Tragedi Doro Cumpu
Makam Rato Waro Bewi Di Doro Cumpu |
Putera Mahkota La Ka’i adalah penghalang bagi Salisi
untuk melanggengkan kekuasaan. Pengikut La Ka’i dipimpin oleh Bumi Renda Rato
Waro Bewi dan rakyat yang setia kepada pewaris tahta sah kerajaan Bima. Salisi
mengejar La Ka’i dan pengikutnya. Putera Mahkota itu mengungsi ke Teke hingga ke Kalodu. Kemelut
politik di kerajaan Bima diketahui oleh Sultan Gowa Karaeng Matowaja dan
dikirmlah ekspedisi militer I pada tahun 1613 M. Ekspedisi ini dipimpin oleh
Karaeng Baro Anging ( Maro Anging). Ekspedisi ini dapat dikalahkan pasukan
Salisi dengan mudah. Pasukan Gowa mundur dari Bima.
Masjid Kalodu |
Tidak berselang lama, ekspedisi kedua dikirim lagi ke
Bima hingga tahun 1623 M dipimpin oleh
Karaeng Karu Suli. Selama ekspedisi itu, para mubaliq berhasil mempengaruhi La
Ka’i dan pengikutnya untuk memeluk agama Islam. Maka pada tanggal 15 Rabiul
Awal 1030 H yang bertepatan dengan 7 Februari 1621 M, La Ka’i bersama
pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat di Raba Parapi Sape dan dikukuhkan
dengan sumpah yang dikenal dengan “ Sumpa Parapi”. Mereka mengiris jari
masing-masing dan meminum darahnya sebagai tanda setia kepada islam dan
perjuangan suci mengislamkan tanah Bima.
Berbekal semangat Sumpa Parapi, Abdul Kahir bersama rakyat
yang telah memeluk islam dan lasykar Gowa bertempur menghadapi pasukan Salisi
yang cukup tangguh. Menurut M.Hilir Ismail, kekalahan lasykar Gowa bukan saja
karena ketangguhan lasykar Salisi, tetapi karena kondisi dan topografi wilayah
Bima yang berbukit-bukit menyulitkan pergerakan lasykar Gowa.Sementara pasukan
Salisi telah menguasai segala medan dan kondisi alam Bima.
Korban berjatuhan
baik dari lasykar Gowa maupun Bima. Lasykar Gowa memutuskan untuk kembali ke
Makassar. Pasukan La Ka’i dan Lasykar Gowa telah terkepung dari berbagai arah
oleh pasukan Salisi di bawah pimpinan Bumi Luma Rasanae dan pasukan Belanda. La
Ka’i bersama tiga saudaranya yaitu Manuru Bata( Sirajuddin) La Mbila( Jalaluddin)
dan Bumi Jara( Awaluddin) memutuskan mundur dari peperangan untuk menyusun kekuatan
di Gowa. Rute mundur itu adalah dari Sape, Nanga Kanda, dan Sangiang. Di pulau
Sangiang sudah disiapkan perahu-perahu yang
akan membawa mereka ke Gowa. Untuk menahan laju pasukan Salisi, maka
ditugaskanlah panglima perang Rato Waro Bewi. Dalam hal ini BO menulis sebagai
berikut.
“ Adapun Rato Waro
Bewi memerangi orang yang mengejar, wafatlah ia, tetapi orang yang mengejar
tiada mendapati Raja berempat. “
Tugas Rato Waro Bewi harus dibayar mahal. Ketika La Ka’i
dan lasykar Gowa memasuki pelabuhan Nanga Kanda Wera, pasukan Salisi dengan
kekuatan penuh terus melakukan
pengejaran. Untuk menahan laju serangan itu, Rato Waro Bewi bersama rakyat Wera
menghadang pasukan Salisi. Pertempuran terjadi selama beberapa hari lamanya. Di
Doro Cumpu, pasukan Rato Waro Bewi terus mengalami tekanan. Korban berjatuhan.
Pasukan Rato Waro Bewi mulai melemah. Sang Panglima perang memerintahkan
orang-orang Wera membawa putera Mahkota ke Sangiang daratan. Dengan gagah
berani ia menghadang pasukan Salisi dengan sisa pasukannya. Sepanjang malam,
peperangan itu terus berkobar. Hingga bala ai( hari memasuki pagi) Sang
Panglima pun tewas.
Lasykar Salisi kecewa karena pertempuran itu tidak
menewaskan Putera Mahkota La Ka’i. Rakyat Wera membantu menyediakan perahu di
Sangiang daratan menuju Pulau Sangiang. Atas jasa orang-orang Wera, Putera
Mahkota La Ka’i langsung mengeluarkan pernyataan bahwa orang Wera adalah “
Saudara”. Pernyataan itu dikenal dalam sejarah Bima dengan istilah “ Perjanjian
Dengan Orang Wera.”
Sangiang Darat dan Pulau Sangiang |
Setelah beberapa hari berada di pulau Sangiang, rombongan
La Ka’i dijemput perahu menuju Gowa. Setibanya di Gowa La Ka’i dijemput oleh Raja
Tallo dan Bicara Gowa, kemudian menghadap Sultan Gowa. La Ka’i dan tiga
saudaranya dibina di lingkungan istana kerajaan Gowa. Mereka mempelajari ilmu
pemerintahan dan ilmu agama di bawah bimbingan ulama besar Datu Ri Bandang dan
Datu Ri Tiro. La Mbila (Jalaluddin) secara khusus mempelajari ilmu perang
kepada Karaeng Bontonompo, panglima perang kerajaan Gowa sebagai pengganti Rato
Waro Bewi.
Makam Sultan Abdul Khair Sirajuddin di Kompleks Makam Tolobali Bima |
Di dalam lingkungan Istana Gowa, Abdul Kahir jatuh cinta
kepada Daeng Sikontu. Adik dari permaisuri Sultan Alauddin. Pada bulan ramadhan
tahun 1038 H atau bertepatan dengan bulan April 1627 M lahirlah putera
pertamanya I Ambela (putera kecil)
dengan nama topeng Areng dondo-dondo dengan nama asli Abdul Khair
Srijajuddin yang kelak menjadi Sultan Bima ke-2.
Tahun 1630 M, rencana ekspedisi ke III gagal. Kerajaan
Gowa berduka.Sultan Karaeng Matowaja(Sultan Alauddin) meninggal dunia dan diberi
gelar anumerta Tumenanga ri Agamanna. Tahta kerajaan Gowa dilanjutkan oleh
puteranya Karaeng Kalakiung dengan gelar Sultan Muhammad Said yang juga disebut
Sultan Malikussaid. Dengan semangat membara, Sultan Malikussaid menyusun kekuatan
gabungan Gowa, Tallo dan Bone dan Bima. Kekuatan gabungan ini dipimpin oleh Karaeng
Karrisuli dibantu Datu Patiro Bone dan Lasykar Bima dipimpin oleh Jalaluddin. Sebanyak 20 perahu besar dan 10 perahu
perbekalan dan senjata tiba dengan selamat di Bima pada bulan Mei 1640 M.
Peperangan berkecamuk selama tiga bulan. Korban pun
berjatuhan.Ekspedisi ke-III berhasil. Lasykar gabungan yang dipimpin Datu
Patiro Bone berhasil mengalahkan pasukan Salisi. Jalaluddin dan pasukannya
merebut dan menguasai Istana Bima. Salisi terus dipukul mundur dan keluar dari
Istana. Manuru Bata( Sirajuddin) dan pasukannya terus mengejar Salisi dan
membiarkan terlantar bersama sisa pasukan di Mata sebelah selatan Dompu.
Makam Sultan Abdul Kahir I Di Dana Taraha |
Kemenangan itu disampaikan kepada Sultan Gowa Malikussaid
dan Jena Teke Abdul Kahir di Makassar. Maka Abdul Kahir I berlayar ke Bima
bersama Bumi Jara La Mbila dengan dua orang gurunya Datu Ri Bandang dan Datu Ri
Tiro. Pada tanggal 15 Rabiul Awal bertepatan dengan 5 Juli 1640 M, Abdul Kahir
I dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu. La
Mbila Jalaluddin memayungkan payung kerajaan dan menyelipkan keris Samparaja
kepada Abdul Kahir. Maka berakhirlah kemelut politik kerajaan Bima yang telah
berlangsung lebih dari 20 tahun itu. Bima menjadi Negara Islam yang terus
memainkan peranan penting di belahan nusantara dan dunia selama lebih dari tiga
abad.
Penulis : Alan Malingi
Sumber :
1.
- Sejarah Bima Dana Mbojo, H. Abdullah Tayib, BA
2. - Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara,
M.Hilir Ismail.
3. - Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo (1540 – 1950) M. Hilir
Ismail.
Post a Comment