Sejarah Gerabah Bima-Dompu
Barang-barang
tembikar yang lebih dikenal dengan nama “ Gerabah” menjadi salah satu bentuk
buah karya dan sekaligus tradisi nenek moyang turun-temurun yang pernah ada dan
sampai sekarang masih dipertahankan sebagai suatu keahlian penduduk setempat
yang telah diakui dunia. Dulu gerabah biasa digunakan untuk menyimpan beras,
garam dan bumbu-bumbuan disamping digunakan untuk tujuan memasak. Pembuatan
gerabah merupakan pekerjaan ibu dan anak perempuan , sebaliknya menjual dan
membawa ke pasar adalah tugas ayah dan anak lelaki. Namun seiring kemajuan
zaman yang begitu cepat dimana sebagain besar ayah dan anak laki-laki ambil
bagian dalam pembuatan gerabah bekerja bersama-sama untuk memperoleh hasil yang
maksimal dan kualitas yang bagus.
Kerajinan Gerabah sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat Bima- Dompu. Kelompok masyarakat yang dikenal sebagai pengrajin Gerabah ialah masyarakat di Kelurahan Rabangodu utara maupun selatan
Pada masa itu dikenal
pula dengan musim Lao Pako Tana atau pergi bertani dan menetap di wilayah
seperti Tambora dan Sumbawa . Orang-orang
Rabangodu biasanya pergi ke wilayah ini membawa gerabah untuk ditukar dengan
padi dan palawija. Karena sering menetap dalam waktu lama, mereka pun membuat
gerabah seperti periuk, padasan, pundi-pundi air, wajan dan berbagai keperluan
rumah tangga. Kehadiran orang-orang Rabangodu di sejumlah wilayah seperti di
Tambora, Sanggar, dan Sumbawa ternyata membawa
dampak positif bagi perkembangan seni Gerabah pada masa itu. Maka
bermunculanlah pusat-pusat kerajinan gerabah seperti di Wadu Wani kecamatan
woha, Dompu, Sumbawa dan juga desa-desa lain
di sekitar Rabangodu.
Namun saat ini kerajinan Gerabah diambang kepunahan.
Aktifitas pengrajin juga lumpuh dan tidak berkembang lagi. Padahal kerajinan
Gerabah atau keramik di daerah lain seperti
Lombok justru semakin maju
berkembang dan menjadi komoditi eksport yang diminati di negara seperti Australia ,
Jepang dan Amerika. Menurut penuturan Umiyati (50 thn) salah seorang pengrajin
Gerabah asal Rabangodu selatan, sebenarnya harga jual gerabah produksinya cukup
terjangkau. Dicontohkannya harga satu buah periuk saja berkisar antara Rp.5.000
sampai Rp. 10.000.- justru lebih murah daripada harga wajan dari plastik yang
dijual di toko-toko. Tapi memang diakuinya penyebab sepinya pembeli gerabah
adalah berlihnya minat wargas membeli kerajinan dari tanah liat ini dan
cenderung membeli perkakas rumah tangga yang dari plastik yang tidak gampang
pecah. Disamping itu, tidak adanya kepedulian pemerintah untuk membantu
permodalan dan sarana usaha. Sehingga perlahan namun pasti kerajinan gerabah
ini diambang kepunahan. Umiyati di Rabangodu Selatan dan sejumlah pengrajin
gerabah di desa-desa lain di Bima Dompu berharap adanya kepedulian Pemerintah Daerah untuk
pemberdayaan para pengrajin disertai kebijakan yang pro terhadap upaya
pemasaran hasil-hasil kerajinan mereka.
Kerajinan Gerabah merupakan warisan leluhur yang sudah
semestinya dilestarikan baik dalam rangka meningkatkan taraf hidup para
pengrajin dan keluarganya maupun dalam konteks kepariwisataan. Sebenarnya
sentra kerajinan seperti ini ditata dan diberdayakan sehingga akan menjadi
salah satu obyek kunjungan dari wisatawan domestik maupun Manca Negara.
Post a Comment