Mengenang Manuru Sigi
Foto Fitua.blogspot.com |
Pada
masa pemerintahanya, Sultan Ismail melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah
dirintis oleh ayahnya Sultan Abdul Hamid. Usahanya sangat gencar melebarkan syap-sayap
dakwah ke daerah Manggarai dan Dompu. Pada masa pemerintahannya banyak keluarga
istana Bima yang menjadi pejabat di kerajaan Dompu, di antaranya menjadi kepala
hadat atau Ruma Bicara(Perdana Menteri yaitu bangsawan yang bernama Daeng
Talara dan Tuan Guru H.Abdul Gani yang kala itu baru pulang dari Makkah.
Masjid Sultan Muhammad Salahudddin Bima |
Pada masa pemerintahannya
pembangunan Langgar dan Masjid sangat gencar dilakukan di seluruh pelosok kampung-kampung
di wilayah kesultanan Bima. Di setiap kampung dan desa didirikan masjid yang
tidak hanya untuk shalat lima waktu, tetapi juga untuk shalat Jum’at,Idul Fitri
dan Idul Adha serta kegiatan keummatan lainnya. Di tingkat
kejenelian(kecamatan) di tetapkan masjid Jami untuk pusat kegiatan kejenelian
dan di kesultanan ditetapkan SIGI NA’E( Masjid Besar) atau masjid agung untuk
berbagai kegiatan di tingkat kesultanan. Oleh karena itulah, setelah wafat
diberikan gelar Manuru Sigi karena rakyat memandang bahwa selama hidupnya
Sultan Ismail mencurahkan perhatian yang besar terhadap pembangunan langgar dan
masjid.
Makam Sultan Ismail di sebelah barat masjid Sultan Muhammad Salahuddin |
Karena begitu besar perhatiannya
terhadap sarana ibadah, sultan ismail lupa terhadap daerah-daerah taklukan di
bagian timur seperti manggarai dan flores. Dan sejak awal abad XIX kekuasaan
Bima di flores barat menjadi surut., Melihat hal tersebut di atas, Belanda yang
sudah menguasai wilayah tersebut menghasut orang-orang Manggarai di Flores
Barat untuk mengusir orang-orang Bima yang sejak abad XV sudah menanamkan
pengaruhnya di wilayah tersebut.Bahkan pada masa sultan Ismail, Belanda mulai
memaksakan untuk menandatangani perjanjian. Namun dengan kemampuan yang ada,
penguasa-penguasa Bima masih mampu untuk menolaknya.
Masa pemerintahan Sultan Ismail
penuh dengan konfrontasi baik dengan Belanda maupun penyerangan Bajak Laut
Pabelo. Empat tahun setelah letusan gunung Tambora tepatnya pada tahun 1819
terjadi penyerangan bajak laut Tabelo (orang Bima menyebutnya Pabelo) di
sepanjang pantai utara pulau Sumbawa. Mereka menjarah harta benda,membakar
kampung dan kota,membunuh dan menawan penduduk untuk dijadikan budak belian.
Selesai menjarah kerajaan Sanggar Pabelo menjarah ke arah timur dan singgah di
Wera. Rumah Penduduk di bumi hanguskan. Dengan kejadian tersebut, Sultan Ismail
bersama Sara Dana Mbojo( Dewan Hadat) mempersiapkan lasykar untuk menangkal
kegiatan mereka. Lasykar yang dibentuk pada masa Sultan Ismail ini diberinama
SUBA NGAJI yang bertugas sebagai pasukan penghalau musuh dan aparat keamanan yang
menjaga keselamatan sultan dan Sara Dana Mbojo.
Tambak-tambak yang dibuat sejak masa Sultan Ismail |
Pabelo terus melancarkan serangan ke
pelabuhan Sape. Mereka bagaikan anjing merebut tulang dan menjarah harta benda.
Di kota Sape mereka bertemu dengan lasykar Sultan Ismail dibawah pimpinan
Jeneli Parado dan Waworada. Parompak Pabelo berhasil dilumpuhkan dan dihalau
kembali ke laut setelah meninggalkan mayat pimpinannya. Setelah mengusir
Pabelo, Sultan Ismail kembali menfokuskan perhatian di bidang pertanian dan
perikanan. Pada masa pemerintahannya banyak sawah-sawah baru dicetak dan tambak
ikan bandeng dibuat di sekitar teluk Bima dan pelabuhan Bima. Tambak-tambak itu
hingga sekarang masih tetap ada dan berada dikawasan SARATA. di sebelah selatan
pelabuhan Bima. Sultan Ismail wafat pada tahun 1854 dan dimakamkan di
sebelah barat masjid kesultanan Bima.
Penulis : Alan Malingi
Sumber
: Profil Raja Dan Sultan Bima, M.Hilir Ismail & Alan Malingi
Post a Comment