Sumpah Oi Ule
Pantai Ule |
Pantai Ule atau yang dikenal
dengan Oi Ule, disamping memiliki panorama indah juga menyimpan romantika dan
kenangan sejarah di masa lalu. Pada abad XVII pada masa pemerintahan Sultan
Abdul Kahir I (1640M) di tempat ini bermukim para mubaliq dari tanah
Melayu (Minang dan Pagaruyung). Di balik rona keindahan pantai di sisi
utara teluk Bima ini, ada satu peristiwa monumental yang terjadi pada masa itu
yaitu ikrar sumpah yang diucapkan oleh sultan Abdul Kahir I dihadapan kedua
gurunya Datuk di Bandang dan Datuk Di Tiro. Sumpah itu tercatat dalam Kitab BO
(Catatan lama Istana Bima) sebagai berikut :
“ Hai Sekalian Hadat
Menteriku, Hai Sekalian Gelarang aku, menyaksikan perkataanku dan perjanjianku
ini dihadapan Allah Ta’ala Tuhan Yang Maha Esa dan kepada Rasulullah Penghulu
Kita Nabi Muhammad dan kepada sekalian Malaikat Allah Ta’ala, maka barangsiapa
yang merombak dan melalui perjanjian aku dengan kedua guruku itu sampai
tujuannya sebagaimana dalam BO ini, itulah orang yang dimurkai Allah dan
Rasulullah dan segala Malaikat, niscaya orang itu tiadalah mendapat selamat
dunia akhirat, Wallahu akhirnya Syahiddin “ ( BO Melayu, dikutip dari Buku Peranan
Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail )
Sesuai tempat berlangsunya,
maka sumpah itu dinamakan Sumpah Oi Ule yang menjadi momentum perkembangan
islam di Dana Mbojo pada masa selanjutnya. Hal itu menunjukkan bukti betapa
setia dan taatnya Sultan Abdul Kahir kepada para mubaliq yang sekaligus
penasehat dan gurunya itu. Sumpah itu terus diaplikasikan dalam bentuk
penghormatan kepada para guru dan mubaliq yang pada perkembangan selanjutnya
melahirkan upacara Adat Hanta UA PUA setiap tahun yang dirangkaikan dengan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Penulis : Alan Malingi
Sumber :
Peranan Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M.Hilir Ismail
Post a Comment