Menjelajahi Nanga Nur
Pemandangan Dari Atas Bukit Nanga Nur |
Menjelajahi wilayah Nanga
Nur memang cukup melelahkan. Tapi ketika mencapai puncaknya, spontanku
lafazkan Allahhu Akbar dan Subhanallah. Maha Besar dan Maha Suci Allah
yang telah menciptakan pesona alam di selat Sape ini. Bukit Nanga Nur berjarak
sekitar 3 km dari Tempat Pelelangan Ikan Sape-Bima. Sebelum mendaki, saya
melewati 3 mata air bekas telaga yang oleh warga sekitar dikenal dengan Nanga
Nur (Bima, Nanga= Telaga, Nur = Cahaya). Jadi Nanga Nur adalah Telaga Cahaya
yang dibuat oleh para Mubaliq yang menyiarkan agama Islam di Bima. Karena pada
zaman dulu Islam masuk di Bima melalui Sape pada sekitar Abad ke 16 dan 17.
Kompleks Makam Di puncak Nangan Nur |
Di atas bukit Nanga Nur terdapar dua makam yang sudah di pagar rapi. Menurut H. Nurdin, SH mantan Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Bima, makam itu adalah makam dua ulama besar dari Pagaruyung
Sumatera Barat yang bernama Datuk Ri Banda dan Datuk Ri Tiro yang diutus oleh
Sultan Gowa pada waktu itu untuk menyiarkan agama Islam di Tanah Bima. Keterangan lain dari penjaga Makam bahwa makam itu memang makam mubaliq dan ada seorang Dandim dari NTT yang mengaku bahwa makam itu adalah makam moyangnya. Keberadaan dua makam itu masih perlu dilakukan penelusuran siapa sebenarnya pemilik makam tersebut. Pintu
masuk para mubaliq adalah melalui Sape yaitu di Nanga Nur. Menurut penuturan Abidin
penjaga Makam ini, dulu di Nanga Nur adalah Pelabuhan Alam yang terlindung dari
angina musim dan badai. Karena letaknya sangat strategis dan landai di kaki
bukit-bukit di sebelah barat Pelabuhan Sape sekarang.
Mercusuar di Tepi Nanga Nur |
Dalam Roman Sejarah
Kembalinya Sang Putera Mahkota yang ditulis Alan Malingi, bahwa para mubaliq
itu berlabuh di Nanga Nur untuk berdakwah sambil berdagang. Pada perkembangan
selanjutnya mereka mendirikan Masjid Pertama di kompleks kampong Sigi Sape.
Lalu mereka menemui Putera Mahkota La Ka’i di tempat persembunyian di puncak
Kalodu untuk menyampaikan surat dari Sultan Gowa dan beberapa cindera mata. Isi
surat tersebut memberitahukan bahwa Raja Gowa beserta seluruh rakyatnya telah
memeluk Islam dan mengajak Putera Mahkota La Ka’i untuk memeluk Islam.
Dalam Birunya Selat Sape |
Lalu La Ka’i bersama seluruh
pengikutnya berikrar memeluk Islam dan mengangkatsumpah setia yang dikenal
dengan sumpah Darah Daging dengan mengiris jari mereka dan meminum darah untuk
memeluk Islam dan mengislamkan rakyat Bima. Tempat sumpah setia itu dikenal
dengan Wadu Parapi ( Batu Parapi) yang saat ini berada di bendungan Parapi Desa
Parangina kecamatan Sape ( Sayang kondisinya memprhatinkan dan tidak terawat).
Setelah memeluk Islam La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir dan kuburannya
di bukit Dana Taraha sekarang. Setelah Wafat bergelar Rumata Ma Bata Wadu (
Tuanku yang bersumpah Di Atas Batu).
Merekam jejak Islam di Bima
terutama di wilayah Sape tentu tidak saja di Nanga Nur. Di Sape dan Lambu
terdapat banyak peninggalan Islam seperti Wadu Sura atau Batu Bersurat di Desa
Sari Kecamatan Sape yang bertuliskan huruf Arab Melayu dan saying sekali tidak
bias terbaca karena termakan usia. Di kecamatan Lambu terdapat Temba Romba
yaitu sebuah sumur yang konon dibuat oleh para mubaliq itu dengan tongkatnya
dan sumur ini tetap mengalir sepanjang tahun.
Penulis : Alan Malingi
Post a Comment