5 Kekayaan Bahasa Bima
Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo sesungguhnya
telah mengalami perjalanan panjang. Bahasa Bima saat ini dituturkan oleh
masyarakat mulai dari Pulau Moyo,
Tambora,Sanggar, Dompu melintasi selat Sape, Labuan Bajo, Manggarai hingga Wa’i
Werang Larantuka. Proses migrasi manusia Bima dan kejayaan maritim Bima di masa
silam telah memengaruhi perkembangan bahasa Bima di sejumlah wilayah tersebut.
Dalam pusaran
bahasa Austronesia,Bahasa Bima dikelompokkan dalam rumpun Bima – Sumba. Para penelitian lingusitik seperti Dr.
Syamsuddin AR, Brandes Jonker (1884), Esser, Diyen dan Fernandes. Esser
mengakui eksistensi kelompok Bima - Sumba dalam 17 kelompok bahasa. Syamsuddin menyebut kelompok Bahasa Bima-Sumba terdiri
atas tiga sub kelompok yaitu Bima-Komodo, Sub Kelompok Bahasa Manggarai,Ngada
dan Lio, dan ketiga Sub kelompok Bahasa Sumba dan Sawu. Sekitar 3500 tahun
silam, orang-orang di pulau Komodo dan sekitarnya menggunakan Bahasa Bima dan
pada perkembangannya Bahasa Bima tidak lagi dituturkan.( Baca : Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima ).
Zolinger membagi bahasa Bima ke dalam dua
kelompok yaitu Bahasa Bima Pegunungan dan Daratan. AbdullahTayib, BA membagi
bahasa Bima dalam dua kelompok yaitu Bahasa Bima lama dan baru. Hal senada juga
ditulis Sri
Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah dalam penelitian dengan judul Analisis
Serapan Kosakata Bahasa Arab terhadap Bahasa Bima.Menilik bahasa yang
pernah berkembang baik yang sudah punah maupun yang masih dituturkan saat ini,
dapat dibagi dalam 5 kelompok yang
merupakan bagian dari kekayaan kebahasaan di tanah Bima. 5 Kekayaan bahasa itu adalah yaitu Inge
Ndai, Donggo Ipa, Kolo, Kore dan Bima Baru.
Inge Ndai
Istilah Inge Ndai pertama kali dimunculkan
almarhum H. Mansyur Sambori pada saat saya melakukan penelitian Buku “ Sambori
Negeri Di Awan” tahun 2010. Inge Ndai ( Bima : Angi Ndai) adalah saudara
serumpun yang mewakili komunitas masyarakat di kecamatan Lambitu dan Tarlawi(
Wawo) yaitu Teta, Kuta, Sambori, Londu, Kaboro
dan Kalodu kecamatan Langgudu.
Beberapa penelitian menyebut di kelompok ini memiliki bahasa sendiri untuk alat komunikasi
di lingkungan mereka. Rahmatia Ardila dalam tesis Kajian Sosiolinguistik : Pertahanan Bahasa Inge Ndai Dalam
Ranah Keluarga Pada Masyarakat Lambitu mengemukakan
bahwa di desa Teta,
terdapat dua bahasa yang berbeda yaitu Teta Awa( Teta bagian bawah) dan Teta
bagian atas( Teta Ese).
Bahasa Inge
Ndai terdiri dari 7 sub-dialek yang tersebar di enam desa di kecamatan Lambitu
yaitu Sambori dengan dialek halus, Kuta dialek intonasi sedang. Kaboro, Londu
dan Kaowa dengan dialek intonasi tinggi. Desa Teta terdapat dua dialek intonasi tinggi
di dua dusun yaitu Teta Awa dan Teta Ese. Abdullah Tayib, BA menulis bahasa yang berkembang di Inge Ndai dikelompokkan
dalam bahasa Bima lama. Bahasa Inge Ndai masih aktif dituturkan oleh masyarakat
Lambitu dan Tarlawi Wawo hingga saat ini. Kelompok ini disebut Donggo Ele ( Donggo Timur). Dalam berbagai
referensi sejarah Bima, mereka ditengarai sebagai penduduk asli Bima.
Di Inge Ndai, ada beberapa senandung dan mantra
yang hingga saat ini masih tetap dilantunkan yaitu senandung menanam Arugele,
Belaleha, Mange Ila, Bola Mbali, Mpisi dan Kasaro. Kesenian lainnya yang masih
tetap dipertahankan adalah Mp’a Lanca dan Kalero.
Donggo Ipa
Abdullah Tayib menyebut, ada 7 desa di Donggo
Ipa sebagai penutur bahasa Bima lama yaitu di Doridungga, Kananta, Padende,
Palama, O’o, Kala, dan Mbawa. Berbeda dengan di Donggo Ele, bahasa di Donggo
Ipa bisa dikatakan punah meskipun masih ada beberapa orang yang masih mengingat
kosa katanya. Dominasi Bahasa Bima Baru cukup besar dan diperkirakan dalam
proses yang panjang, bahasa Donggo Ipa ini tergeser dan masyarakatnya telah
menggunakan bahasa Bima Baru. Sebagimana Donggo Ele,dalam berbagai literatur
sejarah Bima merupakan penduduk asli Bima sebelum datangnya kaum pendatang dari
berbagai belahan negeri.
Di Donggo Ipa juga memiliki
senandung menanam Arugele, Mpisi, Kalero, Inambaru, Kande Ntadi Ro Ntedi dan
mantra-mantra. Di Donggo Ipa juga menyimpan kekayaan cerita rakyat
seperti La Hila, La Lindu, Dapidore, La Gandi, cerita Gajah Mada,
Garuda dan cerita rakyat lainnya. Disamping itu, Donggo Ipa juga memiliki
atraksi kesenian Mpa’a Ncala dengan menggunakan tongkat dan saling melempar serta
menangkis.Kesenian Donggo melekat dengan urusan upacara-upacara adat baik
upacara menanam, upacara daur hidup maupun kematian.
Pada masanya, Ncuhi sangat berperan dalam
setiap aktifitas masyarakat Donggo. Setiap memulai upacara, selalu diawali oleh
informasi dari Ncuhi. Demiikian pula dengan prosesi menanam dan panen. Muslimin
Hamzah menulis masyarakat Donggo khususnya
Donggo Ipa mengenal beberapa upacara seperti Raju, Upacara Bulan Purnama,
selamatan paska panen, Upacara Langi, Wacapahu dan Aropaka untuk mengusir
penyakit, hingga perayaan Ulang Tahun Gajah Mada di Padende. Seiring
masuknya islam, uapcara-upacara ini sudah ditinggalkan.
Kolo
Minggu, 27 Agustus 2017 saya dan beberapa
sahabat Majelis Kabudayaan Mbojo ( Makembo) dan warga melakukan observasi
keberadaan bahasa Kolo. Bahasa Kolo pada masa lalu adalah bahasa yang terpisah
dari Bahasa Bima, namun karena akulturasi budaya Mbojo terutama bahasa telah
menjadikan Nggahi Kolo menjadi Bahasa Minor saat ini.
Kami menemukan bahwa tidak semua warga
kelurahan Kolo dapat berkomunikasi dengan bahasa Kolo. Beberapa orang saja yang bisa mengingat kembali Bahasa Kolo sebagai tutur yang tersisa
ini. Kami menemui Pak Jaharuddin (52 Tahun) pegawai Tata Usaha pada SMPN 10
Kota Bima di RT 07 RW 04 kelurahan Kolo. Pria yang juga seniman ini
menceritakan tentang asal usul Kolo, Bahasa Kolo dan serba serbi kehidupan masyarakat
Kolo. Dari penuturan Jaharuddin dan puteranya bahwa Bahasa Kolo masih tetap ada meskipun
hanya beberapa orang yang mampu menuturkannya. Penutur Bahasa Kolo masih banyak ditemui di
dusun Bonto dan sekitarnya.
Kore
Kore( Sanggar) adalah sebuah kerajaan di
lereng timur Gunung Tambora. Letusan Tambora telah melenyapkan dua kerajaan
yaitu Tambora dan Pekat. Kerajaan Sanggar ( Kore) yang terdekat dengan Tambora
mengalami dampak yang cukup besar akibat letusan ini. Banyak penduduk yang mati
baik saat letusan maupun karena sakit paska letusan. Kondisi ekonomi kerajaan
ini cukup parah kala itu. Diperparah
lagi dengan merajalelanya para bajak laut pada sekitar tahun 1819. Hal ini
membawa dampak besar bagi migrasi warga Kore ke Bima khususnya Sila-Tambe bahkan
ke Wa’i Werang –Larantuka. Di sana terdapat nama Fam Bima-Kore yang mengaku
bahwa mereka berasal dari Bima-Kore.
Kesengsaraan rakyat Sanggar menghadapi serangan Bajak Laut digoreskan peneliti ilmu alam
bernama Coffs asal Belgia. Coffs menceritakan
pertemuannya dengan Raja Sanggar kala itu :
“ Dia bercakap-cakap dalam bahasa
Melayu yang cukup bagus.Dia harus bercocok tanam sendiri dan dia sendiri yang
memotong kayu bakar dan memikulnya pulang. Saya merasa kasihan selalu.”
(H.Abdullah Tayib, BA Sejarah Bima Dana Mbojo, 239). Coffs juga menceritakan tentang kondisi Raja
Sanggar yang jatuh bangun menghadapi kesulitan ekonomi akibat amukan Tambora
maupun serangan bajak laut itu.
Bahasa Kore berbeda dengan bahasa Bima. Saat ini hanya beberapa orang
yang masih mengingat beberapa suku kata bahasa Kore. Sebagaimana bahasa kolo,
Kore pun lebih mirip bahasa-bahasa pada beberapa suku di Sulawesi. Hal ini
tidak bisa dipungkiri karena eratnya hubungan semenanjung Sumbawa (
Bima-Dompu-Sanggar-Tambora dan Sumbawa) dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi
pada masa lalu. Dari segi sastra, Kore kaya akan sastra lisan dalam bentuk senandung
seperti Tija lante, Ngona Sama,
Rangko, Manu Taloko, Inje atau Raho Ura , Arugele Me’e Mali, arugele,dan Inde
Ndua.Dari senandung itu, ada juga yang telah mengalami akulturasi dengan sastra
Bima seperti Rawa Waro, EAule, Obimbolo dan Lopi Penge. Sedangkan istilah
Arugele mirip dengan apa yang ada di Donggo Ipa maupun Donggo Ele.
Saat ini Bahasa Kore bisa dikatakan punah
meskipun masih ada para sesepuh yang masih berkomunikasi dengan bahasa Kore
seperti kakak beradik Hasyim Zakariah dan Siti Fatimah Zakariah dari desa
Taloko kecamatan Sanggar. Kepunahan ini
disebabkan 3 hal yaitu letusan Tambora 1815, serangan bajak laut di tahun 1819
dan pengaruh Bahasa Bima ketika kerajaan Sanggar bergabung dengan kerajaan Bima
pada tahun 1926.
Letusan Tambora dan serangan bajak laut telah
menyebabkan pendukung bahasa Kore meninggal dunia dan migrasi ke Bima hingga
Larantuka. Bergabungnya Kerajaan Sanggar dengan Bima pada tahun 1926 juga
berdampak pada penetrasi bahasa Bima ke dalam bahasa Kore sehingga dalam
perjalanan waktu Bahasa Kore pun pudar.
Bima Baru
Bahasa yang dituturkan oleh orang Bima, Dompu,
sebagian di pulau Moyo Sumbawa hingga Manggarai adalah bahasa Bima Baru. Bahasa
ini kemudian menjadi bahasa ibu bagi
masyarakat Bima. Sedangkan masyarakat pemakai bahasa Bima lama menggunakan
bahasa Bima baru ini sebagai bahasa pengantar ketika mereka berinteraksi dengan
masyarakat di luar komunitasnya. Bahasa Bima Baru telah mendapatkan berbagai
serapan dari luar seperti Jawa,
Sulawesi, Melayu dan bahkan Arab.
Sri Wahyuningsih dan
Nurul Zuhriyah menulis, kelompok
bahasa Bima baru dipergunakan oleh masyarakat secara umum di Bima sebagai bahasa
ibu mereka. Bahasa Bima lama hanya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
kagiatan-kagiatan formal dan resmi semisal acara adat istiadat, lamaran dan
kegiatan penting lainnya. Bahasa Bima secara dominan dipengaruhi oleh bahasa Arab
terdapat pada bahasa Bima lama. Bahasa Bima dalam bentuk barunya, sebagaimana
lumrah digunakan sehari-sehari di tengah-tengah masyarakatnya pengucapannya
telah berubah jauh dari bahasa Bima asli peninggalam nenek moyang mereka.
Hasil penelitian
Kemdikbud RI sejauh ini masih bertahan bahwa kelompok bahasa di atas adalah
dialek. Hal itu berdasarkan penghitungan dialektometri, dapat dikatakan bahwa
bahasa Bima terdiri atas empat dialek, yaitu dialek Serasuba, Wawo, Kolo, dan
Kore. Persentase antarempat dialek tersebut
berkisar antara 51%—55%. Secara umum daerah tersebut berbatasan dengan daerah
sebaran bahasa Bima yang lain. Sementara itu, berdasarkan penghitungan
dialektometri, isolek Bima (Mbojo) merupakan sebuah bahasa dengan persentase
perbedaan berkisar antara 81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa di
sekitarnya, misalnya dibandingkan dengan bahasa Sumbawa (Samawa) dan bahasa
Sasak.
Kesimpulan
1. Menelisik dari latar belakang sejarah,
maka 5 kelompok bahasa di atas merupakan bahasa-bahasa yang pernah hidup dan
dituturkan oleh masyarakat di bagian timur pulau Sumbawa. Pendukung bahasa Inge Ndai, Donggo Ipa dan Kolo adalah masyarakat Bima di zaman Naka, Ncuhi
hingga kerajaan Bima. Sedangkan bahasa Bima baru yang dituturkan saat ini telah
mendapatkan serapan dari berbagai bahasa dan budaya dunia seperti dipaparkan di
atas.
2. 5 kelompok bahasa di atas merupakan
bagian dari kekayaan bahasa Bima yang perlu mendapat perhatian untuk
dilestarikan melalui penyusunan kamus, dan kegiatan-kegiatan pemertahanan
bahasa baik oleh masyarakat, Pemerintah Daerah maupun kantor Bahasa NTB. Khusus
Sambori sudah ada yang menyusun kamus Bahasa Sambori yaitu Alwi Yasin.
Sedangkan untuk Bahasa Kolo telah disusun oleh Jaharuddin.Sedangkan Kore perlu
dilakukan penyusunan selagi penuturnya masih hidup saat ini.
3. Terlepas apakah 5 kelompok di atas
adalah dialek atau bahasa, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memastikan apakah itu adalah dialek atau bahasa. Badan Bahasa RI dan Kantor
Bahasa NTB perlu melakukan penelitian dan pemetaan kembali Bahasa Bima.
Selamat Hari Bahasa Ibu
Internasional...!
Selamatkan Bahasa Ibu....... !
Sumber :
1. Abdullah Tayib, BA Sejarah Bima Dana Mbojo
2. Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima
3. Peta Bahasa, Kemdikbud RI
4. Sri Wahyuningsih dan Nurul
Zuhriyah, Analisis Serapan Kosakata Bahasa Arab terhadap Bahasa Bima ( Artikel
)
5.
Rahmatia
Ardila ,Pemertahanan Bahasa Inge Ndai dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat
Lambitu,( Tesis)
Informan
1. Jaharuddin (52 Tahun) RT 07 RW 04 kelurahan Kolo Kota
Bima
2. Hasyim Zakariah, (70 tahun) desa Taloko kecamatan Sanggar
Kab. Bima
3. Siti Fatimah Zakariah( 65 Tahun) desa Taloko kecamatan
Sanggar Kab. Bima
4. H. Mansyur desa Sambori Kecamatan Lambitu Kab. Bima
5.
M.Sidik. 83 tahun. dusun Oi Temba
Tarlawi Kec. Wawo Kab. Bima
6.
2. Mardin Ama Fuji. 42 tahun Dusun
Oi Nao Tarlawi Kec. Wawo Kab. Bima
7. Drs.H. Yusuf Alwi desa Tarlawi kec. Wawo Kab. Bima
8. Syahbuddin Ama Hale ( Sadia)
9. M. Ali ( Sadia)
10. Drs. Usman D. Ganggang ( Lewirato )
Post a Comment