f Karya Sang Diplomat - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Karya Sang Diplomat

Lambang Kesultanan Bima 
Di paruh abad ke 18 hingga memasuki abad ke-19, tanah Bima telah memiliki pemimpin yang juga seorang diplomat ulung. Dialah Sultan Abdul Hamid Putra dari Sultan Abdul Kadim. Lahir di Bima pada tahun 1176 H bertepatan dengan tahun 1762 M. Abdul Hamid memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Daeng Pabeta (La Mangga) dan Daeng Pataya.  Setelah dewasa dijodohkan dengan Datu Sagiri Putri Sultan Sumbawa. Dari pernikahannya itu dikaruniai seorang putra bernama Ismail dan seorang putri bernama Siti Jamila Bumi Kaka.Setelah Datu Sagiri wafat, Abdul Hamid menikah lagi dengan Siti Rafiatuddin, puteri sultan Harunalrasyid Sumbawa. 

Abdul Hamid sadar, bahwa rakyat serta negeri yang dicintainya sedang dilanda berbagai tantangan, akibat politik de vide et empera Belanda pada masa pemerintahan ayahnya. Untuk mengatasi semua persoalan tersebut, Abdul Hamid harus berjuang keras. Hubungan dengan Makassar dipulihkan, pertahanan keamanan ditingkatkan, perdagangan dibenahi seperti pada masa sebelumnya.

Pada tahun 1808 Pemerintah Kolonial Belanda mengangkat Jenderal Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Nusantara. Seorang Jenderal mantan panglima perang Belanda ketika membantu Perancis melawan Inggris di Eropa. Namun pada tahun 1811-1816 M, Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Inggris, sebagai Negara imperialism semi modern, Inggris bertindak lebih moderat dan demokratis kepada Raja dan Sultan.Mereka diberikan kebebasan melakukan perdagangan bebas dan ikut memperhatikan kepentingan daerah jajahannya. Berbeda dengan gaya Belanda sebagai Negara imperialisme semi orthodok yang bertindak semena-mena kepada masyarakat jajahannya.

Mahkota Kerajaan Bima 
Kehadiran Inggris dimanfaatkan oleh Sultan Abdul Hamid untuk membenahi keadaan negerinya. Bima kembali menjadi pusat perdagangan bebas di wilayah Nusantara bagian Timur. Sultan Abdul Hamid selalu mengadakan hubungan dengan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Singapura dengan perantaraan para pedagang. Mereka saling menukar informasi tentang perkembangan perdagangan bebas. Walau pada tahun 1816 kekuasaan Inggris sudah berakhir,hubungan dagang dengan Bima terus terjalin sampai masa pemerintahan Sultan Abdullah. Hal ini menghambat kelancaran monopoli dagang Belanda.

Keuntungan dalam perdagangan selain dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat juga digunakan untuk membangun masjid yang permanen. Benda-benda pusaka dari emas dan perak, perhiasan intan berlian peninggalan Kesultanan Bima dibuat pada masa Sultan Abdul Hamid. Di samping melakukan pembangunan fisik, perhatian di bidang sejarah, budaya dan sastra cukup besar. Pada masa kepemimpinannya dibuat Mahkota kerajaan,lambang kesultanan garuda berkepala dua sebagai symbol pemerintahan yang berdasarkan agama dan adat yang Islami ditetapkan sebagai lambang resmi Kesultanan dan bendera kerajaan. Naskah-Naskah Bo yang berhubungan dengan hukum adat  ditulis ulang dan ditetapkan sebagai hukum yang harus dipegang teguh oleh pemerintah bersama rakyat. Huruf atau aksara Mbojo lama yang banyak persamaan dengan aksara Makassar dan Bugis berhasil ditemukan dan dilestarikan oleh Reffles melalui bukunya “History of Java”.

Thomas Stamford Rafles 
Di luar perhitungan manusia, kemakmuran dan kejayaan negeri tiba-tiba hilang akibat terjadi bencana alam yang dahsyat. Pada 11 April 1815 Gunung Tambora meletus.Laharnya memusnahkan Kerajaan Pekat dan Tambora. Kerajaan-kerajaan lain seperti Sanggar, Dompu, Bima dan Sumbawa ikut merasakan penderitaan yang luar biasa. Hampir setengah dari penduduk Bima mati, lahan pertanian rusak, hewan ternak banyak yang mati. Wabah penyakit menular ke seluruh desa dan dusun. Keamanan negeri terganggu akibat ulah para bajak laut.Menghadapi keadaan pahit itu, Sultan Abdul Hamid  terus meningkatkan kerja sama dengan pedagang Inggris,Portugis,Arab,Cina dan para pedagang Nusantara dari Malaka, Aceh, Banten, Makassar dan ternate. Berkat perjuangan pantang menyerah, semua cobaan secara bertahap tetapi pasti mulai teratasi.

Sultan Abdul Hamid diberi gelar Mantau Asi Saninu karena tinggal di Istana yang berhiaskan cermin. Abdul Hamid sangat lihai berdiplomasi dan berkorespondensi pada zamanya. Kumpulan surat-suratnya ada di negeri Belanda dan sudah diterbitkan dalam dua  buku masing – masing berjudul “ Iman Dan Diplomasi dan Alamat sultan “ (Henri Chambert – Loir, Massir Q Abdullah, Suryadi, Oman Faturahman dan Hj.Siti Maryam Salahuddin) .”. Salah satu surat penting Abdul Hamid adalah lukisan kejadian tentang Letusan Tambora kepada Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stampford Raffles di Surabaya pada tahun 1815.Keberadaan Sultan Abdul Hamid di tengah-tengah rakyat masih diperlukan, tetapi rupanya takdir menginginkan lain. Di saat  menyambut gembira kedatangan 1 ramadhan tahun 1234 H (Juni 1819), Sultan Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di kompleks pemakaman kesultanan Bima di sebelah barat masjid Kesultanan Bima.

Penulis : Alan Malingi

Sumber :

 Iman Dan Diplomasi dan Alamat sultan (Henri Chambert – Loir, Massir Q Abdullah, Suryadi, Oman Faturahman dan Hj.Siti Maryam Salahuddin)
Sejarah Bima Dana Mbojo, Abdullah Tayib, BA
Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail
Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo, N. Hilir Ismail
Profil Raja Dan Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi

Chambert Loir Henry, Syair Kerajaan Bima, Lembaga Pendidikan Prancis Untuk Timur Jauh (EFEO), Jakarta 1982.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.