f Jejak Mubaliq Di Temba Romba - Alan Malingi | Mengupas Sejarah, Budaya dan Pariwisata

Header Ads

Jejak Mubaliq Di Temba Romba


Di desa Sumi kecamatan Lambu terdapat sebuah Sumur tua yang usianya diperkirakan sekitar lebih dari 3 abad. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Temba Romba. Temba berarti sumur. Romba sejenis kuningan.  Sejarah sumur ini merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari proses islamisasi di tanah Bima yang berawal dari tanah Sape dan Lambu. Bahkan keberadaan Temba Romba ini lebih awal daripada Nanga Nur (Telaga Cahaya) di desa Bugis kecamatan Sape.

Sejarahwan M. Hilir Ismail menceritakan kedatangan 4 orang Mubaliq asal Gowa, Luwu, Bone dan Tallo di Pelabuhan Soro Lopi sebelah timur Lambu pada sekitar tahun 1618 M. Kedatangan mereka adalah untuk menyiarkan agama Islam di Bima sambil berdagang. 4 Orang Mubaliq itu seluruhnya memakai jubah yang dalam bahasa Bima disebut Jumba. Yang berjubah kuning disebut Jumba Monca. Berjubah Biru disebut Jumba Jao. Berjubah Putih disebut Jumba Bura. Sedangkan yang berjubah  Merah disebut Jumba Kala.

Usaha mereka dalam menyiarkan agama Islam ditentang keras oleh para Ncuhi dan pemuka masyarakat setempat. Hal itu tentunya atas perintah Raja Salisi yang tidak menginginkan Islam berkembang di tanah Bima. Disamping itu, para Ncuhi juga sangat berat meninggalkan agama nenek moyang yaitu agama Makakamba dan Makakimbi. Sejenis kepercayaan kepada Anisme dan Dinamisme. Namun mereka tidak pernah surut dalam menyiarkan Islam di tanah Sape.

Pada suatu saat terjadi musim kemarau panjang. Tanah-tanah kering, tanaman mati kekeringan. Binatang ternak pun demikian. Sumur-sumur warga mengalami kekeringan yang hebat. Kelaparan terjadi hampir di seluruh wilayah Sape dan sekitarnya. Dalam keadaan yang semakin parah itu para Mubaliq bermunajat kepada Allah untuk meminta hujan. Usai shalat subuh, mereka berjalan menuju ke arah barat untuk melakukan Shalat Minta Hujan.

Usai shalat  minta hujan, salah seorang mubaliq menancapkan tongkatnya yang ujungnya terbuat dari Romba atau kuningan itu ke tanah. Dan tanpa disadari keluarlah mata air yang deras membasahi tubuh mereka. Semakin lama mata air itu semakin banyak mengairi sawah-sawah warga dan halaman pekarangan penduduk. Sementara di atas langit mendung mulai menyelimuti tanah Sape dan sekitarnya. Hujan pun turun dengan derasnya.

Sejak saat itu tanah sape kembali subur dan hasil panen juga melimpah ruah. Secara sadar dan tanpa paksaan warga pun memeluk agama Islam. Termasuk para pemuka masyarakat dan Para Ncuhi(Kepala Suku)nya. Pada perkembangan selanjutnya Temba Romba terus berkembang menjadi pusat Dakwah Islam di tanah Bima. Banyak utusan dari seluruh pelosok Bima yang mengunjungi Desa Sumi dan Temba Romba. Sebagai wujud rasa syukur atas anugerah yang dilampahkan kepada mereka serta untuk menghormati jasa-jasa para mubaliq itu masyarakat Sumi dan sekitarnya setiap tahun menggelar acara syukuran atau yang dikenal dengan Doa Dana. Saat ini Temba Romba menjadi salah satu obyek Cagar Budaya. Pemerintah Kabupaten Bima telah menata areal di sekitar Temba Romba dalam rangka upaya pelestariannya. Karena mata air Temba Romba hingga saat ini tetap mengalir mengawal perubahan Zaman.

Penulis : Alan Malingi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.