Wayang Dan Mukenah Bidadari
Di tengah polemik tentang wayang, ada baiknya kita menyelami sejarah, menyelami proses transformasi nilai secara arif dilakukan leluhur nusantara di masa silam. Ada dua contoh bagaimana transformasi nilai budaya berjalan dengan damai dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai baru yaitu tradisi wayang di Jawa dan cerita tentang Mukenah bidadari di Bima Nusa Tenggara Barat.
Tradisi wayang di Jawa diperkirakan dimulai
pada abad ke-11 pada masa kejayaan Airlangga, raja Kediri yang memeluk agama Syiwa-Budha ,yakni sinkretisme antara
Agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Pada era ini hadir gubahan sastra keagamaan yang
dikenal dengan cerita Ramayana dan Mahabbarata. Kedua karya
sastra yang berasal dari India ini dalam bentuk puisi
yang disebut serat kakawin
Kehadiran Wali Songo dalam proses islamisasi di Jawa abad
ke-15 membawa dampak yang luar biasa. Wayang menjadi salah satu media dakwah
yang efektif kala itu. Meskipun pada awalnya Sunan Giri berpendapat wayang itu hukumnya haram jika
menyerupai bentuk manusia. Sunan Kalijaga melakukan inovasi dengan mengganti jenis
wayang Beber Kuno menggambarkan wujud
manusia secara detail dan adegannya digambarkan di atas lembaran kertas. Sunan Kalijaga merubah bentuk wayang(kulit), tangannya
yang memiliki panjang melebihi kaki, hidungnya panjang-panjang, kepalanya
menyerupai hewan dan lain-lain agar tidak persis dengan manusia. Inovasi Sunan
Kalijaga disetujui para wali yang lain, sehingga pada abad ke 15 dimulailah
pengubahan wayang yang dipelopori Sunan Kalijaga. (Rifai
Shodik Fathoni, Wayang Kulit Dan Islamisasi Di Jawa Abad ke-15).
Disamping sebagai ulama, Sunan Kalijaga adalah seorang
dalang. Lakon cerita dirubah dengan cerita-cerita islam. Maka dikenallah cerita
wayang seperti Jimat Kalimasada, Serat Dewa Ruci,Petruk Dadi Ratu dan lainnya.
Transformasi bentuk dan lakon wayang dari hindu ke islam adalah sebuah kearifan
sehingga dakwah islam melalui wayang diterima dan masyarakat enjoy menerima
perubahan itu.
Bagaimana dengan di Bima ?
Cerita tentang tujuh bidadari atau di Bima dikenal dengan Ana Fari
merata di seluruh nusantara. Di beberapa tempat di Bima, kisah Ana Fari Pidu ada di Temba Kolo, di Bajo Pulau Sape, di
Langgudu dan mungkin saja di tempat lain yang belum digali kisahnya. Desember 2015 ketika saya
mendampingi peneliti dari Kantor Bahasa NTB,
Ibu Mas Imo ( 50 tahun) warga desa Karampi kecamatan Langgudu
menceritakan tentang kisah Ana Fari Pidu (Tujuh Bidadari) yang menikah dengan
Ana Sangaji Mbojo ( Putera Mahkota Kerajaan Bima).
Cerita Ana Fari Pidu pra islam, ditransformasi ke
dalam cerita islam. Puteri bungsu dari Ana Fari bernama Siti Fatimah. Nama Sangaji Mbojo
juga diganti dengan Muhammad Nurlah, selendang Ana Fari Pidu diganti dengan Mukenah.Telaga
permandian Ana Fari itu dirubah menjadi kebun bunga dan 7 bidadari itu turun
dari kayangan memetik sari bunga antara waktu Magrib dan Isya. ” Memetik Sari bunga ” itu
adalah ibadah manusia di antara dua waktu itu. Dalam proses ini, kisah tentang 7
bidadari fersi lama telah dilakukan penyesuaian dengan tata nilai islam. Cerita
7 bidadari memang tidak hanya dikenal di tanah Bima, kisah ini merata di
seluruh persada nusantara. Tetapi di Bima, ada proses penyesuaian dan
transformasi nilai dari ajaran lama kepada nilai-nilai islam.
Bima, nama daerah yang terhampar di ujung
timur pulau Sumbawa ini terilhami dari nama tokoh pewayangan. Nama Bima telah
mengakar jauh dalam sejarah meskipun memiliki nama lain “ Dana Mbojo”. Bima
tidak memiliki tradisi pewayangan, namun dalam catatan sejarah baik dalam BO
Sangaji Kai dan juga tertuang dalam buku Iman Dan Diplomasi ( Serpihan Sejarah
Yang Terlupakan), pertunjukkan wayang dan Debus digelar pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Hamid Muhammadsyah ( 1773-1819). Sekitar tahun 1940, di masa
pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin pertunjukkan wayang digelar di kota
Raba. Wayang dan Mukenah Bidadari merupakan dua model dari sekian banyak model
transformasi nilai dari pra islam ke islam sebagai sebuah perenungan sejarah
betapa leluhur masyarakat nusantara sangat cerdas dan arif melakukan perubahan
melalui budaya.
Semoga bermanfaat....!
Foto : Dari Fahru Rizki, Pertunjukkan
Wayang Di Kota Raba Tahun 1940 (
Sumber :
1.
(Rifai
Shodik Fathoni, Wayang Kuli Dan Islamisasi Di Jawa Abad ke-15).
2. Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid 5 (jakarta:
Sunarwangi, 1999)
3. Mas Imo ( 50
Tahun) Desa Karampi Kec. Langgudu
Post a Comment