Ritual Kiri Loko
Dalam tradisi Masyarakat
Bima-Dompu juga dikenal adanya Upacara Nujuh Bulan atau dikenal dengan Kiri
Loko atau Salam Loko. Upacara ini digelar saat kandungan seorang ibu yang baru
pertama kali mengalami hamil memasuki usia tujuh bulan.Upacara ini
penuh dengan simbol dan makna. Karena upacara ini dihajatkan untuk menjaga agar
sang ibu bersama calon bayi berada dalam keadaan sehat wall afiat baik jasmani
maupun rohani. Dengan harapan apabila sang bayi sudah lahir dengan selamat akan
menjadi anak yang beriman, bertaqwa, cerdas dan berguna bagi agama, bangsa dan
negara.
Upacara dilaksanakan
pada waktu “ Maci Oi Ndeu” ( manis air mandi) dalam pengertian pada waktu yang
cocok untuk memandikan bayi, yaitu sekitar jam 09.00 yang dihadiri oleh para
ibu – ibu dan “ Sando Nggana” ( dukun beranak). Tapi seiring kemajuan ilmu kesehatan,
peranan Sando Nggana sudah mulai berkurang. Pada masa sekarang, upacara ini
didampingi oleh bidan dan juga Sando Nggana. Jadi perpaduan antara ilmu
tradisional dan moderen tetap dilakukan oleh masyarakat Bima-Dompu. Diawali
dengan do’a bersama oleh para ibu memohon kepada Allah SWT agar sang ibu
bersama bayi dalam kandungan selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Karena itu
upacara ini dinamakan upacara Salama Loko atau selamatan Perut.
Seusai berdo’a, maka Sando
Nggana menggelar tujuh lapis sarung, kemudian ditutupi dengan kain putih.
Pada setiap lapis sarung disimpan uang perak dan beras kuning. Tujuh lapis
sarung sebagai simbol tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah tempat manusia
hdup di dunia. Tujuh lapis sarung juga mengandung makna bahwa manusia akan
mengalami kehidupan dalam tujuh tahap yaitu masa dalam kandungan, masa bayi,
masa anak – anak, masa dewasa, masa tua, hidup di alam kubur dan yang terakhir
hidup di alam baqa ( akhirat). Kain putih sebagai simbol keikhlasan seorang ibu
dalam mengasuh dan mendidik putra – putri serta dalam mengemban tugas sebagai
seorang istri dan ibu rumah tangga. Beras kuning adalah lambang kesejahteraan
dan kejayaan keluarga dan uang perak mengandung makna sebagai modal dalam
kehidupan.
Pada waktu yang ditentukan
diawali bacaan Basmallah diikuti dengan shalawat, sang ibu tidur di atas
hamparan kain putih yang telah disediakan. Sando Nggana mengoles dan mengurut
perut sang ibu dengan sebutir telur yang telah diminyaki dengan minyak kelapa
yang masih baru. Hal ini dikandung maksud agar sang bayi berada dalam
posisi yang normal dan juga urat – urat perut ibu tidak berkerut. Pengolesan
perut dilakukan secara bergilir oleh Sando Nggana kemudian diikuti oleh para
tokoh adat perempuan.
Setelah itu Sando Nggana
memandikan sang ibu dengan air dingin yang dicampur dengan Wunta Mundu (
kembang melati), Wunta Kananga ( kembang kenanga) dan wunta jampaka (
kembang cempaka). Hal itu dilakukan sebagai simbol pengharapan seluruh keluarga
agar sang ibu bersama sang bayi beserta seluruh keluarga mampu mengharumkan
nama sanak saudara dan keluarga.
Kemudian Sando Nggana
bersama para ibu menabur beras kuning ke hadapan para tamu sambil membagi –
bagikan uang sedekah kepada anak – anak yang sudah menunggu di halaman rumah.
Upacara ditutup dengan menikmati bersama “ Mangonco” ( Rujak) dan berbagai
jenis kue tradisional dengan diakhiri pembacaan do’a.
Selama masa “ Tani Weki” (
mengandung ) sang ibu bersama suami dan seluruh anggota keluarga harus mematuhi
tiga ketentuan adat yaitu Piara nggahi ro eli (Memelihara Perkataan), suami dan
isteri juga bersama keluarga tidak boleh sama sekali mengucapkan kata – kata
yang kotor dan yang kasar.Piara ruku ro rawi ( memelihara prilaku atau
kelakuan), suami isteri bersama anggota keluarga harus berusaha untuk
meningkatkan amal saleh dan menjauhi perbuatan tidak terpuji. Dan piara ngaha
ro nono ( Memelihara Makanan dan Minuman) suami dan isteri bersama
anggota keluarga, harus menjauhkan diri dengan makanan yang haram dan diperoleh
dengan cara – cara yang tidak terpuji. Harus memakan makanan yang halal dan
bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment