika. Menurut penuturan Umiyati (50 thn) salah seorang pengrajin Gerabah asal Rabangodu selatan, sebenarnya harga jual gerabah produksinya cukup terjangkau. Dicontohkannya harga satu buah periuk saja berkisar antara Rp.5.000 sampai Rp. 10.000.- justru lebih murah daripada harga wajan dari plastik yang dijual di toko-toko. Tapi memang diakuinya penyebab sepinya pembeli gerabah adalah berlihnya minat wargas membeli kerajinan dari tanah liat ini dan cenderung membeli perkakas rumah tangga yang dari plastik yang tidak gampang pecah. Disamping itu, tidak adanya kepedulian pemerintah untuk membantu permodalan dan sarana usaha. Sehingga perlahan namun pasti kerajinan gerabah ini diambang kepunahan. Umiyati di Rabangodu Selatan dan sejumlah pengrajin gerabah di desa-desa lain di Bima Dompu berharap adanya  kepedulian Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan para pengrajin disertai kebijakan yang pro terhadap upaya pemasaran hasil-hasil kerajinan mereka.

Kerajinan Gerabah merupakan warisan leluhur yang sudah semestinya dilestarikan baik dalam rangka meningkatkan taraf hidup para pengrajin dan keluarganya maupun dalam konteks kepariwisataan. Sebenarnya sentra kerajinan seperti ini ditata dan diberdayakan sehingga akan menjadi salah satu obyek kunjungan dari wisatawan domestik maupun Manca Negara.   

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.