Langgar Tertua Di Bima
Bangunan ini adalah sebuah
Langgar(Mushalla) yang diperkirakan dibangun pada tahun 1608 M(sesuai tulisan
pada papan nama yang dibuat Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kota
Bima). Berarti usia bangunan ini sudah mencapai 404 tahun pada tahun 2012
ini. Langgar Kuno, demikianlah warga RT 14 RW 06 Kelurahan Melayu Kecamatan Aso
Kota Kota Bima menyebut bangunan yang bertiang 16 dengan ukuran 8 x 8 meter
ini. Berdiri rapuh menanti roboh di pinggir teluk Bima yang indah, tenang dan
damai.
Belum diketahui siapa yang
mendirikan Langgar ini, tetapi dari keterangan Bapak Hasan Ali (65 Thn) penjaga
Langgar ini dapat diperkirakan bahwa pendirinya adalah para mubaliq dari
Minangkabau. Pernah ada sebuah prasasti di Mimbar Langgar itu yang
berukuran 1,20 cm x 1,60 cm yang bertuliskan huruf Arab Melayu dan bergambar
Kerbau di atasnya (Lambang Minangkabau). “Saya sempat melihat dan membaca
prasasti itu pada tahun 1960.Namun karena perseteruan tentang Bid’ah di kalangan
pemuka saat itu, akhirnya prasasti itu pun dicabut. “ Kenang Hasan Ali dan
mencoba mengingat isi prasasti itu. Bukti lain yang memperkuat kedatangan
orang-orang Minangkabau adalah dari tanduk kerbau yang berjumlah 4 buah di atap
Langgar ini yang masih ada sampai tahun 1960, namun karena terjangan angin dan
cuaca tanduk kerbau itu rusak dan jatuh.
Sementara di atas tangga
yang menjadi pintu masuk Langgar ini dulu pernah ada sebuah pahatan dengan
tinta emas yang bertuliskan huruf Alqur’an yang berbunyi “ Watujahidu na fi
sabilillahi bi amwalikum wa amfusikum “( Berperanglah pada jalan Allah dengan
harta dan jiwamu). “Hingga tahun 1960, tulisan itu masih ada, namun ketika saya
memulai kegiatan mengajar mengaji pada tahun 1980, saya tidak lagi melihat tulisan
itu. “ Kenang Hasan yang sudah 32 tahun secara sukarela menjaga dan mengisi
kesunyian Langgar itu dengan membuka TPQ Langgar Kuno.
Langgar ini dibangun
layaknya sebuah rumah panggung, tiangnya berjumlah 16 dengan ukuran 8 x 8
meter. Yang membuatnya sedikit berbeda adalah adanya mihrab dibagian baratnya
yang agak menjorok. Konstruksi Bangunan ini dalam bahasa Bima disebut Uma Pa’a.
Karena sambungan tiangnya dipahat dan dilobangi kemudian disambung antara satu
tiang dengan tiang lainnya dan tidak menggunakan paku. Tinggi bangunan ini
sekitar 3,5 meter dengan jarak antara tanah dengan papan lantainya sekitar 1,5
meter. Jendelanya berjumlah 8 yang diperkirakan melambangkan 8 orang mubaliq
yang mendirikan dan menempati bangunan ini. Sedangkan anak tangganya berjumlah
7 buah yang melambangkan 7 lapis langit dan 7 lapis bumi. Seluruh tiang
bangunan ini terbuat dari kayu jati alam yang kuat dan tahan lama. Sedangkan
papan dan dindingnya terbuat dari kayu kalango yang ringan tapi kuat dan tahan
lama. Secara umum kayu dan papan Langgar ini masih kuat meskipun telah berusia
lebih dari 4 abad.
Dikafling Dan Dicaplok warga
Pada tahun 1960, bangunan
yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini mengalami perubahan. Hampir 60
porsen bangunan ini dirubah. Atapnya diganti seng, beberapa papan yang dari
kayu Kalango asal Tambora diganti karena dimakan rayap. “ Untuk mengantisipasi
keroposnya tiang Langgar akibat banjir rob yang sering terjadi di sekitar
kampung Melayu ini, saya dan beberapa warga membuat 16 pondasi tambahan dari
batu dan semen, kemudian meletakan tiang bangunan ini di atas pondasi tersebut.
“ Tutur Hasan sambil menunjuk pondasi yang dibangunnya 52 tahun silam itu. Pada tahun 1980, warga
sekitar mulai mencaplok dan mengkafling areal Langgar ini. Sebelum tahun 1980
luas halamannya sekitar 3 sampai 5 are, namun hingga saat ini luas halaman
Langgar ini hanya 20 x 8 meter( hasil pengukuran Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bima tahun 2012). Atas inisiatif beberapa warga dan
mengantisipasi pencaplokan warga sekitar, areal Langgar ini pun dipagar
keliling atas bantuan beberapa Calon anggota Legislatif Bima pada pemilu tahun
1999.
Sejak dipagar keliling,
Bangunan ini pun mulai aman dari pencaplokan maupun keluar masuknya hewan
ternak. Sejak saat ini, kegiatan TPQ diaktifkan kembali, meskipun dengan sarana
dan prasarana yang terbatas. Pada tahun 2005, Hasan Ali dan beberapa warga
mengajukan permohonan bantuan listrik kepada Bupati Bima H. Ferry Zulkarnain,
ST dan langsung direspon dengan pemasangan listrik dari PT.PLN Persero Cabang
Bima. Hingga saat ini, kegiatan TPQ terus berlanjut dan jumlah santrinya telah
mencapai 60 orang.
Aroma Ghaib Masih Terasa
Sebagai bangunan tua yang
telah berusia lebih dari empat abad, mengunjungibangunan ini seakan membawa
kita ke alam dan peradaban saat-saat pertama Islam menapakkan kaki kejayaannya
di Dana Mbojo. Hasan Ali yang setiap hari ada di lokasi itu pernah melihat
beberapa orang yang memakai mukenah dan melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an, “
Pernah juga saya melihat beberapa orang yang berpakaian jubah sedang berzikir
dan ada juga yang menangis. “ tutur Hasan sambil mengenang kejadian itu yang
dibenaknya terjadi pada sekitar tahun 1985 selepas waktu shalat Isya. Pernah
juga didatangi oleh seorang pria tinggi putih,tampan dan berpakaian kerajaan
yang mengaku bernama Abdul Azis Mantau Doro Londa dan menitipkan pesan “ Tonda
Sumpa Do Labo Da “. Kalimat itu dimaknai sendiri oleh Hasan dengan Toho ra Ndai
Sura Mpa Dou Labo Dana ( Biarlah untuk kita, yang penting adalah untuk rakyat dan
negeri).
Mungkinkah Menjadi Masjid
Pertama di Bima ?
Meskipun saya masih sanksi
terkait tahun pendirian Langgar ini pada tahun 1608 M, tetapi saya mencoba
memaparkan sedikit kronologis sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Tanah
Bima. Karena sampai saat ini belum ada bukti tertulis berkaitan dengan tahun
dan kedatangan orang Minangkabau di Bima pada tahun itu. Dalam beberapa
literatur sejarah seperti panambo Lombok, lontara Gowa, BO Istana Bima, maupun
catatan pengelana Portugis Tom Pires, tahapan masuknya Islam di Bima melalui
tiga tahap yaitu tahap pertama dari Demak,tahap kedua Ternate dan Tidore dan
yang ketiga dari Makassar. Kedatangan para Mubaliq dari Demak pada tahun 1540 M
merupakan tonggak awal masuknya Islam di tanah Bima. Namun pada saat itu, Islam
masih asing dan belum berkembang secara luas. Konsentrasi dakwah masih terbatas
di wilayah-wilayah pesisir. Disamping itu, belum ada juga bangunan sebagai
monument dan bukti sejarah yang dibangun pada era Demak ini.
Setelah Demak runtuh, proses
Islamisasi dilanjutkan oleh Ternate dan Tidore, Sultan Baabullah mengambilalih
ekspansi wilayah dan dakwah islamiyah ke wilayah Indonesia timur termasuk Bima.
Dan tahap ketiga dilakukan oleh Makassar pada awal abad 16 M. Hal itu berarti
proses masuknya Islam di tanah Bima berlangsung satu abad (1540-1640 M). Nah,
sekarang kita kaitkan dengan berdirinya 2 Masjid yang sementara ini diklaim
sebagai masjid tertua di tanah Bima yaitu masjid Guru Gowa di Sape (
Bangunannya sudah tidak ada dan sudah menjadi kuburan rakyat di desa Naru
kecamatan Sape) dan Masjid di Kamina Kalodu.
Para sejarahwan Bima sepakat
bahwa masjid pertama di Bima adalah Masjid Kamina atau Masjid Kalodu di desa
Kalodu kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Meskipun sebelumnya diakui pula telah
dibangun Masjid Guru Gowa di desa Naru Sape pada sekitar tahun 1618 M.Namun
karena bukti fisik masjid itu sudah tidak ada, maka para sejarahwan sepakat
bahwa Masjid Kamina adalah Masjid pertama di Bima. Kapan Masjid Kamina dibangun
? Merujuk pada kedatangan utusan Sultan Alauddin yang tiba di Sape
pada tahun 1618 M dan pengucapan dua kalimat Syahadat yang dilakukan empat
serangkai ( La Ka’I, Manuru Bata, Bumi jara Sape, dan La Mbila ) di Sape pada
tahun 1621 M, maka diperkirakan pembangunan masjid Kamina dilakukan setelah
tahun 1621 M.
Sedangkan menurut Hasan Ali
dan angka tahun yang tertera papan nama Langgar Kuno Melayu ini, Langgar
ini dibangun pada tahun 1608 M yang berarti 13 tahun sebelum pembangunan Masjid
di Kamina oleh La Ka’I (Sultan Abdul Kahir) dan pengikutnya. Mungkinkan
pembangunan Langgar di dekat pusat kerajaan ini dapat dilakukan,
sementara Salisi yang berkuasa saat itu sangat anti Islam ? Atau memang
Raja Salisi tidak menghiraukan aktifitas para mubalig ini karena menurutnya bukanlah
merupakan musuh, karena musuh utamanya adalah keponakannya Putera Mahkota La
Ka’i yang didukung para pembesar Istana dan sebagian besar rakyat Bima. Dan
jika benar Langgar ini dibangun pada tahun 1608 M, maka Langgar inilah
merupakan masjid/tempat ibadah ummat Islam yang pertama di Bima. Tapi hal itu
tentunya memerlukan penelitian sejarah lebih lanjut, terutama bukti-bukti
tertulis tentang kedatangan para mubaliq dari Minangkabau ini.
Asa Di Ujung Senja
Kembali ke Hasan Ali yang
lebih dari separuh hidupnya dimanfaatkan untuk menjaga dan merawat situs cagar
budaya ini, di usianya yang sudah senja ini, pria asli kampung Melayu ini
mengggantungkan harapan kepada semua pihak terutama Pemerintah Daerah untuk
serius menata, menjaga dan merawat asset tak ternilai ini untuk kepentingan
sejarah dan peradaban ummat manusia. “ Saya berharap kepada Pemerintah,
khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bima agar jangan hanya datang
tinjau dan ukur-ukur terus, tapi segera membenahi Langgar yang sudah berdiri
rapuh ini. “ Harapnya.
Disamping itu, Hasan
berharap bantuan semua pihak untuk peduli terhadap kegiatan keagamaan dan
pengajian Alqur’an di TPQ yang dibentuknya sejak 32 tahun silam. Karena sarana
dan prasarana di Langgar ini sangat terbatas. “ Alqur’an dan buku Iqra masih
minim sekali, anak-anak terpaksa belajar bergiliran. “ Ungkap Hasan.
Yah, Langgar ini adalah
saksi bisu perjalanan sejarah Bima terutama pasang surut Islam di Bumi Maja
Labo Dahu ini. Dia tengah berdiri penuh harap kepada peradaban dan anak negeri
yang masih sempat menatapnya. Dia kini Rapuh Di Tiang Peradaban. Mari
selamatkan warisan tak ternilai ini untuk generasi kini dan akan datang…..!
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment